Thursday, 2 February 2017

PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN JASMANI

PENGERTIAN KURIKULUM

Pada masa Yunani dahulu kala istilah “kurikulum” digunakan untuk menunjukkan tahapan-tahapan yang harus dilalui atau ditempuh oleh seorang pelari dalam perlombaan estafet yang dikenal dalam dunia atletik, proses lebih lanjut istilah ini ternyata mengalami perkembangan sehingga penggunaan istilah ini merambah kedunia pendidikan.

Secara etimologis, kurikulum merupakan terjemahan dari kata curriculum dalam bahasa Inggris, yang berarti rencana pelajaran. Curriculum berasal dari bahasa latin currere yang berarti berlari cepat, maju dengan cepat, menjalani dan berusaha..

Pengertian Kurikulum Menurut UU No. 20 Tahun 2003: Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

KURIKULUM PENDIDIKAN JASMANI

Menurut Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) mengemukakan yang dimaksud dengan Pendidikan Jasmani adalah suatu proses pembelajaran melalui aktivitas jasmani yang didesain untuk meningkatkan kebugaran jasmani, mengembangkan keterampilan motorik, pengetahuan dan perilaku hidup sehat dan aktif, sikap sportif, dan kecerdasan emosi. Lingkungan belajar diatur secara seksama untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan seluruh ranah, jasmani, psikomotor, kognitif, dan afektif setiap siswa.

Tujuan kurikulum  pendidikan jasmani pada hakikatnya adalah tujuan dari setiap program pendidikan yang akan diberikan pada anak didik. Dalam perspektif pendidikan nasional, tujuan pendidikan nasional dapat dilihat secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa: "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab".

Tujuan Pendidikan antara lain:
  1. Tujuan Institusional (Kompetensi Lulusan) Adalah tujuan yang yang harus dicapai oleh suatu lembaga pendidikan, contoh : SD, SMP, SMA
  2. Tujuan kurikuler (Standart Kompetensi) Adalah tujuan bidang studi atau mata pelajaran sehingga mencapai hakikat keilmuan yang ada didalamnya.
  3. Tujuan instruksional (Kompetensi Dasar) dirumuskan sebagai kemampuan-kemampuan yang diharapkan dimiliki anak didik setelah mereka menyelesaikan prosesbelajar mengajar.
  4. Tujuan instruksional Umum (Indikator Umum) Kemampuan tersebut sifatnya lebih luas dan mendalam.
  5. Tujuan instruksional khusus (Indikator khusus) Kemampuan lebih terbatas dan harus dapat diukur pada saat berlangsunganya prose belajar mengajar.
                                  

ISU KURIKULUM PENDIDIKAN JASMANI

Berdasarkan uraian di atas, secara teortis kita menyadari bahwa pembuatan dan pelaksanaan kurikulum Pendidikan Jasmani cenderung diarahkan dalam membantu anak didik untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan tujuan pendidikan. Namun demikian harapan tersebut tidak selalu dapat dengan mudah terwujud dalam pelaksanaannya.

Beberapa isu yang muncul dalam kurikulum Pendidikan Jasmani SMA/MA dapat kita telusuri berdasarkan beberapa sudut pandang sebagai berikut;

1. Isu Program

Isu program kurikulum SMA/MA dapat kita amati antara lain dari dua sisi, yaitu materi kurikulum dan distribusi alokasi waktunya. Walaupun tujuan Pendidikan Jasmani  di SMA/MA sangat sesuai dengan tujuan pendidikan pada umumnya, namun seringkali para guru terlena oleh materi kurikulumnya. Materi kurikulum SMA/MA pada dasarnya merupakan berbagai gerak dasar, yang antara lain dapat diklasifikasikan ke dalam cabang olahraga atletik, permainan, senam, beladiri, dan olahraga tradisional. Kenyataan ini sering menggiring para guru:
  • Memaksakan diri mengajar olahraga yang untuk beberapa siswa mungkin belum saatnya karena persyaratan fisik dan koordinasinya belum memadai sehingga PBM kurang DAP.
  • Berpegang teguh bahwa penguasaan keterampilan olahraga merupakan tujuan utama dari Pendidikan Jasmani di SMA/MA.
  • Kurang memperhatikan tujuan yang bersifat afeksi seperti kesenangan dan keceriaan.
  • Kurang menyadari bahwa olahraga merupakan media untuk mencapai tujuan pendidikan pada umumnya.
  • Kurang memperhatikan aspek gerak dasar siswa yang bermanfaat bagi keterlibatannya dalam berbagai aktivitas sehari-hari untuk mengisi waktu luang dan berpartisipasi dalam berbagai aktivitas fisik di sekolah maupun di masyarakat dan  pembentukan gaya hidup yang sehat.
Apabila dilihat dari distribusi alokasi waktunya yang hanya satu kali dalam satu minggu dengan lama 2 x 45 menit, kemungkinan besar tujuan yang berhubungan dengan pengembangan kesegaran jasmani tidak bisa tercapai. Program aktivitas untuk pengembangan kebugaran jasmani menuntut frekuensi 3 x dalam seminggu. Sementara itu perkembangan kesegaran jasmani siswa seringkali merupakan tujuan yang paling diharapkan tercapai dalam pendidikan jasmani.   Untuk itu program kesegaran jasmani yang realistik untuk situasi seperti ini perlu dipertimbangkan. 
2. Isu Proses Pembelajaran

Beberapa isu yang berhubungan dengan proses belajar mengajar dan perlu mendapat perhatian para pelaksana di lapangan antara lain adalah sebagai berikut:
  • Pengembangan dan variasi aktivitas belajar yang diberikan cenderung miskin dalam hal pengembangan tujuan secara holistic dan cenderung didasarkan terutama pada minat, perhatian, kesenangan, dan latar belakang gurunya. Dengan kata lain, aktivitas belajar cenderung kurang didasarkan pada karakteristik anak didiknya, misal, terdiri dari sejumlah permainan olahraga untuk orang dewasa.
  • Aktivitas Pendidikan Jasmani yang diperoleh siswa cenderung terbatas. Siswa berpartisipasi pada permainan dan aktivitas yang jumlahnya relatif terbatas. Demikian juga kesempatan dan waktu aktif belajar untuk mengembangkan konsep dasar dan keterampilan gerakpun terbatas. Hasil penelitian Lutan dkk. (1992) mengungkapkan bahwa aktif belajar siswa SMA berkisar 1/3 dari seluruh alokasi Penjas.
  • Siswa diharuskan berpartisipasi dalam berbagai aktivitas penjas, namun aktivitas tersebut kurang membantu siswa memahami dampaknya bagi peningkatan kebugaran jasmani dan gaya hidup sehatnya di masa yang akan datang.
  • Peranan unik dari Pendidikan Jasmani, yaitu belajar gerak dan belajar sambil bergerak, cenderung kurang dipahami oleh para pengajar dan kurang tercermin dalam pembelajaran.
  • Siswa kurang mendapat kesempatan untuk mengintegrasikan aktivitas Pendidikan Jasmani dengan pengalaman-pengalaman pendidikan pada bidang bidang lainnya.
  • Guru kurang mengembangkan aspek afektif karena kurang melibatkan aktivitas yang dapat mengembangkan keterampilan sosial, kerjasama, dan kesenangan siswa terhadap Pendidikan Jasmani
  • Guru cenderung masih kurang memperhatikan kesempatan pemberian bantuan kepada siswa agar mengerti emosi-emosi yang dirasakannya pada waktu melakukan aktivitas Pendidikan Jasmani
  • Siswa disuruh untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang terlalu mudah atau terlalu sukar yang dapat menyebabkan mereka bosan, frustrasi, atau melakukannya dengan salah.
  •  Jumlah siswa dalam pelajaran penjas lebih dari jumlah siswa dalam kelas yang sebenarnya, misal, mengajar empat kelas sekaligus 
  • Siswa disuruh mengikuti pelajaran lain karena alasan-alasan lain atau sebagai hukuman atas perbuatannya dalam pelajaran Pendidikan Jasmani.
  • Proporsi jumlah waktu aktif belajar sangat terbatas sebab siswa harus menunggu giliran, memilih team, terbatasnya peralatan, atau karena permainan gugur yang pada  umumnya siswa yang lamban yang gugur.
3. Isu Penilaian/Evaluasi

