Wednesday 7 April 2021

Model - Model Research & Development

Model - Model Research & Development

Assalamualaikum, halo apa kabar semua? Saya doa' kan Semoga semua dalam keadaan sehat selalu. Materi pada kesempatan ini kita akan membahas beberapa desain model-model yang sering digunakan di dalam penelitian-penelitian Research and Development (R&D) atau yang kita kenal dengan Penelitian dan Pengembangan. Dalam bidang pendidikan, penelitian dan pengembangan atau R&D digunakan sebagai suatu metode penelitian pendidikan yang berbasis pengembangan untuk menghasilkan produk-produk dalam pendidikan.

Menurut Tatang dkk. (2016:282) Produk yang dihasilkan dalam penelitian R&D bermacam-macam, misalnya terkait dengan bidang Pendidikan jasmani & Olahraga, peneliti dapat melakukan penelitian dengan mengembangkan model sekolah olahraga, mengembangkan kurikulum pendidikan jasmani, mengembangkan strategi atau metode latihan olahraga, atau mengembangkan media latihan olahraga. Jadi, melalui R&D dengan cara meneliti kita dapat menemukan suatu model, pola atau sistem penanganan terpadu yang efektif  khususnya dalam pendidikan jasmani & Olahraga.

Menurut Haryati (2012:19-20) Model merupakan suatu desain yang menggambarkan bekerjanya suatu sistem dalam bentuk bagan yang menghubungkan atau tahapan melalui langkah-langkah spesifik dan dapat dipergunakan mengukur keberhasilan untuk tujuan mengembangkan keputusan secara valid. jadi, Model merupakan produk Research and Development (R&D). 

Lebih lanjut menurut menurut Marreli, et al. (2005) dalam Silalahi (2018:4) bahwa ciri-ciri model yang baik antara lain: (1) simple; (2) applicable; (3) important; (4) controllable; (5) adaptable; (6) communicableMerujuk pada ciri-ciri tersebut maka dalam menyusun model harus memenuhi langkah-langkah: 
a. Mengidentifikasi kerangka kunci
b. Merinci setiap bagian atau tahapan dalam kerangka
c. Menyeleksi atau memodifikasi bagian proses yang memerlukan perbaikan
d. Merancang bagian proses dalam model, dan 
e. Melakukan revisi model.

1. Model ASSURE 
Model ASSURE merupakan penghubung antara peserta didik, materi dengan semua bentuk media. Ada enam langkah dalam pengembangan model ASSURE terdiri atas enam komponen seperti rumusan kata itu sendiri. Setiap huruf mempunyai arti: 
  1. Analyze Learners (menganalisis peserta belajar) 
  2. State Objectives (merumuskan tujuan pembelajaran atau kompetensi) 
  3. Select methods, media, and materials (memilih metode, media dan bahan ajar) 
  4. Utilize media and materials (menggunakan media dan bahan ajar) 
  5. Require learners participation (mengembangkan peran serta peserta belajar) 
  6. Evaluate and Revise (menilai dan memperbaiki) Seluruh kata kerja ini menunjuk pada kegiatan atau pekerjaan yang harusdilakukan oleh pendidik untuk mengelola Proses belajar mengajar. 
Berikut ini adalah analisis dari masing-masing komponen dari model desain pembelajaran ASSURE:
1. Analyze Learners 
Pada desain pembelajaran, peserta didik adalah hal terpenting. Apapunbentuk produk, model desain pembelajaran maka semua upaya diwujudkan demi kelancaran proses belajar. Dalam melakukan analisis peserta didik, ada beberapa hal yang perlu dilakukan misalnya karakteristik umum peserta didik, kompetensi awal yang menjadi modal dasarnya, gaya belajar dari peserta didik, aspek psikologis dari peserta didik dan banyak lagi sesuai dengan kebutuhan. 
2. State Objective State objective atau merumuskan tujuan pembelajaran. 
An objective is a statement of what will be achieved, not how it will be achieved”. Jadi merumuskan tujuan pembelajaran dapat menggunakan rumusan tujuan dengan model ABCD, yang berarti : 
  1. Audience, peserta didik dengan segala karakteristiknya.
  2. Behavior, kata kerja yang menjabarkan kemampuan yang harus dikuasai; 
  3. Conditions, situasi kondisi yang memungkinkan bagi peserta didik dapat belajar dengan baik; dan
  4. Degree, persyaratan khusus yang dirumuskan sebagai standar baku pencapaian tujuan pembelajaran.
Tujuan pembelajaran dapat diperoleh dari kurikulum, rencana prosespembelajaran (RPS) atau satuan acara pembelajaran (SAP). Tujuan pembelajaran juga dapat dinyatakan dalam bentuk pernyataan kompetensi dasar dan indikator keberhasil yang hendak dicapai pada akhir proses pembelajaran. 

3. Select Methods, Media, and Materials 

Pada tahapan ini adalah memilih metode, media dan bahan ajar.Ada tiga tahapan penting untuk huruf S kedua dari ASSURE ini. Ketiganya adalah : (1) Menentukan metode yang tepat untuk kegiatan belajar tertentu (2) Memilih format media yang disesuaikan dengan metode yang diterapkan; dan (3) Memilih, merancang, memodifikasi, atau memproduksi bahan ajar. Baik media maupun metode tidak ada yang lebih baik atau terbaik diantaranya. Media dan metode ditentukan karena keduanya cocok, tepat, dan sesuai untuk suatu proses belajar. 
4. Utilize Media and Materials 
Pemanfaatan media dan bahan ajar pada model ASSURE ini ditujukankepada pendidik dan peserta didik. Smalldino dalam tim pusdiklatwas mengajukan rumus 5P untuk pemanfaatan media dan material pembelajaran ini. Kelima P tersebut ialah: 
  1. Preview the Materials (kaji bahan ajar) 
  2. Prepare the Materials (siapkan bahan ajar) 
  3. Prepare Environment (siapkan lingkungan) 
  4. Prepare the Learners (siapkan peserta didik) 
  5. Provide the Learning Experience (tentukan pengalaman belajar)
5. Required Learner Participation 
Mengembangkan peran serta peserta didik, tujuan utama pembelajaranadalah agar peserta didik belajar. Oleh karena itu melibatkan peserta untuk belajar adalah aktivitas yang harus dilakukan oleh pendidik dalam proses pembelajaran. 
6. Evaluate and revise
Salah satu tujuan penilaian adalah mengukur tingkat pemahaman atas materiyang baru saja diberikan. Dalam hal ini, penilaian bukan untuk menentukan tingkat kepintaran seorang peserta didik, namun cenderung untuk memberi masukan kepada mereka. Demikian juga evaluasi berguna untuk melakukan penilaian apakah seluruh proses pembelajaran sudah berjalan dengan baik, atau ada proses pembelajaran yang perlu ditingkatkan dan direvisi untuk meningkatkan kualitas kegiatan belajar mengajar itu sendiri.
Beberapa kelebihan dan kekurangan model ASSURE, yaitu: 
Kelebihan 
  1. Sederhana, relatif mudah untuk diterapkan. Maka dapat dikembangkan sendiri oleh pengajar.
  2. Komponen kegiatan belajar mengajar lengkap. 
  3. Peserta didik dapat dilibatkan dalam persiapan untuk kegiatan belajar mengajar (KBM).
Kelemahan model ini di antaranya: 
  1. Tidak mengukur dampak terhadap proses belajar karena tidak didukung oleh komponen suprasistem.
  2. Walaupun komponennya relatif banyak namun tidak semua komponen disain pembelajaran termasuk didalamnya
  3. Adanya penambahan tugas sari seorang pengajar 
  4. Perlu upaya khusus dalam mengarahkan peserta didik untuk persiapan kegiatan belajar mengajar
  5. Model ini menitikberatkan penyampaian materi dan pengelolaan kelas yang sebaiknya dilakukan oleh pengajar
  6. Aspek lain yang berdampak terhadap proses belajar tidak terdeteksi


Model ASSURE 
Sumber: Olayinka, Jumoke, & Oyebamiji (2018:4)

2. Model ADDIE 
ADDIE adalah akronim untuk Menganalisis, Merancang, Mengembangkan, Melaksanakan, dan Mengevaluasi. ADDIE adalah konsep pengembangan produk. Konsep ADDIE diterapkan untuk membangun pembelajaran berbasis kinerja. Filosofi pendidikan untuk penerapan ADDIE ini adalah pembelajaran yang disengaja harus berpusat pada peserta didik, inovatif, otentik, dan inspirasional. Prosedur dan langkah-langkah model ADDIE sebagai berikut: 
1. Analyze 
Tujuan tahap Analisis adalah untuk mengidentifikasi kemungkinanpenyebab kesenjangan kinerja. Setelah menyelesaikan fase Analisis, pendidik harus dapat menentukan apakah pembelajaran akan menghilangkan kesenjangan kinerja, mengusulkan tingkat di mana pembelajaran akan menghilangkan kesenjangan, dan merekomendasikan strategi untuk menghilangkan kesenjangan kinerja berdasarkan bukti empiris tentang potensi kesuksesan. Sementara pembelajaran dapat mempengaruhi kinerja peserta didik, karyawan, dan peserta didik lainnya, ada banyak faktor lain yang mempengaruhi kinerja dan menjadi alternatif yang berlaku untuk pengajaran, seperti mengisi kekosongan informasi, memberikan dokumentasi yang sesuai, menyusun alat bantu kerja yang efektif, memberikan umpan balik yang tepat waktu, mendelegasikan wewenang, merekayasa ulang suatu produk atau proses, menata ulang unit kerja, dan mengklarifikasi konsekuensi dari kinerja yang buruk; Oleh karena itu, jika gap kinerja disebabkan oleh alasan selain kurangnya pengetahuan dan keterampilan, maka proses ADDIE harus di hentikan. Jika kesenjangan kinerja disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan keterampilan, maka lanjutkan untuk mengusulkan pilihan instructional. Selama pertemuan dengan pimpinan dimana ringkasan analisis disampaikan, biasanya satu dari dua hal terjadi: (a) permintaan pimpinan berubah ke analisis atau (b) pimpinan merasa puas. Jika permintaan pimpinan berubah, ulangi fase analisis atau bagian yang relevan dari tahap Analisis dan siapkan dokumen ringkasan analisis yang telah direvisi.  
2. Design 
Tujuan dari tahap Desain adalah untuk memverifikasi kinerja yangdiinginkan dan metode pengujian yang tepat. Setelah menyelesaikan tahap desain, pendidik harus dapat mempersiapkan seperangkat spesifikasi fungsional untuk menutup kesenjangan kinerja karena kurangnya pengetahuan dan keterampilan. Fase Desain menetapkan ''Line of Sight'. 'Teori Line-of-Sight mengandaikan bahwa untuk melihat suatu objek, kita harus melihat sepanjang garis pada objek itu. Line of Sight disajikan di sini sebagai pendekatan praktis untuk menjaga keselarasan kebutuhan, tujuan, sasaran, sasaran, strategi, dan penilaian selama proses ADDIE. Berbagai tingkat keahlian di antara pemangku kepentingan yang berpartisipasi dalam proses ADDIE, dan variabel kontekstual lainnya, memerlukan pemeliharaan garis pandang sepanjang proses ADDIE. Gagasan garis pandang secara langsung akan mempengaruhi kegiatan manajemen dan pengembangan tim pengembang. Kegiatan di luar lingkup proyek dan hal-hal yang tidak terkait dengan penutupan kesenjangan kinerja dapat menyamarkan garis pandang. Selama pengembangan, dimana ringkasan desain disampaikan, harus ada kepercayaan tinggi tentang jalan untuk menutup kesenjangan kinerja.
3. Development 
Tujuan fase Development adalah untuk menghasilkan dan memvalidasisumber belajar yang dipilih. Setelah menyelesaikan fase mengembangkan, pendidik harus dapat mengidentifikasi semua sumber daya yang diperlukan untuk melakukan episode pembelajaran yang disengaja dan direncanakan. Pada akhir tahap Develop, pendidik juga harus memilih atau mengembangkan semua alat yang diperlukan untuk menerapkan instruksi yang direncanakan, mengevaluasi hasil instruksional, dan menyelesaikan fase proses pembelajaran ADDIE yang tersisa. Hasil dari tahap ini adalah kumpulan sumber belajar yang komprehensif, seperti semua konten, strategi pembelajaran, dan rencana pelajaran lainnya, media pendidikan yang dibutuhkan untuk mendukung modul pembelajaran, serangkaian petunjuk yang komprehensif untuk setiap episode instruksional dan aktivitas mandiri yang memfasilitasi pengembangan pengetahuan dan keterampilan peserta didik, seperangkat petunjuk yang komprehensif yang akan menawarkan bimbingan kepada pendidik saat dia berinteraksi dengan peserta didik selama pengajaran yang direncanakan, rencana evaluasi formatif, dan ringkasan revisi yang dibuat selama tahap Development. Dalam pertemuan di mana sumber belajar disajikan kepada pengguna, fokusnya adalah pada mengkomunikasikan kepercayaan tim perancang dalam sumber belajar agar mampu menutup kesenjangan kinerja karena penyebabnya adalah kurangnya pengetahuan dan keterampilan. 
4. Implementation 
Tujuan dari tahap Implementasi adalah untuk mempersiapkan lingkunganbelajar dan melibatkan peserta didik. Prosedur umum yang terkait dengan tahap Implementasi adalah mempersiapkan pendidik dan mempersiapkan peserta didik. Setelah menyelesaikan tahap Implementasi, peserta didik harus bisa pindah ke lingkungan belajar yang sebenarnya dimana peserta didik dapat mulai membangun pengetahuan baru dan keterampilan yang dibutuhkan untuk menutup kesenjangan kinerja. Tahap Implementasi menunjukkan kesimpulan dari kegiatan pembangunan dan akhir dari evaluasi formatif. Sebagian besar pendekatan ADDIE menggunakan fase Implementasi untuk beralih ke kegiatan evaluasi sumatif dan strategi lain yang menjadi tindakan proses belajar mengajar. Hasil dari tahap ini adalah implementasi strategi. Komponen umum dari implementasi strategi adalah rencana pelajar dan rencana fasilitator dimana pendidik yang benar-benar akan mengelola program pembelajaran. 
5. Evaluation
Tujuan tahap evaluasi adalah untuk menilai kualitas produk dan prosespembelajaran, baik sebelum dan sesudah implementasi. Prosedur umum yang terkait dengan fase evaluasi dikaitkan dengan penentuan kriteria evaluasi, memilih alat evaluasi yang tepat, dan melakukan evaluasi. Setelah menyelesaikan tahap evaluasi, pendidik harus dapat mengidentifikasi keberhasilannya, Hasil dari tahap ini adalah rencana evaluasi. Komponen umum dari rencana evaluasi adalah ringkasan yang menguraikan tujuan, alat pengumpulan data, waktu, dan orang atau kelompok yang bertanggung jawab untuk tingkat evaluasi tertentu, seperangkat kriteria evaluasi sumatif, dan seperangkat alat evaluasi . 
 