Evaluasi merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan (integral) dari suatu proses belajar mengajar. Evaluasi berfungsi sebagai salah satu cara untuk memantau perkembangan belajar dan mengetahui seberapa jauh tujuan pengajaran dapat dicapai oleh siswa. Beberapa isu yang seringkali muncul daam pelaksanaan evaluasi antara lain adalah sebagai berikut:
  • Pelaksanaan penilaian belum begitu nampak terintegrasi dalam sebuah proses belajar mengajar. Pengecekan terhadap pemahaman siswa dan pemberian umpan balik yang memadai dalam rangka meningkatkan penguasaan materi oleh siswa sebagai salah satu bentuk evaluasi, nampaknya belum merupakan bagian yang menyatu dalam sebuah proses belajar mengajar. Guru merasa dikejar-kejar oleh bahan yang harus tuntas pada pertemuan itu tanpa memperhatikan apakah siswa sudah saatnya menerima materi berikutnya atau belum. Untuk itu seringkali guru memberikan evaluasi harian yang sifatnya formalitas saja, asal menyampaikan tanpa dijadikan umpan balik untuk perbaikan proses berikutnya.
  • Materi evaluasi terkadang kurang kurang relevan dengan materi yang diberikan pada  proses belajar mengajar. Kecenderungan untuk mengambil materi evaluasi dari bang-bang soal dari luar sekolah atau dari soal sebelumnnya tanpa terlebih dahulu direvisi atau disesuaikan dengan materi belajar yang sudah diberikan, memang merupakan cara yang cepat. Namun apabila hal itu tidak dilakukan dengan teliti, bisa jadi akan melemahkan validitas dan reliabilitas soalnya. Suatu soal yang valid pada kelompok siswa sekolah tertentu belum tentu valid untuk sekolah tempat kita mengajar. Tingkat keterampilan siswa, fokus pembelajaran, dan relevansi materi evaluasi seringkali merupakan aspek pokok validitas instrumen.
  • Situasi pelaksanaan evaluasi. Dalam situasi ujian tes tulis di kelas, hasil tes mungkin hanya diketahui oleh yang dites dan gurunya. Sementara itu, dalam tes penampilan di lapangan, hasil tes diketahui oleh semua orang. Semua siswa tahu siapa yang larinya paling lambat, siapa yang skor shootingnya paling rendah, dsb. Keadaan ini sedapat mungkin dihindari oleh para guru Penjas sehingga dapat memelihara kondisi perasaan siswa agar tetap positif.
  • Alokasi waktu pelajaran Penjas di sekolah amat terbatas untuk mengadakan pengetesan. Alokasi waktu pelajaran Penjas rata-rata satu kali perminggu, selama 2 x 45 menit dalam setiap semester (kurang lebih enam bulan) dengan pertemuan sebanyak 12 kali. Pengetesan sering menggunakan waktu yang cukup lama. Untuk melakukan satu butir tes kesegaran jasmani saja, missal tes lari 2,4 km (tes aerobik) diperlukan satu pertemuan bahkan kadang lebih. 
  • Masalah lain adalah evaluasi seolah-olah hanya dapat dilakukan oleh ahli statistik, sebab statistik diperlukan untuk pengolahan data. Bila demikian guru harus bekerja ekstra keras, menyisihkan waktu dan mengeluarkan tenaga yang lebih banyak, dan  konsentrasi penuh pada evaluasi. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah bagaimana mengurangi masalah tersebut di atas
4. Isu Jumlah dan Karakteristik Siswa

Guru penjas di SMA/MA sering dihadapkan dengan masalah jumlah siswa yang cukup banyak mulai dari Kelas X sampai Kelas XII, bahkan ditambah dengan siswa dari kelas paralel. Lebih rumit lagi karena yang dipelajari adalah sesuai dengan kemampuan fisik dan  perkembangan mental yang berbeda-beda. Guru Penjasorkes harus menangani siswa sebanyak 400 sampai 500 perminggunya.

5. Isu Sarana dan Prasarana Pembelajaran Penjas

Kurangnya sarana dan prasarana pembelajaran penjas merupakan salah satu isu yang cukup merata dan sangat terasa oleh para pelaksana penjas di lapangan. Pada umumnya sekolah-sekolah di Indonesia pada setiap jenjang pendidikannya selalu dihadapkan dengan permasalahan kekurangan sarana dan prasarana ini. Tidak sedikit sekolah di Indonesia, khususnya di daerah perkotaan tidak memiliki tempat atau lahan untuk melakukan aktivitas jasmani, khususnya yang berkaitan dengan olahraga misalnya lapangan. Walaupun ada, jumlahnya tidak proporsional dengan jumlah siswa, seringkali ditambah dengan kualitasnya yang kurang memenuhi tuntutan pembelajaran.

Sarana dan prasarana ini meliputi alat-alat, ruangan, dan lahan untuk melakukan berbagai aktivitas Pendidikan Jasmani, termasuk olahraga. Idealnya sarana dan prasarana ini harus lengkap, tidak hanya yang bersifat standar dengan kualitas yang standar pula, tetapi juga meliputi sarana dan prasarana yang sifatnya modifikasi dari berbagai ukuran dan berat ringannya. Modifikasi ini sangat penting untuk melayani berbagai kebutuhan tingkat perkembangan belajar anak didik di sekolah bersangkutan yang terkadang sangat beragam karakteristik kemampuannya.

6. Isu Keberhasilan Kurikulum Penjas

Keberhasilan kurikulum Pendidikan Jasmani pada setiap jenjang pendidikan sampai saat ini masih dirasakan samar. Ukuran yang digunakan oleh setiap orang dalam menafsirkan keberhasilan program masih bersifat samara dan cenderung bersifat lokal belum menyeluruh sebagaimana tercantum dalam tujuannya. Namun demikian salah satu indikator yang mungkin dapat kita telusuri adalah karakteristik para lulusannya.

Untuk itu kita dapat bercermin pada karakteristik lulusan Pendidikan Jasmani yang dijadikan patokan di beberapa negara maju, misalnya seperti yang dikemukakan oleh NASPE (National Association for Sport and Physical Education, 1992) yang intinya adalah sebagai berikut:
  • Memiliki keterampilan-keterampilan yang penting untuk melakukan bermacam-macam kegiatan fisik.
  • Bugar secara fisik.
  • Berpartisipasi secara teratur dalam aktivitas jasmani. 
  • Mengetahui akibat dan manfaat dari keterlibatandalam aktivitas jasmani.
  • Menghargai aktivitas jasmani dan kontribusinya terhadap gaya hidup yang sehat.

Asumsi Dasar Program Pendidikan Jasmani

Asumsi dasar pada dasarnya adalah pijakan yang kokoh dan dapat dipertanggung jawabkan dalam menyelenggarakan sesuatu. Asumsi dasar program Penddikan Jasmani merupakan pijakan yang kokoh yang dapat dipertanggungjawabkan dalam membuat dan menyelenggarakan program penjas. Tiga asumsi dasar program Penddikan Jasmani meliputi:
  • Program Pendidikan Jasmani dan program olahraga mempunyai tujuan yang berbeda.
Pembuatan program olahraga terutama ditujukan untuk mereka yang betul-betul mempunyai keinginan atau tertarik untuk mengkhususkan diri pada salah satu atau beberapa cabang olahraga dan berkeinginan untuk memperbaiki kemampuannya agar dapat berkompetisi dengan orang yang lain yang mempunyai keinginan dan minat yang sama pula. Sebaliknya, pembuatan program Penddikan Jasmani ditujukan untuk setiap anak didik (dari mulai anak yang berbakat sampai anak yang yang sangat kurang keterampilannya; dari mulai anak yang tertarik dan tidak tertarik sama sekali). Tujuan utama pembuatan program tersebut adalah menyediakan dan memberikan berbagai pengalaman gerak untuk membentuk fondasi gerak yang kokoh yang pada akhirnya diharapkan dapat mempengaruhi gaya hidupnya yang aktif dan sehat (active life style). Olahraga mungkin akan merupakan salah satu bagian dari program Penddikan Jasmani, akan tetapi bukan satu-satunya pilihan.
  • Anak-anak bukanlah ‘miniature’ orang dewasa
Kemampuan, kebutuhan, perhatian, dan minat anak-anak berbeda dari kemampuan, kebutuhan, minat, dan perhatian orang dewasa. Oleh karena itu, sudah barang tentu kurang cocok apabila pembelajaran dikonotasikan seperti menuangkan air dari gelas yang satu ke gelas yang lainnya. Para guru tidak cukup dengan memberikan program aktivitas jasmani  atau olahraga untuk orang dewasa kepada anak-anak. 
Demikian juga pengalaman latihan yang diperoleh para guru sewaktu kuliah belum tentu cocok diberikan kepada anak didiknya. Anak-anak membutuhkan program yang secara khusus dibuat sesuai dengan minat, kemampuan, dan kebutuhannya (Developmentally Appropriate Practice/DAP).
  • Anak-anak yang kita ajar sekarang tidak untuk dewasa sekarang
Para pendidik mempunyai tantangan yang cukup besar dalam mempersiapkan anak didik di masa yang akan datang, yang belum bisa didefinisikan dan dimengerti secara jelas. Atau paling tidak, dalam berbagai aspek, dunia nanti mungkin akan sangat berbeda dengan dunia yang ada sekarang. Program Penddikan Jasmani yang ada sekarang berusaha memperkenalkan anak didik pada dunia yang ada sekarang dan juga sekaligus mempersiapkan anak didik untuk hidup dalam dunia yang belum pasti di masa yang akan datang. Dengan kata lain program tersebut berusaha membantu siswa belajar bagaimana belajar (learning how to learn) dan membantu siswa menyenangi proses discovery dan eksplorasi tantangan-tantangan baru dan berbeda dalam domain fisik.
  • Aktivitas fisik dan olahraga di masa yang akan datang mungkin sangat berbeda dengan aktivitas fisik dan olahraga yang ada dan popular pada masa sekarang. 
Oleh karena itu program yang ada sekarang selayaknya mempersiapkan anak didik dengan keterampilan-keterampilan gerak dasar yang sangat diperlukan untuk setiap aktivitas fisik, baik yang sedang popular pada masa sekarang maupun aktivitas fisik yang mungkin akan ditemukan di masa yang akan datang. Penguasaan berbagai keterampilan gerak dasar oleh para siswa akan mendorong perkembangan dan perbaikan berbagai keterampilan fisik yang lebih kompeks, yang pada akhirnya akan membantu siswa memperoleh kepuasan dan kesenangan dalam melakukan aktivitas fisiknya.

2. Karakteristik Program Pendidikan Jasmani

Sehubungan dengan anggapan dasar tersebut di atas, maka program dan  penyelenggaraan program Pendidikan Jasmani hendaknya mencerminkan anggapan dasar tersebut di atas. Dua pedoman yang seing digunakan untuk dapat mencerminkan anggapan dasar tersebut antara lain adalah “Developmentally Appropriate Practices” (DAP) dan “Instructionally Appropriate Practices” (IAP).
a. Developmentally Appropriate Practices (DAP) 
Maksudnya adalah tugas ajar yang memperhatikan perubahan kemampuan anak dan tugas ajar yang dapat membantu mendorong perubahan tersebut. Dengan demikian tugas ajar tersebut harus sesuai dengan tingkat perkembangan anak didik yang sedang belajar. Tugas ajar yang sesuai ini harus mampu mengakomodasi setiap perubahan dan  perbedaan karakteristik setiap individu serta mendorongnya ke arah perubahan yang lebih baik.
b. Instructionally appropriate practices (IAP) 
Maksudnya adalah tugas ajar yang diberikan diketahui merupakan cara-cara pembelajaran yang paling baik. Cara pembelajaran tersebut merupakan hasil penelitian atau pengalaman yang memadai yang memungkinkan semua anak didik memperoleh kesempatan dan keberhasilan belajar secara optimal. Untuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap tentang karakteristik pembelajaran penjas tersebut, berikut ini dipaparkan komponen-komponen kurikulum yang harus dilihat kesesuaiannya.
3. Keberhasilan Program Pendidikan Jasmani

Untuk mengetahui apakah program pendekatan Pendidikan Jasmani yang kita gunakan tersebut cukup berhasil atau masih perlu disempurnakan, maka diperlukan suatu evaluasi. Untuk keperluan itu banyak kriteria yang dapat digunakan. Untuk itu, khususnya di Amerika, NASPE (National Association for Sport and Physical Education, 1992) telah menentukan “Physically Educated Person” sebagai salah satu kriterianya. Kriteria ini menjabarkan keberhasilan program Pendidikan Jasmani ke dalam 20 karakteristik yang diklasifikasikan ke dalam lima katagori dan merupakan penjabaran dari pencapaian tujuan jangka pendek (short term) dan jangka panjang (long term) dari program Pendidikan Jasmani di sekolah-sekolah. 

Untuk lebih jelasnya karakteristik seseorang yang terdidik jasmaninya tersebut adalah sebagai berikut:

a). Memiliki keterampilan yang penting untuk melakukan bermacam-macam kegiatan fisik antara lain:
  1. Bergerak dengan menggunakan konsep-konsep kesadaran tubuh, kesadaran ruang, usaha, dan hubungannya.
  2. Menunjukkan kemampuan dalam aneka ragam keterampilan manipulatif, lokomotor, dan non lokomotor.
  3. Menunjukkan kemampuan mengkombinasikan keterampilan manipulatif, locomotor dan non-locomotor baik yang dilakukan secara perorangan maupun dengan orang lain.
  4. Menunjukkan kemampuan pada aneka ragam bentuk aktivitas jasmani.
  5. Menunjukkan penguasaanpada beberapa bentuk aktivitas jasmani.
  6. Memiliki kemampuan tentang bagaimana caranya mempelajari keterampilan baru.
b). Bugar secara fisik
  1. Menilai, meningkatkan, dan mempertahankan kebugaran jasmaninya.
  2. Merancang program kesegaran jasmani sesuai dengan prinsip latihan tetapi tidak membahayakan
c). Berpartisipasi secara teratur dalam aktivitas jasmani
  1. Berpartisipasi dalam program pembinaan kesehatan melalui aktivitas jasmani minimal 3 x per minggu.
  2. Memilih dan secara teratur berpatisipasi dalam aktivitas jasmani pada kehidupan sehari-hariya.
d). Mengetahui akibat dan manfaat dari keterlibatan dalam aktivitas jasmani
  1. Mengidentifikasi manfaat, pengorbanan, dan kewajiban yang berkaitan dengan teraturnya partisipasi dalam aktivitas jasmani.
  2. Menyadari akan faktor resiko dan keselamatan yang berkaitan dengan teraturnya  partispasi dalam aktivitas jasmnai.
  3. Menerapkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip pengembangan keterampilan gerak.
  4. Memahami bahwa hakekat sehat tidak sekedar fisik yang bugar.
  5. Mengetahui aturan, strategi, dan perilaku yang harus dipenuhi pada aktivitas jasmani yang dipilih.
  6. Mengetahui bahwa partisipasi dalam aktivitas jasmani dapat memperoleh dan meningkatkan pemahaman terhadap budaya majemuk dan budaya internasional.
  7. Memahami bahwa aktivitas jasmani memberi peluang untuk mendapatkan kesenangan, menyatakan diri pribadi, dan berkomunikasi.
e. Menghargai aktivitas jasmani dan kontribusinya terhadap gaya hidup yang sehat
  1. Menghargai hubungan dengan orang lain yang diperoleh dari partisipasi dalam aktivitas jasmani.
  2. Hormat terhadap peraturan yang terdapat dalam aktivitas jasmani sebagai cara untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan sepanjang hayat.
  3. Menikmati perasaan bahagia yang diperoleh dari partisipasi teratur dalam aktivitas jasmani.

KTSP & K13

1. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)

Konsep Dasar KTSP
Dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP Pasal 1, Ayat 15) dikemukakan bahwa kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Penyusunan KTSP dilakukan oleh satuan pendidikan dengan memperhatikan dan berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).

KTSP disusun dan dikembangkan berdasarkan undang-undang No. 20n Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 36 ayat 1), dan 2) sebagai berikut.
  • Pengembangan kurikulum mengacu pada Standar Nasional Pendidikan untuk mewujudkan Tujuan Pendidikan Nasional.
  • Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.

Pengertian Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)

Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. KTSP yang merupakan penyempurnaan dari kurikulum 2004 (KBK) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan/sekolah.

KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus. Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi , kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi waktu, dan sumber/bahan/alat belajar. Silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian.

1. Tujuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)

Secara umum tujuan diterapkannya KTSP adalah untuk memandirikan dan memberdayakan satuan pendidikan melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada lembaga pendidikan. KTSP memberikan kesempatan kepada sekolah untuk berpartisipasi aktif dalam pengembangan kurikulum.

Secara khusus tujuan diterapkan KTSP adalah.
1) Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengembangkan kurikulum, mengelola, dan memberdayakan sumberdaya yang tersedia.
2) Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam pengembangan kurikulum melalui pengambilan keputussan bersama.
3) Meningkatkan kompetisi yang sehat antar satuan pendidikan tentang kualitas pendidikan yang akan dicapai.

2. Karakteristik KTSP

KTSP merupakan bentuk operasional pengembangan kurikulum dalam konteks desentralisasi pendidikan dan otonomi daerah, yang akan memberikan wawasan baru terhadap sistem yang sedang berjalan selama ini. Hal ini diharapkan dapat membawa dampak terhadap peningkatan efisiensi dan efektivitas kinerja sekolah, khususnya dalam meningkatkan kualitas pembelajaran.

Karakteristik KTSP bisa diketahui antara lain dari bagaimana sekolah dan satuan pendidikan dapat mengoptimalkan kinerja, proses pembelajaran, pengelolaan sumber belajar, profesionalisme tenaga kependidikan, serta sistem penilaian. Berdasarkan uraian diatas, dapat dikemukakan beberapa karakteristik KTSP sebagai berikut: pemberian otonomi luas kepada sekolah dan satuan pendidikan, partisipasi masyarakat dan orang tua yang tinggi, kepemimpinan yang demokratis dan profesional, serta tim-kerja yang kompak dan transparan.

Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan terdapat 11 mata pelajaran yang diajarkan, sebagai berikut; pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, IPA, IPS, kerajinan tangan dan kesenian, pendidikan jasmani, seni budaya dan keterampilan, mulok, dan pengembangan diri.

a. Kelebihan Dan Kekurangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
1) Kelebihan
  • Mendorong terwujudnya otonomi sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan.  
  • Mendorong para guru, kepala sekolah, dan pihak manajemen sekolah untuk semakin meningkatkan kreativitasnya dalam penyelenggaraan program-program pendidikan. 
  • KTSP memungkinkan bagi setiap sekolah untuk menitikberatkan dan mengembangkan mata pelajaran tertentu yang aspektabel bagi kebutuhan siswa. 
  • KTSP akan mengurangi beban belajar siswa yang sangat padat dan memberatkan kurang lebih 20%. 
  • KTSP memberikan peluang yang lebih luas kepada sekolah-sekolah plus untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan.
2) Kekurangan 
  • Kurangnya SDM yang diharapkan mampu menjabarkan KTSP pada kebanyakan satuan pendidikan yang ada. 
  • Kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana pendikung sebagai kelengkapan dari pelaksanaan KTSP. 
  • Masih banyak guru yang belum memahami KTSP secara Komprehensif baik konsepnya, penyusunanya maupun prakteknya di lapangan. 
  • Penerapan KTSP yang merokomendasikan pengurangan jam pelajaran akan berdampak berkurangnya pendapatan guru.

2. KURIKULUM 2013 (K13)

Kurikulum 2013 merupakan kurikulum yang sedang dalam tahap perencanaan dan saat ini sedang dalam proses pelaksanaan  oleh pemerintah, karena ini merupakan perubahan dari struktur kurikulum KTSP. Perubahan ini dilakukan karena banyaknnya masalah dan salah satu upaya untuk memperbaiki kurikulum yang kurang tepat.

Dalam KTSP, kegiatan pengembangan silabus merupakan kewenangan satuan pendidikan, namun dalam Kurikulum 2013 kegiatan pengembangan silabus beralih menjadi kewenangan pemerintah, kecuali untuk mata pelajaran tertentu yang secara khusus dikembangkan di satuan pendidikan yang bersangkutan.

Meskipun silabus sudah di kembangkan oleh pemerintah pusat , namun  guru tetap dituntut untuk dapat memahami seluruh pesan dan makna yang terkandung dalam silabus, terutama untuk kepentingan operasionalisasi pembelajaran. Oleh karena itu, kajian silabus tampak menjadi penting, baik dilakukan secara mandiri maupun kelompok sehingga diharapkan para guru dapat memperoleh perspektif yang lebih tajam, utuh dan komprehensif dalam memahami  seluruh isi silabus yang telah disiapkan tersebut.