Gambar Model ADDIE
Sumber: Zhang (2020:47)

Kelebihan desain ADDIE
    1. Model ini sederhana dan mudah dipelajari serta strukturnya yang sistematis. Seperti kita ketahui bahwa model ADDIE ini terdiri dari 5 komponen yang saling berkaitan dan terstruktur secara sistematis yang artinya dari tahapan yang pertama sampai tahapan yang kelima dalam pengaplikasiannya harus secara sistematik, tidak bisa diurutkan secara acak atau kita bisa memilih mana yang menurut kita ingin di dahulukan.
    2. Karena kelima tahap/langkah ini sudah sangat sederhana jika dibandingkan dengan model desain yang lainnya. Sifatnya yang sederhana dan terstruktur dengan sistematis maka model desain ini akan mudah dipelajari oleh para pendidik.
Kekurangan model desain ADDIE 
    1. Tahap analisis memerlukan waktu yang lama. Dalam tahap analisis ini pendesain/pendidik diharapkan mampu menganalisis dua komponen dari peserta didik terlebih dahulu dengan membagi analisis menjadi dua yaitu analisis kinerja dan alisis kebutuhan.
    2. Dua komponen analisis ini yang nantinya akan mempengaruhi lamanya proses menganalisis peserta didik sebelum tahap pembelajaran dilaksanakan. Dua komponen ini merupakan hal yang penting karena akan mempengaruhi tahap mendesain pembelajaran yang selanjutnya.

3. Model Banathy 
Bela Banathy merancang model ini pada tahun 1968 didedikasikan untuk desain sistem pembelajaran. Konsep kegiatan sebagai berikut: 1. merumuskan tujuan (formulate objectives); 2. mengambarkan tes (develop test); 3. menganalisis kegiatan belajar (analyzing learning tesk); 4. mendesain sistem instruksional (design system); 5. melaksanakan kegiatan dan mengetes hasil (implement and test output); 6. mengadakan perbaikan (change to improve).
 

Gambar Model Banathy
Sumber: (Lestari, 2007:110-111)

Langkah – langkah sistem pembelajaran menurut model rancangan pembelajaran Banathy :
  • Merumuskan Tujuan, yang memuattentang “apa” yang harus di lakukan , “ seberapa baik telah dilakukan” dan “ dalam kondisi yang bagaimana’. 
  • Menyusun Tes untuk menentukan keberhasilan siswa.
  • Menganalisis tugas belajar, yang meliputi tiga sub – kegiatan, yaitui : 
    1. menganalisis keseluruhan tugas belajar (pengetahuan, ketrampilan, dan sikap yang dianggap perlu untuk dipelajari)
    2. mengadakan penilaian dan penjajagan kompe- tensi awal siswa( apersepsi :pertanyaan awal mengenai peranan ekonomi dalam masyarakat) ; dan 
    3. mengidentifikasi tugas – tugas belajar yang diperlukan.
  • Merancang sistem. Kegiatan yang termasuk dalam langkah ini meliputi : 1) analisis fungsi, yaitu merumuskan apa yang harus dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya; 2) analisis komponen, memerikan siapa atau apa yang memiliki potensi atau kemampuan untuk melakukan fungsi tersebut; 3) distribusi fungsi, berkaitan dengan apa dan siapa yang harus melakukan sesuatu fungsi tersebut; dan 4) penjadwalan, yang memerinci di mana dan kapan fungsi – fungsi tersebut dilakukan. 
  • Melaksanakan dan menguji hasil. Kegiatan pada langkah ini meliputi sub – sub kegiatan, pertama meliputi: 1) latihan sistem, yang dimaksud agar tiap komponen dalam sistem menguasai benar apa dan bagaimana tugas harus dilakukan, 2) tes sistem, yang diperlukan untuk mengetahui bahwa sistem telah dapat berjalan dan tes ini dapat dilakukan secara sedehana ataupun secara mendalam melalui simulasi, dan 3) penerapan sistem,; dan sub langkah kedua adalah evaluasi, yang meliputi kegiatan monitoring dan pengawasan mutu dari proses maupun produk pembelajaran.
  • Mengadakan perubahan untuk perbaikan. Langkah ini dilakukan dengan cara meninjau secara keseluruhan komponen sistem, yang kemudian atas dasar peninjauan ini pengembangan dilakukan perubahan – perubahan dan penyempurnaan.
4. Model Bergman and Moore 
Model Desain pembelajaran Bergman dan Moore adalah model berbasis produk, yang diterbitkan pada tahun 1990. Tujuan utama dari model ini adalah untuk menghasilkan produk multimedia interaktif yang berkualitas yang independen terhadap teknologi yang digunakan untuk menciptakannya. Ada sejumlah perbedaan yang ditemukan pada model ini yang membuatnya berbeda dengan model pengembangan pembelajaran lainnya yang lebih terkenal. Perbedaan pertama dari perbedaan tersebut adalah model Bergman dan Moore dikembangkan dari industri komersial, dan tidak dalam setting akademis. Dengan desain, model ini tidak sepenuhnya digunakan untuk mengembangkan materi pembelajaran, namun dapat ditemukan dalam pengembangan media periklanan dan survei, teknologi penjualan dan demo, dan area lain dimana informasi disebarluaskan melalui penggunaan teknologi multimedia. 

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, model Bergman dan Moore dirancang untuk membantu pendidik atau pimpinan proyek multimedia dalam mengatur arus dokumen proyek. Model itu sendiri dibagi menjadi enam fase kunci, yang masing-masing terdiri dari tiga subfase. Keenam fase utama dari model tersebut adalah menganalisa, merancang, mengembangkan produk, menggubah dan memvalidasi. Masing-masing dari enam fase ini memiliki tiga fase; masukan, proses dan evaluasi. 

1. Analisis 
Tahap analisis, seperti semua fase lainnya diawali dengan masukan yangmendalam, yang pada tahap ini merupakan proposal proyek atau proposal pengembangan droduk multimedia. Sepanjang tahap analisis, pendidik atau manajer proyek mencoba memahami tujuan sebenarnya dari pembelajaran atau proyek tersebut, menghabiskan waktu dan sumber daya untuk melakukan analisis alternatif mengenai masalah yang telah dipekerjakannya untuk dipecahkan melalui produksi produk multimedia. Penyampaian tahap analisis adalah dokumen deskripsi aplikasi. Dokumen ini berfungsi sebagai gambaran umum pendidik atau manajer proyek dimana akan dikembangkan perancangan secara mendetail. Langkah terakhir dalam tahap analisis adalah evaluasi. Sebelum pindah ke tahap perancangan, pendidik atau manajer proyek akan memiliki dokumen deskripsi aplikasi yang ditinjau dan disetujui oleh pemangku kepentingan atau yang menjadi sponsor proyek. 

2. Desain
Setelah persetujuan dari pimpinan atau pihak sponsor, pendidik/manajerproyek memandu tim produksi ke tahap perancangan. Memiliki tiga subtahap yang sama seperti tahap analisis, tahap perancangan dimulai dengan peninjauan masukan, yang dalam hal ini adalah dokumentasi deskripsi aplikasi dari tahap analisis. Tahap desain mengubah dokumen deskripsi aplikasi menjadi rencana yang lebih lengkap untuk pengembangan media. Penyampaian tahap desain adalah dokumen lain yang disebut dokumen desain. Dokumen ini dimulai dengan desain tingkat tinggi, sebuah rencana luas yang mencakup keseluruhan proyek. Dari sini, pendidik/manajer proyek memfasilitasi pembuatan dokumen desain rinci yang memisahkan proyek ke dalam subproyeknya. Bagian akhir dari tahap desain sekali lagi adalah evaluasi hasil desain. Tahap evaluasi ini penting untuk produksi produk berkualitas tinggi, dan dilakukan di dalam tim desain, melalui peer review dan penilaian dari para pimpinan. Begitu pendidik/manajer proyek yakin bahwa tujuannya akan dipenuhi melalui produksi alat multimedia yang dirancang, fase pengembangan dapat dimulai. 

3. Pengembangan 
Pada tahap pengembangan, keseluruhan proyek digambarkan di atas kertasdimana tujuannya adalah untuk membuat dokumen yang dapat diproduksi menjadi konten yang disebut dokumen yang dapat diproduksi. Selama analisis masukan tahap pengembangan, pendidik atau manajer proyek membantu tim produksi menggabungkan deskripsi aplikasi dan dokumentasi desain menjadi diagram alir produksi komprehensif. Diagram alir dikembangkan lebih lanjut menjadi storyboards untuk keseluruhan proyek yang membantu pendidik atau manajer proyek mencapai kohesi antara semua proyek dan subproyek. Kiriman tahap pengembangan adalah dokumen produksi yang bila diberikan kepada pengembang yang tepat akan dibangun menjadi konten multimedia aktual. Sebelum produksi, storyboards, skrip, karya seni dan rincian lainnya harus disepakati. 

4. Produksi
Begitu dokumen produksi bisa dianggap kohesif, saatnya melanjutkankembali pengembangan. Fase produksi adalah tempat skrip, storyboards, karya seni dan aktivitas olahraga dll menjadi media nyata. Jika dilakukan dengan benar, pekerjaan yang membosankan dari fase sebelumnya akan membuat produksi media baik waktu maupun biaya menjadi tidak terasah. Tahap pertama fase produksi adalah, tentu saja, menganalisa masukan. Sampai saat ini, telah banyak orang-orang telah bergabung dengan tim produksi dan analisis. Ini adalah titik di mana setiap orang didudukkan di tempat yang sama untuk persiapan produksi media. Masukkan meliputi proyek media independen seperti audio, video dan grafik. Fase produksi adalah bagian proyek tercepat dan termahal dimana perubahan pada titik ini bisa sangat mahal, sehingga fase pra-produksi yang ekstensif. Meski singkat, sub-tahap evaluasi bisa digunakan untuk memperbaiki kesalahan besar di media yang tidak bisa diperbaiki melalui editing. 

5. Authoring 
Setelah produksi banyak subproyek individu, fase authoring adalah tempatsub proyek digabungkan ke dalam bentuk akhir, diuji dan disetel sesuai dengan dokumentasi yang dibuat pada fase sebelumnya. Mengacu pada dokumen aplikasi, dokumen desain, diagram alir, dll. Membantu pendidik/manajer produksi mencapai konsistensi dan kualitas pada produk akhir. Penyampaian fase authoring adalah rendition dari proyek yang sedekat mungkin dengan produk akhir. Pada saat ini, pendidik/manajer proyek akan memfasilitasi tinjauan akhir internal dalam produksi bersama dengan peninjau eksternal semi formal dan tinjauan target pengguna. Peninjauan ekstensif adalah tujuan fase validasi. 

6. Validasi 
Tahap akhir adalah fase validasi. Pada tahap ini, produk multimedia diujimelalui pengujian yang ketat untuk membuktikan bahwa media yang dikembangkan memenuhi tujuan yang ditetapkan oleh pimpinan atau yang menjadi sponsor proyek. Melalui tinjauan pengguna secara formal, yang berlangsung di lingkungan yang serupa dengan yang ditujukan untuk produk akhir, tim produksi dapat menunjukkan bahwa tujuan obyektif untuk proyek tersebut telah ditangani. Fase masukan validasi adalah daftar perbaikan yang direkomendasikan untuk proyek beserta laporan validasi yang menggambarkan efektivitas proyek berdasarkan proses peninjauan. 

Gambar Model Bergman and Moore. 
Sumber: Keleş, Erümİt, & Özkale (2016:117)

Beberapa kelebihan dan kelemahan model Bergman and Moore, diantaranya: 
Kelebihan 
  1. Produk multimedia interaktif yang di hasilkan bermutu tinggi 
  2. Produk yang bisa di kembangkan dengan model ini bukan cuman media pembelajaran tapi berbagai media yang lain
Kekurangan 
  1. Model pengembangan ini banyak di kembangkan dari industri komersial bukan dalam bidang pendidikan
  2. Membutuhkan biaya produk yang tinggi

5. Model Borg & Gall 
Menurut Tatang Ary Gumanti et al., (2016:295-299) langkah-langkah penelitian model pengembangan Borg and Gall terdiri dari sepuluh langkah. 10 langkah tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Mengumpulkan informasi dan hasil riset 
Langkah pertama ini meliputi analisis kebutuhan, studi pustaka, studiliteratur, penelitian skala kecil dan standar laporan yang dibutuhkan. Untuk melakukan analisis kebutuhan ada beberapa kriteria yang terkait dengan urgensi pengembangan produk itu sendiri, juga ketersediaan sumber daya manusia yang kompeten dan kecukupan waktu untuk mengembangkan. Adapun studi literatur dilakukan untuk pengenalan sementara terhadap produk yang akan dikembangkan, dan ini dilakukan untuk mengumpulkan temuan riset dan informasi lain yang bersangkutan dengan pengembangan produk yang direncanakan. Sedangkan riset skala kecil perlu dilakukan agar peneliti mengetahui beberapa hal tentang produk yang akan dikembangkan 
  
2. Menyusun rencana penelitian 
Menyusun rencana penelitian, meliputi kemampuan-kemampuan yangdiperlukan dalam pelaksanaan penelitian, rumusan tujuan yang hendak dicapai dengan penelitian tersebut, desain atau langkah-langkah penelitian, kemungkinan pengujian dalam lingkup terbatas 
 
3. Pengembangan produk awal
Langkah ini meliputi penentuan desain produk yang akan dikembangkan (desain hipotetik), penentuan sarana dan prasarana penelitian yang dibutuhkan selama proses penelitian dan pengembangan, penentuan tahap-tahap pelaksanaan uji desain di lapangan, dan penentuan deskripsi tugas pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian. Termasuk di dalamnya antara lain pengembangan bahan pembelajaran, proses pembelajaran dan instrumen evaluasi yang selanjutkan akan di uji oleh tim ahli.  
 