Adapun penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) masih merupakan kewenangan guru yang bersangkutan, yaitu dengan berusaha mengembangkan dari Buku Babon (termasuk silabus) yang telah disiapkan pemerintah.

a. Kelebihan dan Kekurangan Kurikulum 2013

1) Kelebihan
  • Lebih menekankan pada pendidikan karakter. Selain kreatif dan inovatif, pendidikan karakter juga penting yang nantinya terintegrasi menjadi satu. Misalnya, pendidikan budi pekerti luhur dan karakter harus diintegrasikan kesemua program studi.
  • Asumsi dari kurikulum 2013 adalah tidak ada perbedaan antara anak desa atau kota. Seringkali anak di desa cenderung tidak diberi kesempatan untuk memaksimalkan potensi mereka.
  • Merangsang pendidikan siswa dari awal, misalnya melalui jenjang  pendidikan anak usia dini.
  • Kesiapan terletak pada guru. Guru juga harus terus dipacu kemampuannya  melalui pelatihan-pelatihan dan pendidikan calon guru untuk meningkatkan kecakapan profesionalisme secara terus menerus.
2) Kekurangan.
  • Pemerintah seolah melihat semua guru dan siswa memiliki kapasitas yang sama dalam kurikulum 2013. Guru juga tidak pernah dilibatkan langsung dalam proses pengembangan kurikulum 2013.
  • Tidak ada keseimbangan antara orientasi proses pembelajaran dan hasil dalam kurikulum 2013. Keseimbangan sulit dicapai karena kebijakan ujian nasional (UN) masih diberlakukan.
  • Pengintegrasian mata pelajaran IPA dan IPS dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk jenjang pendidikan dasar tidak tepat, karena rumpun ilmu pelajaran-pelajaran tersebut berbeda.
Untuk jam pelajaran dan pembelajaran dalam kurikulum 2013 nanti, untuk SD yang semula 10 mata pelajaran akan menjadi enam mata pelajarann yakni Matematika, Bahasa Indonesia, Pendidikan Agama, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, serta Kesenian. Di lain pihak, materi IPA dan IPS menjadi tematik di pelajaran-pelajaran lainnya. Untuk Siswa SMP dari 32 jam menjadi 38 jam pelajaran per minggu. Mengacu kurikulum baru, jumlah mata pelajaran SMP yang semula 12 nanti menjadi 10 mata pelajaran. Mata ajar muatan lokal dan pengembangan diri akan melebur ke dalam mata pelajaran seni budaya dan prakarya.

Sedangkan mata pelajaran yang lain tetap, yakni Pendidikan Agama, Pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, Bahasa Inggris, Seni Budaya (muatan lokal), Pendidikan Jasmani dan Kesehatan.

Pro Kontra Publik Terhadap Kurikulum 2013

Kurikulum 2013, yang rencananya diterapkan mulai tahun ajaran 2013/2014, masih menimbulkan pro dan kontra di kalangan praktisi pendidikan. Pihak yang mendukung kurikulum baru menyatakan, Kurikulum 2013 memadatkan pelajaran sehingga tidak membebani siswa, lebih fokus pada tantangan masa depan bangsa, dan tidak memberatkan guru dalam penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan.

Pihak yang kontra menyatakan, Kurikulum 2013 justru kurang fokus karena menggabungkan mata pelajaran IPA dengan Bahasa Indonesia di sekolah dasar. Ini terlalu ideal karena tidak mempertimbangkan kemampuan guru serta tidak dilakukan uji coba dulu di sejumlah sekolah sebelum diterapkan. “Masa sosialisasinya juga terlalu pendek,” Kata David Bambang, Guru SD Negeri 03 Santas, Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, Kamis (20/12).

Persamaan dan Perbedaan Antara KTSP dan Kurikulum 2013

1. PERSAMAAN
  • Kurikulum 2006 (KTSP) dan Kurikulum 2013 sama-sama menampilkan teks sebagai butir-butir KD.
  • Untuk struktur kurikulumnya baik pada KTSP atau pada 2013 sama-sama dibuat atau dirancang oleh pemerintah tepatnya oleh Depdiknas.
  • Beberapa mata pelajaran masih ada yang sama seperti KTSP.
  • Terdapat kesamaan esensi kurikulum, misalnya pada pendekatan ilmiah yang pada hakekatnya berpusat pada siswa. Dimana siswa yang mencari pengetahuan bukan menerima pengetahuan.
2. PERBEDAAN

KTSP  
  • Mata pelajaran tertentu mendukung kompetensi tertentu
  • Mata pelajaran dirancang berdiri sendiri dan memiliki kompetensi dasar sendiri
  • Bahasa Indonesia sejajar dengan mapel lain
  • Tiap mata pelajaran diajarkan dengan pendekatan berbeda
  • Tiap jenis konten pembelajaran diajarkan terpisah
  • Tematik untuk kelas I-III (belum integratif)
  • TIK mata pelajaran sendiri
  • Bahasa Indonesia sebagai pengetahuan   
  • Untuk SMA ada penjurusan sejak kelas XI
  • SMA dan SMK tanpa kesamaan kompetensi
  • Penjurusan di SMK sangat detil
K13
  • Tiap mata pelajaran mendukung semua kompetensi (Sikap, Keteampilan, Pengetahuan)
  • Mata pelajaran dirancang terkait satu dengan yang lain dan memiliki kompetensi  dasar yang diikat oleh kompetensi inti tiap kelas
  • Bahasa Indonesia sebagai penghela mapel lain (sikap dan keterampilan berbahasa)
  • Semua mata pelajaran diajarkan dengan pendekatan yang sama (saintifik) melalui mengamati, menanya, mencoba, menalar
  • Bermacam jenis konten pembelajaran diajarkan terkait dan terpadu satu sama lainKonten ilmu pengetahuan diintegrasikan dan dijadikan penggerak konten pembelajaran lainnya
  • Tematik integratif untuk kelas I-III
  • TIK merupakan sarana pembelajaran, dipergunakan sebagai media pembelajaran mata pelajaran lain
  • Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi dan carrier of knowledge
  • Tidak ada penjurusan SMA. Ada mata pelajaran wajib, peminatan, antar minat, dan pendalaman minat
  • SMA dan SMK memiliki mata pelajaran wajib yang sama terkait dasar-dasar pengetahuan, keterampilan dan sikap.
  • Penjurusan di SMK tidak terlalu detil sampai bidang studi, didalamnya terdapat pengelompokkan peminatan

Sumber:
  • Hasibuan, Lias. Tanpa tahun. Kurikulum dan Pemikiran Pendidikan. Jakarta: Gaung  Persada.
  • Mulyasa, E. 2005. Kurikulum Berbasis Kompetensi Konsep, Karakteristik, Dan Implementas,  Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
  • Mulyasa, E. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Sebuah Panduan Praktis. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
  • Muslich, Masnur. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara.
  • http://panduanmu.blogspot.com/2012/12/pro-kontra-kurikulum-2013.html.
  • http://www.pengertianahli.com/2013/09/pengertian-kurikulum-menurut-para- ahli.html
  • http://jayharianto83.blogspot.co.id/2013/12/kurikulum-kbk-ktsp-dan-kurikulum-2013.html

Thursday, 8 December 2016

METODE PEMBELAJARAN GERAK

 (METODE PEMBELAJARAN GERAK)

A. Faktor Belajar Gerak

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi proses kegiatan belajar. Faktor-faktor itu ada yang terdapat pada diri kita sendiri, tetapi ada pula yang di luar kita. Dalam hal ini faktor yang mempengaruhi proses belajar ada tujuh (Hutabarat), yaitu:

1. Faktor Kecerdasan

Yang dimaksud dengan kecerdasan ialah kemampuan seseorang melakukan kegiatan berpikir yang sifatnya rumit dan abstrak. Tingkat kecerdasan dari tiap-tiap siswa atau individu tidak sama  yaitu  ada yang tinggi, ada yang sedang dan ada pula yang rendah. Orang yang tingkat kecerdasannya tinggi dapat mengolah gagasan yang abstrak, rumit dan sulit. Hal ini  dilakukan dengan cepat tanpa banyak kesulitan-kesulitan dibandingkan dengan orang yang kurang cerdas. 