4. Uji Coba awal 
Uji coba dengan menggunakan beberapa subjek (6-12), bisa pendidik ataupeserta didik. Pada saat yang sama juga dilakukan pengumpulan data melalui observasi, wawancara dan angket. Tujuan uji coba pada tahap ini adalah untuk mendapatkan umpan balik awal secara kualitatif tentang kelayakan produk yang dikembangkan  
 
5. Merevisi hasil uji coba awal 
Langkah ini merupakan perbaikan model atau desain berdasarakan ujilapangan terbatas. Penyempurnaan produk awal akan dilakukan setelah dilakukan uji coba lapangan secara terbatas. Pada tahap penyempurnaan produk awal ini, lebih banyak dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Evaluasi yang dilakukan lebih pada evaluasi terhadap proses, sehingga perbaikan yang dilakukan bersifat perbaikan internal.  
 
6. Uji coba utama (main field testing) 
Uji coba pada subjek yang lebih banyak (30-100), lakukan pengujian pretestdan postest serta penggunaan kelompok control yang memadai denga mendasarkan pada data kuantitatif. Tujuan uji coba pada tahap ini untuk menentukan apakah produk yang dikembangkan telah sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.  
 
7. Revisi hasil uji coba utama 
Langkah ini merupakan penyempurnaan produk atas hasil uji lapanganberdasarkan masukan dan hasil uji lapangan utama. Jadi perbaikan ini merupakan perbaikan kedua setelah dilakukan uji lapangan yang lebih luas dari uji lapangan yang pertama. Penyempurnaan produk dari hasil uji lapangan lebih luas ini akan lebih memantapkan produk yang dikembangkan, karena pada tahap uji coba lapangan sebelumnya dilaksanakan dengan adanya kelompok kontrol. Desain yang digunakan adalah pretest dan postest. Selain perbaikan yang bersifat internal. Penyempurnaan produk ini didasarkan pada evaluasi hasil sehingga pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif  
 
8. Uji coba operasional (operational field testing) 
Uji coba pada subjek yang lebih banyak (40-200). Pada saat yang sama jugadilakukan pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dan angket. Tujuan uji coba pada tahap ini adalah untuk menentukan apakah produk yang dikembangkan sepenuhnya siap digunakan di satuan pendidikan, meski tampa kehadiran peleliti  
 
9. Revisi produk akhir 
Langkah ini merupakan penyempurnaan produk yang sedangdikembangkan. Penyempurnaan produk akhir dipandang perlu untuk lebih akuratnya produk yang dikembangkan. Pada tahap ini sudah didapatkan suatu produk yang tingkat efektivitasnya dapat dipertanggungjawabkan. Hasil penyempurnaan produk akhir memiliki nilai "generalisasi" yang dapat diandalkan. Penyempurnaan didasarkan masukan atau hasil uji kelayakan dalam skala luas. 
 
10. Diseminasi dan implementasi 
Susun laporan hasil penelitian dan publikasikan dalam pertemuan ilmiahatau melalui jurnal, termasuk kemungkinan untuk mendistribusi produk dalam bentuk massal. 
 


Gambar Model Borg & Gall 
Sumber: Muhardi, dkk. (2017:171)

6. Model Dick & Carey
10 tahapan yang saling berhubungan mewakili seperangkat teori, prosedur, dan teknik yang digunakan oleh perancang pembelajaran untuk merancang, mengembangkan, mengevaluasi, dan merevisi pengajaran. 

1. Identifikasi Tujuan Pembelajaran 
Langkah pertama dalam model ini adalah untuk menentukan informasi dan keterampilan baru yang ingin dikuasai peserta didik saat mereka menyelesaikan petunjuk pendidik, yang ditekankan sebagai tujuan. Tujuan pembelajaran dapat berasal dari daftar tujuan, mulai dari analisis kinerja, dari penilaian kebutuhan, dari pengalaman praktis dengan kesulitan belajar peserta didik, dari analisis orang- orang yang melakukan pekerjaan, atau dari beberapa persyaratan lain untuk instruksi baru. 

2. Lakukan Analisis Pembelajaran 
Setelah pendidik mengidentifikasi sasaran pembelajaran, pendidik menentukan langkah demi langkah apa yang peserta didik lakukan saat mereka melakukan tujuan itu dan juga melihat sub skill yang diperlukan untuk penguasaan tujuan secara penuh. Langkah terakhir dalam proses analisis pembelajaran adalah untuk menentukan keterampilan, pengetahuan, dan sikap apa yang dimiliki oleh dan dibutuhkan oleh peserta didik agar sukses dalam pengajaran yang baru. Misalnya, peserta didik perlu mengetahui dan bisa bemain bola voli, sehingga pengetahuan dasar tersebut adalah keterampilan dasar untuk pengajaran pada area penguasaan keterampilan teknik dasar bola voli. 

3. Analisis Peserta didik dan Konteks 
Selain menganalisis tujuan pembelajaran, ada analisis paralel terhadappeserta didik, konteks di mana mereka mempelajari keterampilan, dan konteks di mana mereka menggunakannya. Kemampuan, preferensi, dan sikap peserta didik saat ini ditentukan bersamaan dengan karakteristik setting pembelajaran dan setting di mana keterampilan akhirnya akan digunakan. Informasi penting ini membentuk sejumlah langkah sukses dalam model, terutama strategi pembelajaran. 

4. Tuliskan Tujuan Kinerja 
Berdasarkan analisis pembelajaran dan deskripsi keterampilan yang dimiliki, pendidik menulis pernyataan spesifik tentang apa yang dapat dilakukan peserta didik saat mereka menyelesaikan pelajaran. Pernyataan ini, yang berasal dari keterampilan yang diidentifikasi dalam analisis pembelajaran, mengidentifikasi keterampilan yang harus dipelajari, kondisi di mana keterampilan itu akan dilakukan, ditunjukkan, dan kriteria untuk kinerja yang sukses.

5. Kembangkan Instrumen Penilaian 
Berdasarkan tujuan yang telah pendidik tulis, pendidik mengembangkanpenilaian yang sesuai dan yang mengukur kemampuan peserta didik untuk melakukan apa yang pendidik gambarkan dalam tujuan. Penekanan utama ditempatkan pada keterkaitan jenis keterampilan yang dijelaskan dalam tujuan memenuhi persyaratan penilaian. Rentang kemungkinan penilaian untuk menilai pencapaian peserta didik terhadap keterampilan kritis sepanjang waktu mencakup tes objektif, pertunjukan langsung, ukuran pembentukan sikap, dan portofolio yang merupakan kumpulan penilaian objektif dan alternatif. 

6. Kembangkan Strategi Pembelajaran 
Berdasarkan informasi dari lima langkah sebelumnya, seorang perancang mengidentifikasi strategi berbasis teori untuk digunakan dalam pembelajaran untuk mencapai tujuan yang menekankan komponen untuk mendorong pembelajaran peserta didik, termasuk: 
  • Aktivitas sebelum pembelajaran, seperti merangsang motivasi dan memusatkan perhatian
  • Presentasi konten baru dengan contoh dan demonstrasi 
  • Partisipasi dan latihan peserta didik aktif dengan umpan balik tentang bagaimana keadaan mereka
  • Kegiatan follow-through yang menilai pembelajaran siswa dan berhubungan dengan keterampilan yang baru belajar dalam aplikasi dunia nyata.
Strategi ini didasarkan pada teori pembelajaran dan hasil belajar saat ini, karakteristik media yang digunakan untuk melibatkan peserta didik, konten yang harus diajarkan, dan karakteristik peserta didik yang berpartisipasi dalam pengajaran. Fitur ini digunakan untuk merencanakan logistik dan manajemen yang diperlukan, mengembangkan atau memilih bahan, dan merencanakan kegiatan pembelajaran.

7. Mengembangkan dan memilih bahan ajar 
Pada langkah ini, strategi pembelajaran digunakan untuk menghasilkanpembelajaran, dan biasanya mencakup panduan untuk peserta didik, bahan ajar, dan penilaian. (Dalam menggunakan istilah bahan ajar, kami menyertakan semua bentuk materi pembelajaran seperti panduan instruktur, daftar bacaan siswa, presentasi Power Point, studi kasus, video, podcast, format multimedia berbasis komputer, dan halaman web untuk pembelajaran jarak jauh.) Keputusan untuk mengembangkan materi asli tergantung pada jenis hasil pembelajaran, ketersediaan materi relevan yang ada, dan sumber pengembangan yang tersedia bagi Anda. Kriteria untuk memilih dari antara bahan yang ada juga disediakan. 

8. Merancang dan melakukan evaluasi formatif model pembelajaran 
Setelah menyelesaikan draf modul/materi pembelajaran, serangkaian evaluasi dilakukan untuk mengumpulkan data yang digunakan untuk mengidentifikasi masalah dengan pembelajaran atau kesempatan untuk membuat pembelajaran lebih baik, yang disebut formatif karena tujuannya adalah untuk membantu menciptakan dan memperbaiki proses dan produk pembelajaran. Ketiga  jenis evaluasi formatif tersebut adalah one-to-one evaluation, small-group evaluation, and field trial evaluation, yang masing-masing memberi perancang sejumlah informasi berbeda yang dapat digunakan untuk memperbaiki pengajaran. Teknik serupa dapat diterapkan pada evaluasi formatif bahan yang ada atau pembelajaran kelas.

9. Merevisi model pembelajaran 
Langkah terakhir dalam proses desain dan pengembangan adalah merevisimodel pembelajaran. Data dari evaluasi formatif diringkas dan diinterpretasikan untuk mengidentifikasi kesulitan yang dialami oleh peserta didik dalam mencapai tujuan dan untuk menghubungkan kesulitan ini dengan kekurangan spesifik dalam modul pembelajaran. Garis putus-putus diberi label "Revise Instruction" menunjukkan bahwa data dari evaluasi formatif tidak hanya digunakan untuk merevisi instruksi itu sendiri, namun digunakan untuk menguji kembali keabsahan analisis pembelajaran dan asumsi tentang keterampilan dasar dan karakteristik peserta didik. Mungkin perlu untuk menguji kembali pernyataan tujuan kinerja dan item uji berdasarkan data formatif. Strategi pembelajaran ditinjau ulang, dan akhirnya, semua pertimbangan ini dimasukkan ke dalam revisi modul pembelajaran untuk membuatnya menjadi pengalaman belajar yang lebih efektif. Dalam prakteknya, perancang tidak menunggu untuk mulai merevisi sampai semua pekerjaan analisis, desain, pengembangan, dan evaluasi selesai; Sebaliknya, perancang terus melakukan revisi pada langkah sebelumnya berdasarkan apa yang telah dipelajari dalam langkah selanjutnya. Revisi bukanlah kejadian diskrit yang terjadi pada akhir proses ID, namun proses penggunaan informasi yang terus berlanjut untuk menilai kembali asumsi dan keputusan.

10. Merancang dan melakukan summative evaluation
Meskipun evaluasi sumatif adalah evaluasi akhir tentang efektivitas pengajaran, namun umumnya bukan merupakan bagian dari proses perancangan. Karena evaluasi sumatif biasanya tidak dilakukan oleh perancang instruksi melainkan oleh evaluator independen, komponen ini tidak dianggap sebagai bagian integral dari proses perancangan pembelajaran.
Gambar Model Dick and Carey. 
Sumber: (Dikmen, 2019:34)

Beberapa hal yang menjadi kelebihan dan kelemaham model pengembangan desain pembelajaran Dick dan Carey. 
 
Kelebihan model pengembangan Dick dan Carey adalah:
  1. Setiap langkah jelas, sehingga dapat diikuti 
  2. Teratur, efektif dan efisien dalam pelaksanaa 
  3. Merupakan model atau perencanaan pembelajaran yang terperinci, sehingga mudah diikuti
  4. Adanya revisi pada analisis pembelajaran, dimana hal tersebut merupakan hal yang sangat baik, karena apabila terjadi kesalahan maka segera dapat dilakukan perubahan pada analisis pembelajaran tersebut, sebelum kesalahan didalamnya ikut mempengaruhi kesalahan pada komponen setelahnya
  5. Model Dick & Carey sangat lengkap komponennya, hampir mencakup semua yang dibutuhkan dalam suatu perencanaan pembelajaran.
Kekurangan model pengembangan Dick dan Carey adalah:
  1. Kaku, karena setiap langkah telah di tentukan 
  2. Tidak semua prosedur pelaksanaan pembelajaran dapat di kembangkan sesuai dengan langkah-langkah tersebut
  3. Tidak cocok diterapkan dalam pembelajaran skala besar 
  4. Uji coba tidak diuraikan secara jelas kapan harus dilakukan dan kegiatan revisi baru dilaksanakan setelah diadakan tes formatif 
  5. Pada tahap-tahap pengembangan tes hasil belajar, strategi pembelajaran maupun pada pengembangan dan penilaian bahan pembelajaran tidak nampak secara jelas ada tidaknya penilaian pakar (validasi).
  6. Terlalu banyak prosedur yang harus dilakukan oleh pendidik dalam melaksanakan proses pembelajaran.
  7. Membutuhkan waktu yang lama dengan dana yang cukup besar 
7. Model Gerlach dan Ely 
Gerlach dan Ely mendesain sebuah model pembelajaran yang cocokdigunakan untuk segala kalangan termasuk untuk tingkat pendidikan tinggi, karena di dalamnya ada strategi yang cocok digunakan oleh peserta didik dalam menerima materi yang akan disampaikan. Di samping itu, model Gerlach dan Ely mendefinisikan pemakaian produk teknologi pendidikan sebagai media dalam menyampaikan materi. 

Model ini merupakan suatu upaya untuk secara grafis, suatu metode perencanaan pembelajaran yang sistematis. Model ini merupakan suatu garis pedoman atau suatu cara dan bisa digunakan sebagai daftar rencana dalam sebuah rencana untuk kegiatan pembelajaran. Dalam model ini diperlihatkan keseluruhan proses belajar-mengajar yang baik, sekalipun tidak dilihat perincian setiap komponen. Model ini menampilkan hubungan antara unsur yang satu dengan yang lain serta yang dapat dikembangkan ke dalam suatu rencana untuk kegiatan pembelajaran. 

Berikut ini adalah langkah-langkah pengembangan pembelajaran model Gerlach and Ely:

1. Merumuskan Tujuan Pembelajaran (Spesifikasi tujuan) 
Tujuan pembelajaran merupakan suatu sasaran yang ingin dicapai dalamkegiatan pembelajaran. Dalam tujuan belajar merumuskan kemampuan apa yang harus dimiliki peserta didik pada tingkat jenjang belajar tertentu, sehingga setelah selesai pokok bahasan tertentu, peserta didik dapat memiliki kemampuan yang telah terpilih sebelumnya. Tujuan yang harus jelas (tidak abstrak dan tidak terlalu luas) dan operasional agar mudah diukur dan menilai. 

2. Menentukan Isi Materi (Spesifikasi Isi) 
Bahan atau materi pada beban adalah "isi/konten" dari kurikulum, dan pengalaman dalam bentuk topik/subtopik dan rinciannya. Isi materi beda-beda menurut bidang studi, dan kelasnya. Namun, isi materi harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Oleh karena itu, apa yang akan diajarkan pada peserta didik maunya dipilih pokok bahasan yang lebih spesifik. Gunanya, selain untuk memperingati ruang lingkupnya juga apa yang akan diajarkan bisa lebih jelas dan mudah dibandingkan dengan pelajaran bahasan lain dalam satu mata pelajaran yang sama. 

3. Penilaian kemampuan Awal peserta didik 
Kemampuan awal untuk memulai melalui tes awal (pretest). Pengetahuan tentang kemampuan awal peserta didik ini sangat penting bagi tenaga pendidik agar dapat memberikan porsi pelajaran yang tepat; tidak terlalu sukar dan tidak terlalu mudah. Pengetahuan tentang kemampuan awal juga berguna untuk mengambil langkah-langkah yang dibutuhkan, misalnya perlu dipersiapkan pembelajaran atau penggunaan metode tertentu. Pengumpulan data peserta didik dilakukan dengan cara: 
  • Pretest dilakukan untuk mengetahui prestasi belajar peserta didik, yaitu apa yang sudah diketahui dan apa yang belum diketahui tentang rencana pokok bahasan yang akan diajarkan.
  • Mengumpulkan data pribadi peserta didik (data pribadi) untuk mengukur potensi peserta didik dan mengelompokkannya ke dalam kategori peserta didik yang termasuk pelajar cepat dan peserta didik yang termasuk pelajar yang lamban
4. Menentukan Strategi (Penentuan strategi) 
Menurut Gerlach dan Ely, Strategi merupakan pendekatan yang dipakaipengajar dalam memanipulasi informasi, memilih sumber-sumber, dan menentukan tugas/peran peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar. Dalam tahap ini pengajar harus menentukan cara untuk dapat mencapai tujuan pembelajaran dengan sebaik-baiknya. Dua bentuk umum tentang pendekatan ini adalah untuk ekspose (expository) yang lazim digunakan dalam belajar tradisional, biasanya lebih penting komunikasi satu arah, dan bentuk penggalian (inquiry) yang lebih mengutamakan pelajaran peserta didik dalam proses belajar mengajar.

5. Pengelompokkan Belajar (Organisasi kelompok) 
Setelah menentukan strategi, pengajar harus mulai belajar bagaimana caramengatur. Pendekatan yang menghendaki kegiatan belajar mandiri (studi mandiri) membutuhkan pengorganisasian yang berbeda dengan pendekatan yang membutuhkan banyak diskusi dan partisipasi aktif dalam ruang yang kecil, atau untuk mendengarkan ceramah dalam ruang yang luas. Beberapa pengelompokkan peserta didik antara lain: 
  • Pengelompokan berdasarkan jumlah peserta didik (pengelompokan menurut ukuran), yaitu belajar mandiri, kelompok kecil, dan kelompok besar.
  • Pengelompokkan (pengelompokkan ungraded), yaitu pengelompokan yang tidak ada kelas (tingkat) atau usia, mereka memiliki tingkat pengetahuan yang sama dalam satu mata pelajaran.
  • Gabungan beberapa kelas (multiclass grouping), yaitu gabungan dari beberapa kelas yang sama dalam satu ruangan besar, dan dapatkan pelajaran dengan bermacam-macam kegiatan pada saat yang bersamaan.
  • Satuan pendidikan di satuan pendidikan (perguruan tinggi/sekolah), yaitu satu kompleks yang besar yang terdiri dari beberapa gedung perguruan tinggi/sekolah. Pengelompokan ini berdasarkan kemampuan dan hasil-hasil yang dicapai oleh peserta didik.
  • Taman kependidikan (taman pendidikan), yaitu kampus yang terdiri atas taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi dengan pemusatan sarana, pelayanan dan informasi.
6. Pembagian Waktu (alokasi waktu) 
Pemilihan strategi dan teknik untuk ukuran kelompok yang berbeda-bedaini mau tidak mau akan proses pengajar berpikir menggunakan waktu, yaitu mungkin sebagian besar waktunya harus dialokasikan untuk presentasi atau informasi, untuk praktik lapangan, laboratorium secara individu, atau untuk diskusi. Rencana penggunaan waktu akan berbeda berdasarkan pokok permasalahan, tujuan-tujuan yang dirumuskan, ruangan yang tersedia, pola-pola administrasi serta abilitas dan minat-minat para peserta didik.

7. Menentukan Ruangan (Alokasi Ruang Pembelajaran) 
Alokasi ruang ditentukan dengan menjawab apa tujuan belajar dapat digunakan lebih efektif dengan belajar mandiri dan bebas, berinteraksi antar peserta didik atau mendengarkan penjelasan dan bertatap muka dengan pendidik. Ada tiga alternatif ruangan belajar, agar bisa belajar bersama bisa terkondisikan, yaitu ruangan atau tempat kelompok besar, kelompok kecil, dan ruangan/tempat untuk belajar mandiri.

8. Memilih Media (Alokasi sumber daya)
Pemilihan media ditentukan menurut tanggapan peserta didik yang disepakati, jadi fungsinya tidak hanya sebagai rangsangan belajar semata. Gerlach dan Ely membagi media sebagai sumber belajar dalam lima kategori: 
  1. Manusia dan benda nyata 
  2. Proyeksi visual media 
  3. Media audio 
  4. Media cetak, dan 
  5. Media Display
9. Evaluasi Hasil Belajar (Evaluasi Kinerja) 
Hakikat belajar adalah perubahan tingkah laku belajar pada akhir kegiatanpembelajaran. Semua usaha kegiatan pengembangan instructional dapat dikatakan berhasil atau tidak setelah tingkah laku akhir belajar tersebut di evaluasi. Hasil evaluasi atas dasar rumusan tujuan dan harus dapat. Yang dievaluasi dalam proses belajar-mengajar sebenarnya bukan hanya peserta didik, tapi sistemnya. Oleh karena itu, dalam proses belajar-mengajar ada rangkaian tes yang dimulai dari tes awal/memasuki perilaku untuk mengetahui mutu/isi pelajaran apa yang sudah diketahui oleh peserta didik dan apa yang belum, terhadap rencana pelajaran yang akan diajarkan. Memasuki perilaku untuk mengukur kemampuan peserta didik dan mengelompokkannya ke dalam kelompok kemampuan yang kurang, sedang, dan pandai. 

10. Menganalisis Umpan Balik (Analisis umpan balik) 
Analisis umpan balik merupakan tahap terakhir dari pengembangan sistem pembelajaran ini. Data umpan balik yang dihasilkan dari evaluasi, tes, observasi maupun tanggapan-tanggapan tentang usaha-usaha pembelajaran ini menentukan, apakah sistem, metode dan media yang dipakai dalam kegiatan pembelajaran ini sudah sesuai untuk tujuan yang ingin dicapainya atau masih perlu disempurnakan.

Gambar Model Gerlach and Ely 
Sumber: Keleş et al. (2016:115)

Kelebihan model pengembangan pembelajaran Gerlach dan Elly: 
  1. Model pembelajaran Gerlach dan Elly diadakan pretest (tes awal) sebelum kegiatan belajar mengajar dilaksanakan karena pendidik belum mengenal peserta didik.
  2. Model pembelajaran Gerlach dan Elly sangat teliti dalam pembelajaran atau pembelajaran, dengan diadakannya tahap pengelompokan belajar, penghitungan pembagian waktu, serta tata ruang belajar.
Kekurangan Model Gerlach dan Elly:
  1. Tidak adanya tahapan pengenalan karakteristik peserta didik sehingga bisa membuat pendidik kewalahan dalam mengajar.
  2. Guru tidak mengenal latar belakang peserta didik.

8. Model Gentry IPDM 
Model Gentry IPDM dikembangkan oleh Castelle Gentry (1994). Model ini menunjukkan apa yang perlu dilakukan?, dan bagaimana sesuatu harus dilakukan? dalam mengembangkan pembelajaran. 2 (dua) kelompok komponen, yaitu komponen pengembangan, dan komponen pendukung. Di samping itu ada juga komponen komunikasi yang menghubungkan keduanya. Komponen pengembangan terdiri atas delapan, yaitu analisis kebutuhan, adopsi, desain, produksi, prototipe, instalasi, operasi, dan evaluasi. Sedangkan komponen pendukung terdiri atas manajemen, penanganan informasi, pemerolehan dan pengalokasian sumber, personil, dan fasilitas. 


Gambar Model IPDM
Sumber: (Munir Tubagus, 2016:21)

9. Model IDI
Pengembangan instruksional model ID (Instruksional Development Institute) merupakan suatu hasil konsorsium antar perguruan tinggi di Amerika Serikat yang dikenal dengan Uniiversity Consorsium Instructional Development and Technology (UCIDT). Dengan model pendekatan sistim yang meliputi tiga tahapan, yakni; Pembatasan (define), Pengembangan (develop), Penilaian (evaluate).


Gambar model instructional development institute (IDI)
Sumber: (Huda, 2017:131)

1. Tahap pembatasan (define)
Identifikasi masalah, dimulai dengan analisis kebutuhan atau yang disebut need assesment. Pada dasarnya need assisment ini berusaha menemukan suatu perbedaan (descrypancy) antara apa yang ada dan apa yang idealnya (yang diinginkan). Karena banyaknya kebutuhan pengajaran, maka perlu diadakan prioritas mana yang didahulukan dan mana yang dikemudian.

2. Tahap Pengembangan (develope)
Identifikasi tujuan; tujuan instruksional yang hendak dicapai perlu diidentifikasikan terlebih dahulu, baik tujuan instruksional umum (TIU) dalam hal ini IDI menyebutkan dengan Terminal Objectives dan tujuan instruksional khusus (TIK) yang disebut Enabling Objectives. TIK adalah penjabaran yang lebih rinci dari TIU, maka TIK dianggap penting sekali dalam pengembangan instruksional. 

3. Tahap penilaian (evaluate)
Tes uji coba; Setelah prototipa program instruksional tersebut disusun, maka langkah berikutnya harus diadakan uji-coba. Uji-coba ini dapat dilakukan pada sampel audien untuk menentukan kelemahan dan kebaikan serta efesiensi dan keefektifan suatu program yang dikembangkan.

10. Model Jolly dan Bolitho 
Jolly dan Bolitho dalam Emzir berusaha merangkum berbagai langkah yang dilibatkan dalam proses penulisan materi ajar khusus bahasa dalam bentuk sebuah flowchart berikut:



Gambar. Model Jolly & Bolitho 
Sumber :  (Brooks, 2014:166)

Model ini memeiliki kerangka yang lain dikarenakan fokus pada sebuah materi yang ingin dikembangkan dimana sebuah masalah harus di identifikasi dahulu untuk dijadikan sebuah sumber masalah, di explorasi kepada sebuah arahan kepada situasi pembelajaran langsung, sehingga menghasilkan sebuah kontek yang diarahkan pada pendidikan atau latihan secara rasional, yang produktif berupa materi – materi berbasis studi yang mudah di evaluasi.

11. Model Kemp 
Model Desain Kemp mengadopsi struktur melingkar, bukan yang linier. Lingkaran ini dicapai dengan melihat 9 (sembilan) elemen inti model saling bergantung. Hal ini memungkinkan perancang pembelajaran memiliki fleksibilitas, karena mereka dapat memulai proses perancangan dengan salah satu dari sembilan komponen atau tahapannya, dan bukannya dibatasi untuk bekerja secara linier. Dengan kata lain, perancang tidak diharuskan mempertimbangkan komponen-komponennya dengan cara yang tertib. Bergantung pada prosesnya, sejumlah tahap dapat diatasi secara bersamaan, dan beberapa tahap perancangan bahkan mungkin tidak diperlukan. Karena keterkaitan antar komponen, proses perancangan menjadi siklis, terbuka terhadap revisi dan penyesuaian yang sedang berlangsung di antara elemen, untuk mencapai desain yang paling sesuai dengan hasil pembelajaran yang diinginkan. 

Secara umum, untuk mencapai hasil ini, perancang pembelajaran perlumempertimbangkan tidak hanya tujuan pembelajaran, tetapi juga sejumlah faktor lainnya, termasuk kebutuhan dan karakteristik pelajar, isi dan aktivitas pembelajaran (termasuk tugas dan prosedur), sumber daya pembelajaran dan layanan pendukung, alat, metode penilaian dan penilaian pelajar. Tugas ini bertepatan dengan empat elemen penting yang didefinisikan sebagai kerangka dasar untuk perencanaan pembelajaran (pelajar, tujuan, metode, evaluasi). Sembilan Unsur Inti Model Desain Instructional Kemp: 

1. Identifikasi masalah pembelajaran. 
Tujuan dari tahapan ini adalah mengidentifikasi antara tujuan menurut kurikulum yang berlaku dengan fakta yang terjadi di lapangan baik yang menyangkut model, pendekatan, metode, teknik maupun strategi yang digunakan pendidik.

2. Analisis peserta didik. 
Analisis ini dilakukan untuk mengetahui tingkah laku awal dan karateristik peserta didik yang meliputi ciri, kemampuan dan pengalaan baik individu maupun kelompok.

3. Analysis Tugas 
Memperjelas isi dan analisis tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dengan syarat dampaknya dapat dijadikan tolok ukur perilaku peserta didik.

4. Merumuskan Indikator. 
Analisis ini berfungsi sebagai (1) alat untuk mendesain kegiatan pembelajaran, (2) kerangka kerja dalam merencanakan mengevaluasi hasil belajar peserta didik dan (3) panduan peserta didik dalam belajar.

5. Penyusunan Instrumen Evaluasi.

Bertujuan untuk menilai hasil belajar, kriteria penilaian yang digunakan adalah penilaian acuan patokan, hal ini dimaksudkan untuk mengukur ketuntasan pencapaian kompetensi dasar yang telah dirumuskan. 

6. Strategi Pembelajaran.
Pada tahap ini pemilihan strategi belajar mengajar yang sesuai dengan tujuan. Kegiatan ini meliputi: pemilihan model, pendekatan, metode, pemilihan format, yang dipandang mampu memberikan pengalaman yang berguna untuk mencapai tujuan pembelajaran.

7. Pemilihan media atau sumber belajar. 

Keberhasilan pembelajaran sangat tergantung pada penggunaan sumber pembelajaran atau media yang dipilih, jika sumber-sumber pembelajaran dipilih dan disiapkan dengan hati-hati, maka dapat memenuhi tujuan pembelajaran.