Orang yang cerdas itu dapat memikirkan dan mengerjakan lebih banyak, lebih cepat dengan tenaga yang relatif sedikit.Kecerdasan adalah suatu kemapuan yang dibawa dari lahir sedangkan pendidikan tidak dapat meningkatkannya, tetapi hanya dapat mengembangkannya. Tingginya kecerdasan seseorang bukanlah suatu jaminan bahwa ia akan berhasil menyelesaikan pendidikan dengan baik. Keberhasilan dalam belajar bukan hanya ditentukan oleh kecerdasan tetapi juga oleh faktor-faktor lainnya.

2. Faktor Belajar

Faktor belajar adalah semua segi kegiatan belajar, misalnya kurang dapat memusatkan perhatian kepada pelajaran yang sedang dihadapi, tidak dapat menguasai kaidah yang berkaitan sehingga tidak dapat membaca seluruh bahan yang seharusnya dibaca.Siswa kurang menguasai cara-cara belajar efektif dan efisien.

3. Faktor Sikap

Banyak pengaruh faktor sikap terhadap kegiatan dan keberhasilan siswa dalam belajar. Sikap dapat menentukan apakah seseorang akan belajar dengan lancar atau tidak, tahan lama belajar atau tidak, senang pelajaran yang di hadapinya atau tidak dan banyak lagi yang lain. Di antara sikap yang dimaksud di sini adalah minat, keterbukaan pikiran, prasangka atau kesetiaan.Sikap yang positif terhadap pelajaran merangsang cepatnya kegiatan belajar.

4. Faktor Kegiatan

Faktor kegiatan ialah faktor yang ada kaitannya dengan kesehatan, kesegaran jasmani dan keadaan fisik seseorang.Sebagaimana telah diketahui, badan yang tidak sehat membuat konsentrasi pikiran terganggu sehingga menganggu kegiatan belajar.

5. Faktor Emosi dan Sosial

Faktor emosi seperti tidak senang dan rasa suka.  Faktor sosial seperti persaingan dan kerja sama.  Faktor-faktor ini sangat besar pengaruhnya dalam proses belajar. Ada di antara faktor ini yang sifatnya mendorong terjadinya belajar tetapi ada juga yang menjadi hambatan belajar efektif.

6. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan ialah keadaan dan suasana tempat seseorang belajar.Suasana dan keadaan tempat belajar itu turut menentukan berhasil atau tidaknya kegiatan belajar. Kebisingan, bau busuk dan nyamuk  menganggu pada waktu belajar dan keadaan yang serba kacau di tempat belajar sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan belajar. Hubungan yang kurang serasi dengan teman dapat menganggu kosentrasi belajar.

7. Faktor Guru

Kepribadian guru, hubungan guru dengan siswa, kemampuan guru mengajar dan perhatian guru terhadap kemampuan siswanya turut mempengaruhi keberhasilan belajar. Guru yang kurang mampu dengan baik dalam mengajar dan kurang menguasai bahan yang diajarkan dapat menimbulkan rasa tidak suka kepada yang diajarkan dan kurangnya dorongan menguasai pada siswa. Sebaliknya guru yang pandai mengajar menimbulkan pada diri siswa rasa menggemari bahan yang diajarkannya sehingga tanpa disuruh pun siswa banyak menambah pengetahuannya di bidang itu dengan membaca buku-buku, majalah dan bahan cetak lainnya. Guru dapat menimbulkan semangat belajar yang tinggi dan dapat juga mengendorkan keinginan belajar. Siswa yang baik berusaha mengatasi kesulitan ini dengan memusatkan perhatian kepada bahan pelajaran, bukan kepada kepribadian gurunya.

B. Fase Belajar Gerak

Proses belajar  bertujuan  menguasai gerakan keterampilan berlangsung dalam 3 tahapan atau fase.
Tiga fase belajar gerak menurut FITTS dan POSNER.

1.  Fase Kognitif

Fase kogtinif merupakan tahap awal dalam belajar gerak keterampilan.  Di sini pelajar berusaha  memahami bentuk gerakan yang dipelajari,  kemudian mencoba melakukan berulang-ulang.  Pada fase ini aktivitas kognitif atau aktivitas berpikir masih menonjol karena harus  memahami bentuk gerakan dan bagaimana harus melakukannya. 

Pada saat pelajar mencoba berulang-ulang melakukan gerakan, sangat dipengaruhi oleh fikirannya. Ia berusaha menampilkan bayangan gerakan yang ada dalam pikirannya ke dalam gerakan yang nyata,  pada awalnya seringkali pelajar masih mengalami kesulitan. Namun, cara berulang-ulang, pelajar akan mampu melakukannya dengan bentuk gerakan yang makin menyerupai  gerakan yang dibayangkannya.

2.  Fase Asosiatif

Fase asosiatif merupakan  fase kedua dalam belajar gerak keterampilan.  Yang membatasi antara fase kognitif dan fase asosiatif adalah rangkaian gerak yang biasa dilakukan oleh pelajar.  Pada fase asosiatif, pelajar sudah sampai pada taraf merangkaikan bagian-bagian gerakan secara keseluruhan.

Fase asosiatif disebut juga fase menengah. Fase ini ditandai dengan tingkat penguasaan gerakan,  pelajar sudah mampu melakukan gerakan-gerakan dalam bentuk rangkaian yang tidak tersendat-sendat pelaksanaannya. Dengan tetap mempraktikkan berulang-ulang, pelaksanaan gerakan akan semakin efisien, lancar, sesuai dengan keinginannya, dan kesalahan gerakan semakin berkurang.

Untuk meningkatkan penguasaan dan kebenaran gerakan, pelajar perlu tahu kesalahan yang masih diperbuatnya.Ia bisa tahu kesalahan yang diperbuatnya melalui pemberitahuan orang lain yang mengamatinya, merasakan gerakan yang dilakukan, atau melihat gambar rekaman pelaksanaan gerakan. Dari kesalahan gerakan yang dilakukan pelajar perlu mengarahkan perhatiannya membetulkan selama mempraktikkan berulang-ulang.Kemampuan mengenali kesalahan gerakan sangat diperlukan untuk peningkatan penguasaan gerak. Untuk meningkatkan pĂ©nguasaan gerak diperlukan kesempatan  berpraktik berulang-ulang.

Pada fase asosiatif, dengan cara melakukan rangkaian gerakan secara berulang-ulang, penguasaan atas gerakan akan  semakin meningkat. Peningkatan penguasaan atau keterampilan gerak akan tampak dalam hal: gerakan semakin lancar,  sesuai dengan kemauan atau bayangan gerakan yang ingin dilakukan, kesalahan gerakan semakin berkurang  dan konsisten, dan pelaksanaannya semakin halus. Pada fase asosiatif ini juga merangkaikan bagian-bagian gerakan menjadi rangkaian gerakan secara terpadu merupakan unsur penting menguasai berbagai gerakan keterampilan. Setelah rangkaian gerakan bisa dilakukan dengan baik, maka peserta didik segera bisa dikatakan memasuki fase belajar otonom.

3.  Fase Otonom

Fase otonom merupakan fase akhir dalam pembelajaran keterampilan gerak. Pada fase ini pelajar mencapai tingkat penguasaan gerakan tertinggi. Pelajar bisa melakukan rangkaian gerakan keterampilan secara otonom dan secara otomatis. Gerakan bisa dilakukan secara otonom artinya pelajar mampu melakukan gerakan keterampilan tertentu walaupun pada saat yang bersamaan ia harus melakukan aktivitas lain.

Gerakan otomatis adalah gerakan  dilakukan secara otomatis  yang bisa dilanjutkan seperti yang dikehendaki walaupun tidak memikirkan unsur-unsur bentuk gerakan yang ingin dilakukan.  Misalnya pada pemain sepak bola yang sedang mendribling, begitu ia mengamati bahwa bolanya akan direbut oleh lawan maka secara otomatis dia akan menjauhkan bola tersebut baik itu dengan cara mendribling lebih cepat atau melakukan gerakan membelokan bola (Caping).

Untuk mencapai fase otonom, diperlukan praktik gerakan berulang secara teratur dalam jumlah ulangan yang banyak dalam waktu lama.  Gerakan yang telah mampu dilakukan secara otomatis, sulit diubah polanya. Oleh karena itu, bagi pelatih olahraga perlu berhati-hati melatihkan bentuk gerakan tertentu. Setelah dibaca fase otonom kelancaran dan kebenaran gerakan masih dapat ditingkatkan, namun peningkatannya tidak lagi secepat pada fase-tase belajar sebelumnya. Pada fase ini gerakan sudah menjadi otomatis, untuk mengubah bentuk gerakan cukup sulit memerlukan ketekunan.

Mengingat sulitnya mengubah bentuk gerakan setelah gerakan menjadi otomatis, maka pembetulan gerakan harus dilakukan pada fase belajar sebelumnya. Sejak awal pelajar harus diarahkan melakukan gerakan-gerakan yang benar secara mekanis, agar setelah fase otonom gerakannya benar-benar efisien.

Perlu dijelaskan bahwa gerakan otomatis tidak sama dengan gerakan yang efisien atau gerak yang terampil. Gerakan yang otomatis belum tentu efisien. Gerakan yang salah secara mekanis dapat menjadi otomatis apabila terus dilakukan herulang-ulang. Sedangkan gerakan yang benar dan dilakukan secara otomatis akan menjadi gerakan yang efisien.

C. Belajar Gerak

Kondisi belajar gerak adalah suatu keadaan yang diperlukan agar proses belajar gerak dapat berlangsung ke arah pencapaian tujuan.  Keadaan yang diperlukan itu meliputi keadaan pada diri pelajar dan keadaan yang ada di luar diri pelajar.

Kondisi belajar gerak meliputi kondisi internal dan  eksternal yang meliputi:
1. Kondisi Internal
Kondisi internal adalah keadaan pada diri pelajar yang diperlukan selama proses belajar berlangsung. Selama proses belajar gerak, pelajar perlu:
  • Berusaha mengingat bentuk bagian-bagian gerakan yang dipelajari 
  • Berusaha mengingat urutan rangkaian bagian-bagian gerakan dalam gerakan keterampilan secara keseluruhan.
Pada awal proses belajar gerak, pelajar harus memahami gerakan, yang perlu dipahami kemudian diingatnya gerakan dan urutan rangkaiannya.  Istilah mengingat dalam pembahasan proses belajar gerak tidak hanya menyangkut ingatan kognitif, tetapi juga ingatan gerak. Ingatan gerak adalah kemampuan melakukan kembali gerakan-gerakan yang pernah dilakukan.
2. Kondisi Eksternal
Kondisi eksternal dalam belajar gerak adalah keadaan luar diri pelajar yang mempengaruhi proses belajarnya.  Kondisi internal yang utama dalam belajar gerak adalah berbentuk stimulus yang diberikan oleh guru atau pelatih. Stimulus tersebut diberikan dalam ; 
  • Pemberian Penjelasan Gerak
Pemberian penjelasan mengenai gerakan atau disebut juga sajian instruksi verbal perlu diperhatikan oleh guru secara singkat dan jelas, dengan menggunakan kata-kata yang sederhana agar mudah dimengerti.  Hal-hal penting yang perlu dijelaskan adalah unsur-unsur bentuk gerakan dan kunci cara melakukannya, dan urutan gerakan yang seharusnya dilakukan.
  • Pemberian Contoh Gerakan 
Pemberian contoh gerakan merupakan rangkaian pemberian penjelasan gerakan.  Pemberian contoh gerakan akan memberikan gambaran yang nyata dan jelas mengenai apa dan bagaimana gerakan dilakukan. 
Contoh gerakan sebagai model yang akan ditiru oleh pelajar seharunya dilakukan dengan benar dan diulang untuk memberi kesempatan memahaminya. Apabila gerakan cukup rumit, hendaknya ditunjukan unsur-unsur pokoknya dan kunci-kunci gerakan yang bisa mempermudah gerakan.
Setelah pelajar diberi penjelasan dan contoh gerakan secukupnya, mereka diinstruksikan mempraktikan gerakan.  Mempraktikan gerakan merupakan kegiatan utama yang melibatkan aktivitas fisik.  Pelajar harus melakukan berulang-ulang gerakan yang dipelajari.
Pada awal mempraktikan gerakan yang baru, pelajar kadang mengalami kesulitan. Tetapi dengan mempraktikan berulang ulang kesulitan akan berkurang dan penguasaan gerakan semakin meningkat. Meningkatnya penguasaan gerakan keterampilan ditandai oleh indikator-indikator : 
  • Prinsip pengaturan giliran. 
  • Gerakan semakin terkontrol sesuai dengan kemauannya. 
  • Kesalahan gerakan makin berkurang, 
  • Penampilan terbaiknya dicapai semakin konsisten.

D. Prinsip & Praktik Belajar Penjas

Agar peningkatan penguasaan keterampilan, gerak dicapai secara optimal, perlu dilakukan pengaturan kondisi praktik yang baik melalui pemberian intruksi yang tepat. Ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam pengaturan kondisi praktik.