8. Merinci pelayanan penunjang yang diperlukan untuk mengembangkan dan melaksanakan dan melaksanakan semua kegiatan dan untuk memperoleh atau membuat bahan.

9. Mengevaluasi pembelajaran peserta didik dengan syarat mereka menyelesaikan pembelajaran serta melihat kesalahan-kesalahan dan peninjauan kembali beberapa fase dari perencanaan yang membutuhkan perbaikan yang terus menerus, evaluasi yang dilakukan berupa evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Setiap langkah rancangan pembelajaran selalu dihubungkan denganrevisi. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengevaluasi dan memperbaiki rancangan yang dibuat.


Gambar 2. Model Kemp’s. 
Sumber Birgili (2019:81)


Kelebihan dari model Kemp antara lain: 
    1. Diagram pengembangannya berbentuk bulat telur yang tidak memiliki titik awal tertentu, sehingga dapat memulai perancangan secara bebas
    2. Bentuk bulat telur itu juga menunjukkan adanya saling ketergantungan diantara unsur-unsur yang terlibat
    3. Dalam setiap unsur ada kemungkinan untuk dilakukan revisi, sehingga memungkinkan terjadinya sejumlah perubahan dari segi isi maupun perlakuan terhadap semua unsur tersebut selama pelaksanaan program.
Kekurangan 
    1. Proses pelaksanaanya tidak sistematis dan linier 
    2. Keberhasilan dalam proses pemelajaran sangat tergantung dengan pemilihan media, apabila pemilihan media pembelajaran kurang bagus, bisa mempengaruhi hasil belajar
    3. Dalam proses pembelajaran pengaruh guru terlalu besar.

12. Model PPE
Langkah pada pengembangan model ini sangat sederhana sesuaidengan namanya hanya terdiri dari 3 huruf, yakni PPE yang kepanjangan dari planning, production, evaluation. Richey & Klein menjelaskan bahwa “the focus of design and development research can be on front-end analysis, planning, production, and Evaluation (PPE). Jadi langkah-langkah penelitian dan pengembangan hanya terdiri daritiga aspek: perencanaan, memproduksi, dan evaluasi. Konsep model dapat digambarkan sebagai berikut:



Gambar Model Planning, Production and Evaluation  (PPE)
Sumber: Ayu (2021:5393)

Pada tahap perencanaan tugas yang dilakukan adalah merencanakanproduk yang dibuat untuk tujuan tertetu, yang tentunya diawali dengan analisis kebutuhan baik melalui penelitian awal atau studi literature. Selanjutnya pada tahap produksi adalah membuat produk berdasarkan hasil yang telah direncanakan dan dirancang. Pada tahap akhir adalah mengevaluasi dengan tugas menguji dan menilai tentang produk yang telah dibuat berdasarkan pemenuhan spesifikasi yang telah ditentukan. Model pengembangan ini sangat sederhana dan berorientasi padaproduk, artinya menghasilakn produk guna memenuhi kebutuhan masyarakat. 
 
Namun model ini masih banyak kelemahan dari hasil produk yang dihasilkan. Produk tidak melalui uji berulang guna melihat keterandalan produk sudah memenuhi standar yang telah ditentukan, sehingga langkah- langkah yang sangat sederhana biasanya kurang mempunyai validitas yang tinggi dan bahkan belum dapat dipastikan tentang keefektifan dari produk yang telah dihasilkan.

13. Model Sugiyono 
Langkah-langkah penelitian dan pengembangan yang menciptakan produk baru yang teruji model sugiyono sebagai berikut : 1). Potensi dan masalah, 2). Pengumpulan data, 3). Desain Produk, 4).  Validasi Desain, 5). Revisi desin, 6). Uji coba produk, 7). Revisi produk, 8). Uji coba pemakaian, 9). Revisi Produk dan 10). Produksi Massal.  

Gambar. Model Sugiyono
Sumber: (Sugiyono, 2010:409)

Model sugiono ini menunjukan bahwa pentingya sebuah potensi masalah yang ada dan perlu adanya fakta yang penting dengan masalah – masalah perlu ingin di selesaikan sesuai tahapan – tahapan yang ada. 

14. Model Smith dan Ragan 
Model desain sistem pembelajaran yang dikemukakan oleh smith dan ragan terdiri atas beberapa langkah dan prosedur pokok sebagai berikut : a). Analisis lingkungan belajar b). Analisis karakteristik atlet/ atlet c.) Analisis tugas pembelajaran


Gambar. Model smith dan ragan
Sumber : (Birgili, 2019:83)

Model Smith dan Ragan model yang berorientasi pada sistem. Sistem maksudnya yang  termasuk sekumpulan elemen diskrit yang terkait dengan pencapaian tujuan pembelajaran tertentu; setiap bagian dari sistem bekerja dalam satu kesatuan yang koheren dan tak terpisahkan. Pendekatan sistem merupakan metode bagi desainer untuk bekerja dalam situasi instruksional yang kompleks sehingga mereka dapat mendeskripsikan dan menganalisis komplikasi dalam proses pembelajaran, mengidentifikasi disfungsi dan inkompatibilitas dalam sistem. 
 
Kelebihan  model Smith dan Ragan menegaskan bahwa linieritas sistem memberi instruktur kesempatan untuk mempertimbangkan masalah instruksional dari perspektif yang luas, memungkinkan instruktur untuk memecahkan masalah yang diidentifikasi dalam sistem instruksional. Model sistem seperti model Smith dan Ragan dipengaruhi oleh teori sistem, analisis sistem, dan rekayasa sistem. Model sistem diadopsi dan digunakan dalam bidang pendidikan untuk mengatasi masalah administrasi, organisasi dan manajerial.

15. Model 4 D
Langkah-langkah model 4 D terdiri dari 4 kegiatan, yaitu: 1) define, 2) design), 3) develop, dan 4) disseminate. 

Gambar. Model 4 D
Sumber : (Wijaya, 2019:3)

Prosedur pengembangan media pembelajaran berdasarkan model 4 D adalah: 
    1. Menganalisis kebutuhan tujuan pembelajaran, kondisi lingkungan belajar, dan kebutuhan target pengguna media, 
    2. Merumuskan rancangan media pembelajaran yang sesuai dengan rekomendasi hasil analisis, 
    3. Merealisasi rancanganmedia pembelajaran adaptif melalui kegiatan pemanfaatan dan pengembangan media, 
    4. Menerapkan dan mengkomunikasikan hasil penggunaan media pembelajaran adaptif

REFERENSI:
  1. Birgili, B. (2019). Comparative reflection on best known instructional design models: Notes from the field. Current Issues in Emerging eLearning, 6(1), 78–94. Retrieved from https://scholarworks.umb.edu/cieeAvailableat:https://scholarworks.umb.edu/ciee/vol6/iss1/5
  2. Brooks, G. (2014). Developing an electronic textbook : Factors affecting the creation and distribution of computer-based language learning materials Developing an Electronic Textbook : Factors Affecting the Creation and Distribution of Computer-based Language Learning Mater. Research Gate, (January 2014).
  3. Dikmen, C. H. (2019). The Effect of Web-Based Instruction Designed by Dick and Carey Model on Academic Achievement, Attitude and Motivation of Students’ in Science Education. Journal of Learning and Teaching in the Digital Age, 4(1), 34–40. Retrieved from http://joltida.org/index.php/joltida/article/view/59/139
  4. Haryati, S. (2012). Research and Development (R&D) Sebagai Salah Satu Model Penelitian dalam Bidang Pendidikan. Research And Development (R&D) Sebagai Salah Satu Model Penelitian Dalam Bidang Pendidikan, 37(1), 11–26.
  5. Huda, K. (2017). Pengembangan Media Pembelajaran Ips Sejarah Melalui Aplikasi Sway Berkonten Indis Di Smp Negeri 8 Madiun. HISTORIA : Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah, 5(2), 125. https://doi.org/10.24127/hj.v5i2.865
  6. I Dewa Ayu Made Budhiyani, I Gede Sudirtha, N. W. R. A. (2021). Fantasy Clothing Development With El Nino Phenomenon As the Source of Idea. Psychology and Education Journal, 58(2), 5390–5398. https://doi.org/10.17762/pae.v58i2.2951
  7. Keleş, E., Erümİt, S. F. İ. Ş., & Özkale, A. (2016). A Roadmap for Instructional Designers: A Comparison of Instructional Design Models. Ankara Üniversitesi Eğitim Bilimleri Fakültesi Dergisi, 49(1), 105–140. https://doi.org/10.1501/auebfd.v49i1.3010
  8. Lestari, P. P. (2007). Pengembangan Model Dan Rancangan Pembelajaran sebagai sumber belajar Dalam Pendidikan Ekonomi. Pluralisme Dalam Ekonomi Dan Pendidikan.
  9. Muhardi, A., Anwar, B. S., Rukun, C. K., & Jasrial, D. (2017). Learning Model Development Using Moodle E-Learning Software By Implementing Borg And Gall Method. International Conferences on Information Technology and Business (ICITB), 3, 167–176.
  10. Munir Tubagus. (2016). Teori dan Latihan Pengembangan Sistem Instruksional  Instructional System Development. Research Gates, 08(04), 1–5.
  11. Olayinka, T. A., Jumoke, T. F., & Oyebamiji, M. T. (2018). Reengineering the ASSURE model to curbing problems of technology integration in Nigerian learning institutions. Research in Learning Technology, 26(1063519), 1–8. https://doi.org/10.25304/rlt.v26.1999
  12. Silalahi, A. (2018). Development Research (Penelitian Pengembangan) dan Research & Development (Penelitian & Pengembangan) Dalam Bidang Pendidikan/Pembelajaran. Research Gate, (July), 1–13. https://doi.org/10.13140/RG.2.2.13429.88803/1
  13. Sugiyono. (2010). Metode penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (11th ed.). Bandung: Alfabeta.
  14. Tatang Ary Gumanti, Yunidar, & Syahruddin. (2016). Metode Penelitian Pendidikan. Retrieved from www.iranesrd.com
  15. Wijaya, H. (2019). Analisis Kebutuhan Karakter Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Jaffray Makassar untuk Pengembangan Model Pembelajaran Mata Kuliah Psikologi Umum. Research Gate, (July). https://doi.org/10.31219/osf.io/4f8tz
  16. Zhang, J. (2020). The Construction of College English Online Learning Community under ADDIE Model. English Language Teaching, 13(7), 46. https://doi.org/10.5539/elt.v13n7p46

Thursday 25 February 2021

MENTAL TRAINING

 MENTAL TRAINING

Latihan Mental (Mental training) adalah latihan yang diprogramkan dan dilakukan dalam bentuk kejiwaan baik kognitif, afektif, maupun psikomotor secara terorganisir. Kompetitif dalam memahami mental atlet memerangi tingkat kebugaran yang sama dan rejimen pelatihan serupa. Menang melawan lawan yang tangguh, bisa menjadi tugas yang menanjak, namun pelatihan mental merupakan keunggulan kompetitif yang dapat memberikan rasa percaya diri. Sementara lawan kita juga dapat menggunakan teknik persiapan mental, perbedaannya terletak pada seberapa baik atlet individu memahami dan menerapkan teknik ini, Semakin baik kita berada dan fokus menerapkan keterampilan ini, kita akan mendapatkan keunggulan yang lebih besar di lapangan.

Latihan mental selain untuk mempersiapkan mental atlet jelang pertandingan, juga dimaksudkan untuk menumbuhkan ketahanan mental atlet. Daya tahan mental adalah suatu kondisi kejiwaan yang mengandung kemampuan untuk mengembangkan kemampuan menghadapi gangguan, ancaman dalam segala hal, baik yang berasal dari dalam dirinya maupun dari luar dirinya. Ketahanan mental bisa berubah atau dinamis, oleh karena itu perlu dibina agar lebih stabil (Tangkudung, 2018). Teori kesatuan psiko-fisik berkembang karena para ahli menyadari bahwa orang yang keadaan kejiwaannya mengalami gangguan, karena rasa susah, gelisah atau ragu-ragu menghadapi sesuatu, ternyata mempengaruhi kondisi fisiknya. Akibat rasa susah dan gelisah menghadapi masa depan, seseorang kurang dapat tidur nyenyak, sehingga akhirnya mempengaruhi tingkah laku dan penampilannya. Seperti yang dikemukakan oleh Weinberg (1984) dalam (Tangkudung, 2018) di antara keraguan, kurangnya kepercayaan diri, ketegangan yang menghasilkan kinerja yang kacau. Gejala psikis akan mempengaruhi penampilan dan prestasi atlet seperti gangguan emosional perlu diperhatikan, karena gangguan emosional dapat mempengaruhi "psychological stability" atau keseimbangan psikis secara keseluruhan, dan ini berakibat besar terhadap pencapatan prestasi atlet. Semua gejala emosional seperti: rasa takut, marah, cemas, stress, penuh harap, rasa senang dsb, dapat mempengaruhi perubahan-perubahan kondisi fisik seseorang. Perasaan atau emosi dapat memberi pengaruh-pengaruh fisiologik seperti: ketegangan otot, denyut jantung, peredaran darah, pernafasan, berfungsinya kelenjar-kelenjar hormon tertentu.

Foto bersama Prof. Dr. dr. James A.P. Tangkudung, Sport.Med., M.Pd

Sebaliknya keadaan fisik yang kurang sehat, karena sedang sakit, sesudah mengalami kecelakaan dan cidera, juga dapat mempengaruhi kejiwaan individu yang bersangkutan, kurang dapat memusatkan perhatian pada masalah yang dihadapi, kurang dapat berfikir dengan tenang, kurang dapat berfikir dengan cepat, dan sebagainya. Sejak lebih kurang setengah abad yang lalu adanya hubungan timbal balik antara jiwa dan raga, atau antara gejala fisik dan psikik, telah menjadi bahan pembahasan para ahli psikologi. Ronge (1951) menyebutkan manusia sebagai suatu organisme, yang mengikuti hukum-hukum biologi, hukum-hukum dalam pikir, rasa keadilan, dan sebagainya. Perasaan atau emosi memegang peranan penting dalam hidup manusia.

Pentingnya Mental Training

Untuk dapat meningkatkan prestasi atau performa olahraganya, sang atlet perlu memiliki mental yang tangguh, sehingga ia dapat berlatih dan bertanding dengan semangat tinggi, dedikasi total, pantang menyerah, tidak mudah terganggu oleh  masalah-masalah non-teknis atau masalah pribadi. Dengan demikian ia dapat menjalankan program latihannya dengan sungguh-sungguh, sehingga ia dapat memiliki fisik prima, teknik tinggi dan strategi bertanding yang tepat, sesuai dengan program latihan yang dirancang oleh pelatihnya. Dengan demikian terlihatlah bahwa latihan mental bertujuan agar atlet dapat mencapai prestasi puncak, atau prestasi yang lebih baik dari sebelumnya.

Untuk dapat memiliki mental yang tangguh tersebut, atlet perlu melakukan latihan mental yang sistimatis, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari program latihan olahraga secara umum, dan tertuang dalam perencanaan latihan tahunan atau periodesasi latihan. Seringkali dijumpai, bahwa masalah mental atlet sesungguhnya bukan murni merupakan masalah psikologis, namun disebabkan oleh faktor teknis atau fisiologis. Contohnya: jika kemampuan atlet menurun karena faktor kesalahan teknik gerakan, maka persepsi sang atlet terhadap kemampuan dirinya juga akan berkurang. Jika masalah kesalahan gerak ini tidak segera teridentifikasi dan tidak segera diperbaiki, maka kesalahan gerak ini akan menetap. Akibatnya, kemampuan atlet tidak meningkat, sehingga atlet menjadi kecewa dan lama kelamaan bisa menjadi frustrasi bahkan memiliki pikiran dan sikap negative terhadap prestasi olahraganya.

Demikian juga dengan masalah yang disebabkan oleh faktor fisik. Masalah yang seringkali terjadi adalah masalah “overtrained” atau kelelahan yang berlebihan, sehingga menimbulkan perubahan penampilan atlet yang misalnya menjadi lebih lambat, sehingga atlet tersebut kemudian di’cap’ sebagai atlet yang memiliki motivasi rendah. Kedua contoh tersebut menunjukkan bahwa masalah mental tidak selalu disebabkan oleh faktor mental atau faktor psikologis. Jika penyebab masalahnya tidak terlebih dahulu diatasi, maka masalah mentalnya juga akan sulit untuk dapat diperbaiki. Dengan demikian, jika akan menerapkan latihan mental untuk mengatasi masalah mental psikologis, maka atlet, pelatih maupun psikolog olahraga harus pasti bahwa penyebab masalahnya adalah masalah mental.

Persiapan dan Perencanaan Mental Training

Adanya perubahan tingkah laku, perasaan atau pikiran atlet yang mengganggu si atlet itu sendiri atau mengganggu kelancaran pelatihan atau komunikasi antara atlet dengan orang lain, merupakan salah satu indikasi bahwa atlet tersebut mengalami disfungsi atau masalah psikologis. Masalah mental psikologisnya akan sulit teratasi jika penyebab utamanya tidak ditangani. Setelah dipastikan bahwa seorang atlet mengalami masalah mental psikologis, atau perlu meningkatkan keterampilan psikologisnya, maka kepada atlet tersebut dapat diterapkan latihan mental. Ada tiga karakteristik yang sebaiknya terdapat pada diri atlet yang akan menjalani latihan mental, yaitu:

  1. Atlet harus mau menjalani latihan mental tersebut. Jika suatu tugas dihadapi dengan sikap positif, maka potensi keberhasilannya akan semakin nyata. Sebaliknya, jika si atlet malas melakukan latihannya, maka kegagalan akan menghadang. Oleh karena itu, si atlet sendiri yang harus memutuskan bahwa ia mau menjalani setiap program latihan sampai selesai, dan harus yakin bahwa latihan tersebut akan membawa manfaat bagi kemajuan prestasinya. Tanpa adanya komitmen tersebut, atau jika atlet merasa terpaksa dalam menjalankan latihannya, maka manfaat dari hasil latihan yang dijalaninya akan sirna.
  2. Atlet harus menjalankan setiap program latihan secara utuh. Keuntungan atau manfaat dari latihan mental hanya akan terasa jika atlet menjalankan seluruh program latihan secara utuh, tidak sepotong-sepotong. Serupa dengan latihan keterampilan fisik, maka proses latihan mental pun harus dilakukan berulang-ulang; karena itu ia memerlukan waktu, usaha, maupun umpan balik dari kemajuan suatu latihan.
  3. Atlet harus memiliki kemauan untuk menjalani latihan dengan sempurna, sebaik mungkin. Setiap program latihan mental telah dirancang secara terstruktur sehingga seluruh kegiatannya memiliki fungsi dan manfaat masing-masing. Termasuk seluruh penugasan dan evaluasi atau penilaian diri yang harus dilakukan oleh si atlet, merupakan bagian dari program latihan mental yang tidak boleh diabaikan. Latihan mental merupakan suatu proses yang harus dijalani sesuai prosedur, karena itu tidak ada jalan pintas untuk mencapai prestasi dalam olahraga.

Aspek-aspek Latihan Mental

Aspek-aspek kecakapan mental psikologis (psychological skills) yang bisa dilatih, mencakup banyak hal meliputi aspek-aspek pengelolaan emosi, pengembangan diri, peningkatan daya konsentrasi, penetapan sasaran, persiapan menghadapi pertandingan, dan sebagainya. Bentuk latihan kecakapan mental yang paling umum dilakukan oleh atlet elit adalah:

  1. Berfikir positif. Berfikir positif dimaksudkan sebagai cara berfikir yang mengarahkan sesuatu ke arah yang positif, melihat segi baiknya. Hal ini perlu dibiasakan bukan saja oleh atlet, tetapi terlebih-lebih bagi pelatih yang melatihnya. Dengan membiasakan diri berfikir positif dapat menumbuhkan rasa percaya diri, meningkatkan motivasi dan menjalin kerjasama antara berbagai pihak. Pikiran positif akan diikuti dengan tindakan dan perkataan positif pula, karena pikiran akan menuntun tindakan.
  2. Membuat catatan harian latihan mental (mental log). Catatan latihan mental merupakan catatan harian yang ditulis setiap atlet selesai melakukan latihan, pertandingan, atau acara lain yang berkaitan dengan olahraganya. Dalam buku catatan latihan mental ini dapat dituliskan pikiran, bayangan, ketakutan, emosi, dan hal-hal lain yang dianggap penting dan relevan oleh atlet. Catatan ini semestinya dapat menceritakan bagaimana atlet berfikir, bertindak, bereaksi, juga merupakan tempat untuk mencurahkan kemarahan, frustrasi, kecewa, dan segala perasaan negatif jika melakukan kegagalan atau tampil buruk. Dengan melakukan perubahan pola pikir akan hal-hal negatif tadi menjadi positif, atlet dapat menggunakan catatan latihan mentalnya sebagai “langkah baru” — setelah anda mengalami frustrasi, keraguan, ketakutan, ataupun perasaan berdosa/bersalah – untuk kembali membangun sikap mental yang positif dan penuh percaya diri.
  3. Penetapan sasaran (goal-setting). Penetapan sasaran (goal-setting) perlu dilakukan agar atlet memiliki arah yang harus dituju. Sasaran tersebut bukan melulu berupa hasil akhir (output) dari mengikuti suatu kejuaraan. Penetapan sasaran ini sedapat mungkin harus bisa diukur agar dapat melihat perkembangan dari pencapaian sasaran yang ditetapkan. Selain itu pencapaian sasaran ini perlu ditetapkan sedemikian rupa secara bersama-sama antara atlet dan pelatih. Sasaran tersebut tidak boleh terlalu mudah, namun sekaligus bukan sesuatu yang mustahil dapat tercapai. Jadi, sasaran tersebut harus dapat memberikan tantangan bahwa jika atlet bekerja keras maka sasaran tersebut dapat tercapai. Dengan demikian penetapan sasaran ini sekaligus dapat pula berfungsi sebagai pembangkit motivasi.
  4. Latihan relaksasi. Tujuan daripada latihan relaksasi, termasuk pula latihan manajemen stres, adalah untuk mengendalikan ketegangan, baik itu ketegangan otot maupun ketegangan psikologis. Ada berbagai macam bentuk latihan relaksasi, namun yang paling mendasar adalah latihan relaksasi otot secara progresif. Tujuan daripada latihan ini adalah agar atlet dapat mengenali dan membedakan keadaan rileks dan tegang. Biasanya latihan relaksasi ini baru terasa hasilnya setelah dilakukan setiap hari selama minimal enam minggu (setiap kali latihan selama sekitar 20 menit). Sekali latihan ini dikuasai, maka semakin singkat waktu yang diperlukan untuk bisa mencapai keadaan rileks. Bentuk daripada latihan relaksasi lainnya adalah “autogenic training” dan berbagai latihan pernapasan. Latihan relaksasi ini juga menjadi dasar latihan pengendalian emosi dan kecemasan. Latihan relaksasi dapat pula dilakukan dengan bantuan alat seperti “galvanic skin response”, “floatation tank”, dan juga berbagai paket rekaman kaset latihan relaksasi yang mulai banyak beredar di pasaran.
  5. Latihan visualisasi dan imajeri. Latihan imajeri (mental imagery) merupakan suatu bentuk latihan mental yang berupa pembayangan diri dan gerakan di dalam pikiran. Manfaat daripada latihan imajeri, antara lain adalah untuk mempelajari atau mengulang gerakan baru; memperbaiki suatu gerakan yang salah atau belum sempurna; latihan simulasi dalam pikiran; latihan bagi atlet yang sedang rehabilitasi cedera. Latihan imajeri ini seringkali disamakan dengan latihan visualisasi karena sama-sama melakukan pembayangan gerakan di dalam pikiran. Namun, di dalam imajeri si atlet bukan hanya ‘melihat’ gerakan dirinya namun juga memberfungsikan indera pendengaran, perabaan, penciuman dan pengecapan. Untuk dapat menguasai latihan imajeri, seorang atlet harus mahir dulu dalam melakukan latihan relaksasi.
  6. Latihan konsentrasi. Konsentrasi merupakan suatu keadaan dimana kesadaran seseorang tertuju kepada suatu obyek tertentu dalam waktu tertentu. Dalam olahraga, masalah yang paling sering timbul akibat terganggunya konsentrasi adalah berkurangnya akurasi lemparan, pukulan, tendangan, atau tembakan sehingga tidak mengenai sasaran. Akibat lebih lanjut jika akurasi berkurang adalah strategi yang sudah dipersiapkan menjadi tidak jalan sehingga atlet akhirnya kebingungan, tidak tahu harusbermain bagaimana dan pasti kepercayaan dirinya pun akan berkurang. Selain itu, hilangnya konsentrasi saat melakukan aktivitas olahraga dapat pula menyebabkan terjadinya cedera. Tujuan daripada latihan konsentrasi adalah agar si atlet dapat memusatkan perhatian atau pikirannya terhadap sesuatu yang ia lakukan tanpa terpengaruh oleh pikiran atau hal-hal lain yang terjadi di sekitarnya. Pemusatan perhatian tersebut juga harus dapat berlangsung dalam waktu yang dibutuhkan. Agar didapatkan hasil yang maksimal, latihan konsentrasi ini biasanya baru dilakukan jika si atlet sudah menguasai latihan relaksasi. Salah satu bentuk latihan konsentrasi adalah dengan memfokuskan perhatian kepada suatu benda tertentu nyala lilin; jarum detik; bola atau alat yang digunakan dalam olahraganya). Lakukan selama mungkin dalam posisi meditasi.

Periodisasi Latihan Mental

Latihan mental merupakan bagian tidak terpisahkan dari program latihan tahunan atau periodesasi latihan. Latihan mental dilakukan sepanjang atlet menjalani latihan olahraga, karena Latihan-latihan tersebut ada yang memerlukan waktu khusus (terutama saat-saat pertama mempelajari latihan relaksasi dan konsentrasi), namun pada umumnya tidak terikat oleh waktu sehingga dapat dilakukan kapan saja. Jadi saat ini sangat penting dan perlu disadari bagi para atlet, pelatih maupun pembina olahraga bahwa latihan mental sangat diperlukan untuk mendapatkan prestasi puncak (peak performances), dan untuk melakukan latihan mental tersebut diperlukan proses dan alokasi waktu tersendiri.

Demikianlah pembahasan mengenai Mental Training pada kesempatan ini, semoga bermanfaat untuk semua. Salam Olahraga.. Jaya!

References

  • Nasution, Y. (2003). Latihan konsentrasi. Bahan diskusi psikologi olahraga bagi pelatih dalam rangka Pelatnas SEA Games tahun 2003.
  • Nasution, Y. (2007). Psikologi kepelatihan. Makalah dalam rangka Pelatihan Mantan Atlet untuk Menjadi Pelatih Olahraga Tingkat Dasar Tahun 2007.
  • Norito, Tri Bayu dan Fahruddin. (2015). Makalah: Mental Training. Jakarta: PPs Universitas Negeri JakartaRushall, B. (2007). Mental skills training for serious athletes.
  • Tangkudung, J. (2018). SPORT PSYCHOMETRICS : Dasar-Dasar dan Instrumen Psikometri Olahraga. Retrieved from https://www.researchgate.net/publication/328600534
  • http://members.cox.net/brushall/mental/explain.html
  • http://209.85.175.132/searchq=cache:bwMMJJ0yoPYJ:www.koni.or.id/files/documents/journal/4.%2520Latihan%2520Mental%2520Bagi%2520Atlet%2520Elit%2520Oleh%2520Dra.%2520Yuanita%2520Nasution,%2520M.App.Sc.,%2520Psi.pdf+makalah+psikologi+kepelatihan&hl=id&ct=clnk&cd=2&gl=id

Saturday 23 January 2021

PERMAINAN ULAR NAGA

Permainan Ular Naga

Permainan ular naga adalah permainan tradisional yang sangat populer di Indonesia. Menurut Pangastuti (2015:76) Permainan tradisional merupakan salah satu wahana enkulturasi nilai-nilai budaya tertentu serta wahana proses untuk menjadi individu-individu yang dapat diterima oleh masyarakatnya.  permainan ular naga merupakan permainan yang sangat seru dan sangat mudah untuk dimainkan. Permainan ular naga sangat akrab dan sering dimainkan khususnya anak-anak dilingkungan sekolah maupun dirumah. Pada permainan ini anak-anak berbaris berpegangan pada “pundak”, yaitu ujung baju atau pinggang anak yang ada di depannya (Putri, dkk. 2018:1418). 

Pengertian permainan ular naga dikemukakan oleh Yulianty dalam Syafrina (2014:51) permainan ular naga adalah permainan berkelompok yang dimainkan oleh minimal 4-5 orang. Anak-anak berbaris bergandeng pegang 'buntut', yakni anak yang berada di belakang berbaris sambil memegang ujung baju atau pinggang anak yang di depannya. Seorang anak yang lebih besar, atau paling besar, bermain sebagai "induk" dan berada paling depan dalam barisan. Kemudian dua anak lagi yang cukup besar bermain sebagai "gerbang", dengan berdiri berhadapan dan saling berpegangan tangan di atas kepala. "Induk" dan "gerbang" biasanya dipilih dari anak-anak yang tangkas berbicara, karena salah satu daya tarik permainan ini adalah dalam dialog yang mereka lakukan. 

Seperti halnya permainan yang lainnya, permainan ular naga memiliki aturan dan tata cara bermain agar permainan ini semakin menarik untuk dimainkan. Untuk lebih jelasnya peraturan dan cara bermain ular naga sebagai berikut:

  1. Dibutuhkan setidaknya 10 orang dalam permainan ini, dua orang bertugas sebagai penjaga dan delapan lainnya berbaris kebelakang membentuk ular, kedua tangan diletakkan di pundak pada teman teman yang berada di depannya.
  2. Yang dua orang berhadap-hadapan dan saling berpegangan tangan lalu diangkat ke atas.
  3. Setelah itu pemain berputar sambil melewati dua orang yang bertugas menjaga tadi.
  4. Sambil permainan berjalan, diiringi nyanyian, semua peserta dan penjaga bernyanyi bersama, pada saat lirik terakhir ia akan dijepit oleh penjaga dan keluar dari ular.
  5. Pemain kedua yang terkena akan menjadi ketua kelompok kedua dan yang pertama akan menjadi ketua kelompok yang pertama.
  6. Untuk peserta ketiga dan seterusnya akan di berikan pilihan untuk mengikuti kelompok yang mana, biasanya dengan dikasih kode mau bulan apa bumi.
  7. Setelah tertangkap semua, maka permainan perebutan anggota antar kelompok dimulai.
  8. Yang anggotanya habis duluan ia adalah kelompok yang kalah. (http://ragampermainantradisional.blogspot.com/2017/06/permainan-tradisional-ular-naga-di.html, n.d.)

Di dalam permainan ular naga, para pemain juga menyanyikan sebuah lagu yang merupakan khas dari permainan ini. Lagu ini dinyanyikan oleh semua pemain, termasuk si "gerbang", yakni pada saat barisan bergerak melingkar atau menjalar. Berikut lirik lagu permainan ular naga:

Kemudian, sambil menerobos "gerbang", barisan mengucap "kosong - kosong - kosong" berkali-kali hingga seluruh barisan lewat, dan mulai lagi menjalar dan menyanyikan lagu di atas. Demikian berlaku dua atau tiga kali. Pada kali yang terakhir menerobos "gerbang", barisan mengucap "isi - isi - isi" berkali-kali, hingga akhir barisan dan anak yang terakhir di buntut ular ditangkap ("gerbang" menutup dan melingkari anak terakhir dengan tangan-tangan mereka yang masih berkait).

Kemudian terjadilah caca dialog dan perbantahan antara "induk" (I) dengan kedua "gerbang" (G). Dialog ini mungkin berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lain, dan bahkan juga berbeda-beda sesuai improvisasi si induk dan si gerbang setiap kali seorang anak ditangkap. Berikut dialog dalam bermain ular naga:

Dari hasil penelitian Syafrina (2014:58) beberapa manfaat yang ditemukan dalam bermain ular naga adalah sebagai berikut:

  1. Permainan ular naga dapat meningkatkan perkembangan sosial anak dalam bekerjasama terlihat dari nilai rata-rata pada masing-masing pernyataan yaitu berinteraksi dengan sesama teman, berinteraksi dengan guru, meminta/memberikan ide saat bermain meningkat setiap pertemuannya, 
  2. Permainan ular naga dapat meningkatkan perkembangan sosial anak dalam tanggungjawab terlihat dari nilai rata-rata pada masing-masing pernyataan yaitu mentaati peraturan dalam bermain, melaksanakan permainan dengan tertib, menyusun alat permainan meningkat setiap pertemuannya, 
  3. Permainan ular naga dapat meningkatkan perkembangan sosial anak dalam toleransi terlihat dari nilai rata-rata pada masing-masing pernyataan yaitu menunjukkan kesabaran dalam bermain, menghargai pendapat teman, membiarkan teman ikut bermain,membolehkan teman menggunakan alat permainan meningkat setiap pertemuannya

Manfaat lain permainan ular naga, yaitu semakin mempererat ikatan kita dengan teman, belajar berbagi dan belajar bagaimana kita mempertahankan teman kita, juga belajar menjadi pemimpin yang baik bagi adik-adik kita. Selain itu juga dapat mendidik arti kebersamaan dan menghargai orang lain tanpa menghiraukan adanya kemenangan/kekalahan yang diperoleh saat bermain serta melatih emosional dan kecakapan dalam berkomunikasi (Pangastuti, 2015:91). 

Agresivitas (Psikologis) dalam Permainan Ular Naga

Permainan tradisional adalah salah satu sarana bermain bagi anak. Bermain adalah bagian hidup yang terpenting dalam kehidupan anak. Kesenangan dan kecintaan anak bermain dapat digunakan sebagai kesempatan untuk mempelajari hal- hal yang konkrit sehingga daya cipta, imajinasi, dan kreativitas anak dapat berkembang (Megawangi dalam Putri, dkk., 2018:1418). Permainan ular naga adalah permainan tradisional yang sangat populer di Indonesia. Selain bermanfaat bagi  kesehatan, kebugaran dan tumbuh kembang anak, terdapat juga nilai-nilai positif yang terkandung dalam permainan ular naga misalnya kejujuran, kerjasama, sportif, tolong menolong, tanggung jawab, disiplin dan masih banyak lagi dimana hal-hal tersebut dapat membangun karakter anak. Permainan tradisional yang terstruktur sedemikian rupa secara langsung mempengaruhi psikomotor, perkembangan kognitif dan emosional anak. 

Permainan  ular naga sebagai permainan tradisional. Disamping melestarikan budaya, permainan tersebut juga terdapat nilai-nilai filosofis yang luhur terhadap pendidikan karakter. Karena di dalam  permainan tradisional juga menerapkan reward dan punishment untuk setiap pemainnya, sehingga melalui permainan ini dapat diketahui karakter seorang anak. Bagaimanakah sikap anak jika ia mendapat reward serta apakah anak tersebut mau menerima punishment atas kekalahannya dalam bermain (Pangastuti, 2015:78). Permainan ular naga biasanya dimainkan oleh banyak orang dan menggunakan alat yang sederhana sehingga mudah dimainkan secara bersama-sama. Permainan ular naga atau permainan tradisional dapat mempengaruhi peningkatan kesenangan dari pemain dan positif mempengaruhi perkembangan anak secara keseluruhan (Tatjana Kovačević and Siniša Opić dalam Mega, Baitul, & Arif, 2018 : 56).

Dalam permainan ular naga timbul sebuah interaksi manusia. Dalam Putri, dkk. (2018:1418) permainan ular naga di bagi menjadi tiga tahapan yaitu :

  • Tahapan pertama terdiri dari persons, contact, and encounters. Tahapan pertama ini disebut sebagai pembentukkan kelompok permainan ular naga. 
  • Tahap kedua terdiri platform performance, pada ini siswa akan bermain dan saling mempertahankan anggota dimana induk mempunyai peran inti dalam melindungi anggotanya kemudian anggota lainnya juga melindungi temannya agar tidak diambil oleh kelompok ular naga lainnya. 
  • Tahap ketiga, celebrations. Kelompok yang menang diberikan reward dan dilakukan refleksi terkait dengan usaha dalam memperoleh kemenangan dan refleksi pembelajaran bagi kelompok yang kalah sehingga didapatkan kesan dari pembelajaran menggunakan media permainan ular naga.

Dalam permainan ular naga dapat menimbulkan perilaku agresif karena dalam permainan ular naga terdapat nilai kompetitif dari dua kelompok yang saling berinteraksi dan  bersaing untuk memenangkan permainan tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Kiswantoro (2016:82) bahwa dalam olahraga yang bersifat kompetitif, pemain bukan hanya berusaha mencapai targetnya, tapi juga berusaha mencegah lawan mencapai target mereka. Hal ini melibatkan konflik langsung yang seringkali diikuti dengan agresivitas dalam usahanya mencegah  lawan  mencapai sukses  kondisi tersebut juga dialami oleh anak-anak seperti yang dikemukakan oleh Hurlock dalam Syafrina (2014:50) menyatakan bahwa pola prilaku sosial anak meliputi: meniru, persaingan atau saling berebut mainan, kerjasama, simpati, empati, dukungan sosial, disiplin, membagi dan prilaku akrab. Hal ini sesuai dengan pengertian agresifitas dalam olahraga yang dikemukakan oleh Tangkudung (2018:537) bahwa agresivitas adalah suatu tindakan yang dilakukan seseorang baik secara fisik ataupun verbal untuk melukai lawan secara fisik dan psikis dalam suatu pertandingan.

Sebuah wawancara dalam penelitian Pangastuti (2015:91) “Saya senang bermain ular naga tapi kadang-kadang ada teman yang tidak mau menjadi ekor dengan alasan bahwa nanti dia akan menjadi sasaran dari mangsa.” (Wawancara dengan Muslim tanggal 15 Juli 2014). Dari wawancara tersebut dapat kita asumsikan bahwa dalam bermain ular naga ketika ada seorang dari kelompok yang tidak mengikuti peraturan dalam permainan, maka hal itu dapat memicu yang mungkin saja akan menimbulkan konflik perorangan maupun kelompok. Konflik memiliki nilai fungsional, jika dipandang sebagai bentuk kompetisi dan mampu mengelola dengan baik untuk menjadi sebuah perubahan. Namun konflik juga bersifat disfungsional jika memerkuat rasa permusuhan (hostile feeling), muncul sikap kekecewaan (deprivation), menanamkan rasa balas dendam atas pengalaman konflik masa lalu (vengeance) hingga terjadinya akumulasi rasa kebencian yang terus sengaja menciptakan konflik berkepanjangan (Harwanto, 2017:61-62)

Terjadinya konflik dapat menjadi faktor pemicu meledaknya agresi, peristiwa yang membangkitkan emosi yang dapat berubah menjadi suatu kekerasan fisik maupun verbal. Mungkin saja pemicu ini tidak ada sangkut pautnya dengan hal- hal yang menyebabkan bangkitnya emosi. Apalagi kekerasan yang melibatkan kelompok hampir selalu lebih mudah berkobar luas daripada bentrok perseorangan. Ini bukan hanya karena pihak yang terlibat lebih banyak dan siap untuk saling melukai, tapi juga karena perilaku orang akan lain jika berada dalam kelompok (Kiswantoro, 2016:82). 

Agresivitas dalam permainan ular naga bukanlah agresivitas pada umumnya, seperti yang dikemukakan dalam buku Sport Pshycometrics, James Tangkudung (2018:536) dimana dalam kesempatan lainnya Gill, Wiliam dan Reifsteck menyebutkan agresi umumnya didefinisikan sebagai perilaku yang cenderung merugikan orang lain yang tidak ingin dilukai dan, Singgih juga mengemukakan Agresifitas berhubungan erat dengan kekerasan fisik yang bertujuan mengurangi kondisi fisik pihak lainnya agar dapat memastikan kemenangan. Jadi, agresivitas yang diharapkan dalam permainan ular naga adalah perilaku agresif yang positif.

Sebuah hasil penelitian mengungkapkan bahwa permainan ular naga dapat mengembangkan aspek sosial seorang anak. Menurut hasil penelitian Syafrina (2014:59) permainan ular naga dapat meningkatkan perkembangan sosial anak dalam toleransi terlihat dari nilai rata-rata pada masing-masing pernyataan yaitu menunjukkan kesabaran dalam bermain, menghargai pendapat teman, membiarkan teman ikut bermain, membolehkan teman menggunakan alat permainan meningkat setiap pertemuannya. Jadi, tidak menutup kemungkinan permainan ular naga sebagai salah satu kegiatan jasmani dapat mengontrol perilaku agresivitas seorang anak setelah bermain ular naga.

Menurut Cox H. Richard dalam Tangkudung (2018:544) ada pula upaya untuk mengendalikan tindakan kekerasan/agresivitas yang menyimpang, antara lain:

  • Olahragawan-olahragwan muda harus diberi pengetahuan tentang contoh tingkah laku non agresif, penguasaan diri, dan penampilan yang benar.
  • Olahragawan yang terlibat tindakan agresif ahrus dihukum, harus disadarkan bahwa tindakan agresif dengan melukai lawan adalah tindakan yang tidak benar.
  • Pelatih yang memberi kemungkinan para olahragawan terlibat agresif dengan kekerasan harus diteliti dan harus dihentikan dari tugasnya sebagai pelatih.
  • Pengaruh dari luar yang memungkinkan terjadinya tindakan agresif dengan kekerasan di lapangan pertandingan harus dihindarkan.
  • Para pelatih dan wasit didorong atau dianjurkan untuk menghadiri lokakrya-lokakarya yang membahas tindakan agresif dan kekerasan.
  • Di samping hukuman terhadap tindakan agresif dengan kekerasan olahragawan harus didorong secara positif meningkatkan kemampuan bertindak tenang menghadapi situasi-situasi emosional
  • Penguasaan emosi menghadapi tindakan agresif dengan kekerasan harus dilatih secara praktis antara lain melalui latihan mental.

Seperti halnya dengan olahraga, Agresivitas merupakan salah satu aspek psikologis yang terdapat  dalam permainan tradisional salah satunya dalam permainan ular naga. Perilaku agresif sangat diperlukan untuk dapat memenangkan permainan, seperti dalam permainan ular naga, tetapi sifat dan sikap agresif apabila tidak terkendali dapat menjurus pada tindakan-tindakan berbahaya, melukai lawan, melanggar peraturan dan mengabaikan sportivitas.


DAFTAR PUSTAKA

  • Dini, F. O., & Indrijati, H. (2014). Hubungan antara Kesepian dengan Perilaku Agresif pada Anak Didik di Lembaga Pemasyarakatan Anak Blitar. Jurnal Psikologi Klinis Dan Kesehatan Mental, 03(03).
  • Hapsari, I., & Wibowo, I. (2015). FANATISME DAN AGRESIVITAS SUPORTER KLUB SEPAK BOLA. Jurnal Ilmiah Psikologi, 8(1).
  • Harwanto, H. (2017). Konflik Kekerasan antar Anggota Kelompok Beladiri dalam Paradigma Sosiologi Olahraga ( Kajian Kepemimpinan ). JOURNAL OF SPORT SCIENCE AND EDUCATION (JOSSAE), 2(2).
  • http://ragampermainantradisional.blogspot.com/2017/06/permainan-tradisional-ular-naga-di.html. (n.d.). Permainan Tradisional Ular Naga di Indonesia. Retrieved March 13, 2020, from http://ragampermainantradisional.blogspot.com/2017/06/permainan-tradisional-ular-naga-di.html
  • id.wikipedia.org. (n.d.). Permainan Berkelompok - Ular Naga. Retrieved from https://id.wikibooks.org/wiki/Permainan/Berkelompok/Ular_Naga
  • Kayar, R. B. I. N. (2007). KELANGSANGAN DALAM MEDIA DAN KESANNYA TERHADAP TINGKAH LAKU AGRESIF PELAJAR. UNIVERSITI TEKNOLOGI MALAYSIA.
  • Khaninah, A. N., & Widjanarko, M. (2016). PERILAKU AGRESIF YANG DIALAMI KORBAN KEKERASAN DALAM PACARAN. Jurnal Psikologi Undip, 15(2), 151–160.
  • Kiswantoro, A. (2016). PEMBINAAN MENTAL BAGI ATLET PEMULA UNTUK MEMBANTU PENGENDALIAN AGRESIFITAS. JURNAL KONSELING GUSJIGANG, 2(1). https://doi.org/10.24176/jkg.v2i1.560
  • Mega, G., Baitul, S., & Arif, M. (2018). Eksistensi Permainan Tradisional Sebagai Warisan Budaya Bangsa. JOURNAL OF SPORT SCIENCE AND EDUCATION (JOSSAE), 3(2). Retrieved from http://journal.unesa.ac.id/index.php/jossae/index
  • Pangastuti, L. (2015). PERMAINAN TRADISIONAL SEBAGAI SARANA PENDIDIKAN KARAKTER ANAK DI DESA GARJOYO KELURAHAN IMOGIRI KECAMATAN IMOGIRI KABUPATEN BANTUL TAHUN 2014. Academy Of Education Journal. Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan, 6(1), 74–94.
  • Putri, P., Mappiare-AT, A., & Irtadji, M. (2018). Panduan Permainan Ular Naga Bermuatan Nilai Budaya Bengkulu untuk Meningkatkan Self Advocacy Siswa SMP. Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian, Dan Pengembangan, 3(11), 1417–1422. https://doi.org/10.17977/JPTPP.V3I11.11720
  • Salmiati. (2015). PERILAKU AGRESIF DAN PENANGANANNYA (STUDI KASUS PADA SISWA SMP NEGERI 8 MAKASSAR). Jurnal Psikologi Pendidikan & Konseling, 1(iii), 66–76.
  • Syafrina, M. (2014). MENINGKATKAN PERKEMBANGAN SOSIAL ANAK MELALUI PERMAINAN ULAR NAGA DI PAUD HARAPAN BANGSA KECAMATAN SINTUK TOBOH GADANG PADANG PARIAMAN. SPEKTRUM PLS, 2(1).
  • Tangkudung, J. (2018). SPORT PSYCHOMETRICS : Dasar-Dasar dan Instrumen Psikometri Olahraga. Retrieved from https://www.researchgate.net/publication/328600534
  • Yahaya, A. (2014). PENGARUH MEDIA BERUNSUR AGRESIF DAN KESANNYA TERHADAP TINGKAH LAKU PELAJAR SEKOLAH MENENGAH. ResearchGate, (June). https://doi.org/10.13140/2.1.2909.3761

Saturday 9 January 2021

KOLOKIUM

KOLOKIUM 

Pengertian Kolokium ?

Kolokium didefinisikan kegiatan belajar yang dilakukan dalam bentuk seminar untuk membahas penelitian bertaraf lanjutan (KBBI dalam PPs UNJ, 2019:1) 

Kolokium merupakan mata kuliah mahasiswa program pascasarjana S2 dan S3 yang merupakan salah satu media komunikasi ilmiah bagi mahasiswa untuk mengemukakan substansi dan permasalahan yang akan dijadikan subyek penelitian Tesis / Disertasi serta menambah wawasan keilmuan atau dapat juga dimaknai sebagai media presentasi usulan penelitian/usulan proyek bagi mahasiswa.



Tujuan dan Manfaat Kolokium ?
  • Memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk menyampaikan usulan penelitian/usulan proposal dihadapan komisi pembimbing, para staf pengajar/dosen, dan para mahasiswa program studi untuk dapat memperoleh masukan bagi penyempurnaan usulan penelitian/usulan proposal tersebut.
  • Melatih mahasiswa yang akan melakukan penelitian menyampaikan ide-idenya dan memberikan argumentasi secara ilmiah terhadap pertanyaan-pertanyaan atau sanggahan yang diajukan oleh pembanding utama maupun pembanding bebas.
  • Memberikan wawasan yang lebih luas bagi mahasiswa yang lain sebagai dasar penulisan dan penyusunan usulan penelitian/usulan proposal.
  • Mampu menyusun usulan penelitian dengan metodologi yang baik sesuai dengan KKNI
  • Mampu melaksanakan penelitian tesis/disertasi dengan metodologi yang sahih dan handal
  • memperoleh wawasan yang luas tentang isu-isu permasalahan dalam bidang pangan berikut solusinya yang perlu diteliti.
Prosedur dan Prasyarat ?
  • Prosedur dan persyaratan Kolokium disesuaikan dengan kebijakan dari perguruan tinggi program pascasarjana masing-masing.
  • Biasanya masing-masing perguruan tinggi program pascasarjana menerbitkan sebuah buku pedoman kolokium untuk menjelaskan pelaksanaan, prosedur dan persyaratan bagi mahasiswa S2 dan S3
  • Umumnya buku pedoman kolokium terdiri beberapa item seperti berikut;
  1. Pelaksanaan perkuliahan atau proses pembelajaran kolokium
  2. Beban kredit 
  3. Bimbingan promotor /pembimbing
  4. Syarat dan ketentuan perkuliahan dan pendaftaran kolokium
  5. Pelaksanaan ujian kolokium
  6. Sistematika karya ilmiah
  7. Kriteria penilaian
  8. Lampiran-lampiran yang berisikan format / draft prosedur dan persyaratan kolokium
Referensi:

PPs Universitas Negeri Jakarta. (2019). Pedoman Kolokium Pascasarjana. Indonesia: Universitas Negeri Jakarta.

Thursday 7 January 2021

PLIOMETRIK

PLIOMETRIK

Defenisi Pliometrik

Pliometrik berasal dari kata “plyethyein” (yunani) yang berarti untuk meningkatkan, atau dapat pula diartikan dari kata pilio” dan metric” yang artinya more and measure, respectively (James C. Radcliffe & Farentinos, 1985:3)

Pliometrik dikenal juga sebagai siklus peregangan-pemendekan (the stretching-shortening cycle), atau refleks peregangan miotatik (myotatic stretch reflex), Pliometrik mengacu pada latihan di mana otot dimuat dalam kontraksi eksentrik (lengthening), diikuti segera oleh kontraksi konsentris (shortening) (Bompa, 1999:170)

Sederhananya, Pliometrik didefinisikan sebagai latihan yang memungkinkan otot mencapai kekuatan maksimum dalam waktu sesingkat mungkin. (Donald A. Chu & Gregory D. Myer, 2013:14). kami menjelaskannya sebagai "putaran yang terdiri dari kontak tanah yang kuat diikuti oleh gerakan kuat yang terkoordinasi dalam arah yang berlawanan". Semakin sedikit waktu kontak dengan tanah, semakin baik hasilnya. Otot Spindle adalah reseptor regangan utama di otot. Ketika otot diregangkan dengan kuat dan cepat, gelendong otot memulai respons refleks regangan. Respon ini menghasilkan keluaran tenaga yang jauh melebihi kontraksi otot kehendak sederhana (Charles & Petraglia, 2013:4)

Latihan Pliometrik

Latihan pliometrik didasarkan pada pelatihan stretch-shortening cycle (SSC) dari aksi otot untuk meningkatkan aksi konsentris berikutnya. Penggunaan siklus pemendekan-peregangan sangat penting untuk gerakan manusia yang efisien. Ini adalah kualitas tindakan otot yang sangat mudah dilatih dan beradaptasi (Gambetta, 2007:209)

Plyometrics: Drills or exercises that link sheer strength and scope of movement to produce an explosive-reactive type of movement; often refers to jumping drills and depth jumping, but can include any drill or exercise that uses the stretch reflex to produce an explosive reaction (T. Bompa & Buzzichelli, 2015:68)

Beberpa ahli ilmu olahraga sepakat bahwa latihan pliometrik bertujuan untuk melatih kekuatan (strength). Menurut Gambetta (2007:193) Pelatihan pliometrik dan latihan kekuatan sangat saling melengkapi. Pelatihan pliometrik juga sangat kompatibel dengan pengembangan kecepatan. Kemudian lebih rinci diungkapkan oleh (Henry, 1999:1) bahwa Plyometrics is a method of developing explosive power. It is also animportant component of most athletic performances.

Menurut Gambetta (2007:210) Tujuan dari latihan pliometrik adalah sebagai berikut:

  • Untuk meningkatkan daya ledak
  • Untuk belajar  lebih menipiskan gaya reaksi tanah saat melakukan aktivitas olahraga, dan
  • Untuk belajar dapat mentolerir dan menggunakan beban regangan yang lebih besar (pada dasarnya untuk meningkatkan kekakuan otot).

Jenis Kekuatan

  1. Starting strength adalah kemampuan otot untuk mengatasi inersia dengan menciptakan kekuatan yang cukup untuk memulai gerakan. Ini berlaku untuk gaya awal yang digunakan pelari cepat keluar dari garis atau angkat besi yang mengambil barbel dari lantai. Ini dianggap konsentris.
  2. Stopping strength adalah kemampuan tubuh untuk menyerap kekuatan melalui sistem tendon otot; pikirkan tentang berlari kembali dengan menanam kaki dan 'memotong' untuk mengubah arah. Ini dianggap kontraksi eksentrik.
  3. Elastic strength adalah kemampuan sistem otot-tendon untuk menyerap gaya dalam siklus pemendekan regangan, untuk mengatasi gaya dalam waktu amortisasi yang relatif singkat, dan untuk secara eksplosif menggerakkan benda ke arah yang berlawanan.

Fase Stretch-Shortening Cycle, yaitu:
  1. Fase Eksentrik : melibatkan preloading kelompok otot agonis (penggerak utama). Ini juga dikenal sebagai fase perlambatan. Fase eksentrik akan memanfaatkan energi elastis yang tersimpan jika dilakukan dengan benar.
  2. Fase Amortisasi : Waktu dari akhir fase eksentrik hingga permulaan fase konsentris (kontak tanah).
  3. Fase Konsentris : Respons refleksif PNF / SSP terhadap fase eksentrik dan amortisasi di mana energi yang disimpan di SEC digunakan untuk kontraksi otot. Gerakan yang tidak efisien akan mengakibatkan hilangnya energi elastis ini, yang akan hilang sebagai panas

Menurut Bompa (1994: 112) bentuk-bentuk latihan pliometrik dikelompokan menjadi dua, yaitu

  1. Latihan dengan intensitas rendah (low impact) dan
  2. Latihan dengan intensitas tinggi (high impact).

Latihan dengan intensitas rendah (low impact) meliputi:

  • Skipping
  • Rope jump
  • Lompat (jump) rendah dan langkah pendek
  • Loncat-loncat (Hops) dan lompat-lompat
  • Melompat diatas bangku atau tali setinggi 25-35 cm
  • Melempar medicine ball 2-4 kg
  • Melempar bola tenis/baseball (bola yang ringan).

Sedangkan latihan dengan intensitas tinggi (High impact), meliputi:

  • Lompat jauh tanpa awalan (standing broad/long jump)
  • Triple jump (lompat tiga kali)
  • Lompat (jump) tinggi dan langkah panjang
  • Loncat-loncat dan lompat-lompat
  • Melompat di atas bangku atau tali setinggi 35 cm
  • Melempar medicine ball 5-6 kg
  • Drop jump dan reaktif jumps, dan
  • melempar benda yang relatif berat

  1. Untuk trunk dan tubuh bagian atas (upper body), latihan pliometrik mencakup pelaksanaan berbagai jenis latihan melempar, terutama menggunakan medicine balls.
  2. Untuk tubuh bagian bawah (lower body), latihan pliometrik mencakup pelaksanaan berbagai jenis latihan jenis lompat beban tubuh, drop jumps, countermovement jumps, alternate-leg bounding, hopping, dan latihan lompat SSC lainnya.


Setiap rencana untuk memasukkan latihan pliometrik ke dalam program pelatihan harus memperhitungkan faktor-faktor berikut:
  • Usia dan perkembangan fisik atlet
  • Keterampilan dan teknik yang terlibat dalam latihan pliometrik
  • Faktor kinerja utama olahraga
  • Persyaratan energi olahraga
  • Fase pelatihan rencana tahunan
  • Perlu, bagi atlet yang lebih muda, untuk menghormati perkembangan metodis dalam waktu lama periode (dua hingga empat tahun), berkembang dari intensitas rendah (level 5 dan 4), ke intensitas sedang (level 3) dan kemudian ke intensitas tinggi (level 2 dan 1) (T. Bompa & Buzzichelli, 2015:285)
Demikianlah deskripsi singkat tentang Pliometrik yang dapat saya rangkum. Semoga bermanfaat bagi semua dan khususnya bagi saya sendiri. Terima kasih dan terus belajar ya ...
Wassalam.

Sumber :
  • Bompa, T., & Buzzichelli, C. (2015). Periodization Training for Sports, Third Edition (3rd Editio). Human Kinetics.
  • Bompa, T. O. (1999). Periodization Training for Sports: program for peak strength in 35 sport (3rd ed.). Human Kinetics.
  • Bompa, T. O., & Haff, G. G. (2009). Periodization: theory and methodology of training (5th ed.). Human Kinetics.
  • Donald A. Chu, P., & Gregory D. Myer, P. (2013). Plyometrics. Human Kinetics.
  • Gambetta, V. (2007). Athletics Development : the art & science of functional sports conditioning. Human Kinetics.
  • James C. Radcliffe, & Farentinos, R. C. (1985). Plyometrics Explosive Power Training. Human Kinetics publisher, Inc.
  • Radcliffe, J. C., & Farentinos, R. C. (1999). High-Powered Plyometrics (p. 170). Human Kinetics, Champaign, IL.

ARCHERY

  ARCHERY ARCHERY ACCORDING TO EXPERTS Archery is a static sport with a stable sequence of movements throughout the shot [1].  The sport of ...

OnClickAntiAd-Block