1). Prinsip Pengaturan Giliran
Pengaturan giliran adalah mempraktikkan gerakan  yang akan berpengaruh terhadap kecepatan peningkatan penguasaan gerakan.  Kepada semua pelajar perlu diberikan kesempatan yang cukup secara merata jangan sampai ada yang memperoleh giliran terlalu berlebihan dan ada yang terlalu kurang. Kadang-kadang ada pelajar yang terlalu bersemangat dan ada yang terlalu pasif. Dalam hal itu, pelatih perlu mengendalikannya. Kepada yang terlalu bersemangat diarahkan agas bisa mengatur pemanfaatan tenaganya secara efisien tanpa menjadikan semangatnya menurun, sedangkan yang terlalu pasif perlu diberi motivasi agar mau berlatih.
Pengaturan giliran erat kaitannya dengan pengaturan beban belajar atau beban latihan. Ada 2 model pengaturan giliran, yaitu: 
  • Distributed condition adalah prinsip pengaturan giliran mempraktikan gerakan, pengaturan waktu  praktik dan  istirahat secara bergantian. 
  • Condition adalah prinsip pengaturan giliran mempraktikan gerakan yaitu pelajar harus mempraktikan gerakan secara terus-menerus tanpa  istirahat.
Model pengaturan giliran praktik bertujuan menguasai gerakan keterampilan. Model Distributed Condition efektif daripada model Massed condition.
2). Prinsip Beban Belajar Meningkat
Pengaturan peningkatan beban belajar gerak dapat diwujudkan dalam bentuk pengaturan materi belajar : 
  • Dimulai dari yang mudah ke yang sukar. 
  • Dimulai dari yang sederhana ke yang kompleks. 
  • Dimulai dari gerakan yang kurang memerlukan tenaga ke yang lebih banyak memerlukan tenaga.
3). Prinsip Kondisi Praktik Bervariasi
Di dalam belajar gerak, mempraktikan gerakan merupakan tahapan belajar paling berat karena harus melakukan aktivitas fisik yang cukup lama. Di samping faktor kelelahan, faktor kejemuan yang merupakan hambatan belajar yang paling besar. Apabila kejemuan  menghinggapi diri pelajar, maka sulit  untuk bisa segera menguasai gerakan yang dipelajari. Oleh karena itu, pelatih perlu mengatur kondisi praktik agar tidak mudah menimbulkan kejemuan. Cara yang bisa dilakukan adalah mengatur kondisi praktik yang bervariasi.
Variasi kondisi praktik bisa dibuat dalam bentuk:
  • Dalam satu jam latihan jangan hanya mempraktikan satu pola gerak saja, melainkan perlu mempraktikan beberapa pola gerak dengan mempertimbangkan kesesuaian pola-pola gerak untuk dipadukan dan waktu yang tersedia. 
  • Praktik dilakukan dalam pemberian  bermacam-macam formasi. 
  • Memperhatikan pemberian waktu istirahat secara berkala 
  • Memberikan  cukup kebebasan dalam upaya  pelajar  menguasai gerakan.
4. Prinsip Pemberian Motivasi dan Menyemangati
Seseorang yang melakukan sesuatu dipengaruhi oleh kondisi kejiwaannya.  Seseorang mau berbuat sesuatu apabila didorong oleh adanya alasan tertentu.  Demikian juga dalam belajar gerak. Motivasi yang dinilai paling kuat adalah motivasi yang bersifat intrinsik yaitu yang timbul dari dalam diri pelajar sendiri.  Walaupun motivasi intrinsik adalah yang lebih baik, namun motivasi ekstrinsik tetap harus diberikan kepada pelajar. Prinsip pemberian hadiah atau pemberian hukuman bisa diterapkan. Bisa juga melakukan pujian, penghargaan atau pengakuan atas prestasi yang telah dicapai.  
Penyampaian Umpan balik
Umpan balik adalah informasi yang diperoleh oleh pelajar setelah mempraktikan gerakan mengenai benar atau salahnya gerakan yang telah dilakukan.  Informasi tersebut sangat penting agar pelajar tahu mengenai seberapa baik ia telah mampu melakukan gerakan. Dengan demikian ia menjadi tahu  perbaikan apa yang seharusnya diusahakan selanjutnya. Berdasarkan sumbernya umpan balik dapat dibedakan menjadi 2 macam.
  • Umpan balik internal
 Yaitu umpan balik yang diperoleh secara langsung pada saat gerakan dilakukan.
  • Umpan balik external
 Yaitu umpan balik yang diperoleh melalui informasi yang didengar.
Pemberian umpan balik adalah penting, tetapi hendaknya dilakukan secukupnya saja karena apabila terlalu banyak umpan balik bisa menjemukan bagi pelajar. Secara kognitif sebenarnya pelajar sudah tahu kesalahannya.

Referensi:

http://file.upi.edu/Direktori/FPOK/JUR._PEND._OLAHRAGA/196308241989031-AGUS_MAHENDRA/Modul_Perkembangan_%26_Belajar_Motorik_Agus_Mahendra/Modul_11-_Pembelajaran_Gerak.pdf di akses tanggal 8 Desember 2016

Thursday, 13 October 2016

PERMAINAN BOLA KASTI

PERMAINAN BOLA KASTI

Kalau di Amerika ada softball dan baseball, di Indonesia ada permainan bola kasti. Kasti merupakan salah satu permainan tradisional di Indonesia yang berbentuk permainan bola kecil beregu. Permainan bola kasti sering dilakukan di sekolah-sekolah bahkan di masyarakat pun sering ditemukan. Dalam permainan bola kasti menampilkan beberapa keterampilan yaitu memukul, melempar, dan menangkap bola serta kemampuan lari sehingga membuat permainan bola kasti menjadi menarik saat dimainkan. Bahkan orang yang menonton menjadi sangat gembira ketika  menyaksikan pertandingan bola kasti.
Permainan bola kasti berbentuk permainan bola kecil beregu. Permainan bola kasti mengajarkan seseorang tentang bagaimana menjaga kedisiplinan, kerjasama, dan kekompakan dengan teman dalam suatu tim/regu. Memainkan permainan bola kasti sangat mudah, alat dan perlengkapannya tidak susah untuk ditemukan bahkan dapat dibuat sendiri. Demi keamanan dan kenyamanan, pada saat bermain harus sesuai dengan aturan, dan apabila anak-anak yang bermain bola kasti perlu ada orang yang lebih dewasa untuk mengawasi mereka pada saat bermain.


Alat dan Perlengkapan Permainan Kasti
  • Lapangan Permainan Kasti. Lapangan kasti berbentuk persegi panjang dengan ukuran: Panjang: 60 – 70 meter, Lebar: 30 meter 
  • Ruang hinggap: 3 
  • Ruang bebas: 1
  • Pemukul: terbuat dari kayu 
  • Bola Kasti: terbuat dari karet/bola tennis lapangan
Peraturan Permainan Kasti
  • Jumlah Pemain. Jumlah pemain kasti tiap regu adalah 12 orang, dengan salah satu pemain bertindak sebagai kapten. Setiap pemain wajib mengenakan nomor dada dari 1 sampai 2.
  • Waktu Permainan.
  • Waktu permainan dilakukan dalam 2 babak. Tiap-tiap babak 20 – 30 menit. Diantara tiap babak diberikan istirahat 15 menit.
  • Wasit. Pertandingan kasti dipimpin oleh seorang wasit dibantu 3 orang penjaga garis dan 1 orang pencatat waktu.
Regu Pemukul
  • Setiap pemain berhak memukul satu kali, kecuali pemain terakhir berhak memukul sampai 3 kali.
  • Sesedah memukul, alat pemukul harus diletakkan di dalam ruang pemukul. Apabila alat pemukul diletakkan di luar, maka pemain tersebut tidak mendapatkan nilai, kecuali jika ia segera meletakkannya di dalam ruang pemukul.
  • Pukulan dinyatakan benar apabila bola yang dipukul melampaui garis pukul, tidak jatuh di ruang bebas, dan tidak mengenai tangan pemukul.
Regu Penjaga
Regu penjaga bertugas:
  • Mematikan lawan dengan cara melemparkan bola ke pemukul atau menangkap langsung bola yang dipukul melambung oleh regu pemukul.
  • Membakar ruang bebas dengan cara menempati ruang bebas jika kosong.
Pelambung
Pelambung bertugas:
  • Melambungkan bola sesuai permintaan pemukul
  • Jika bola yang dilambungkan oleh pelambung tidak sesuai dengan permintaan pemukul, maka pemukul boleh untuk tidak memukulnya. Jika ini terjadi sampai 3 kali berturut-turut maka pemukul dapat berlari bebas ke tiang pemberhentian pertama.
Pergantian Tempat
  • Pergantian tempat antara regu pemukul dan regu penjaga terjadi apabila:
  • Salah seorang regu pemukul terkena lemparan bola
  • Bola pukulan regu pemukul ditangkap langsung oleh regu penjaga sebanyak 3 kali berturut-turut.
  • Alat pemukul lepas ketika memukul
Cara Mendapatkan Nilai
  • Pemain berhasil memukul bola, kemudian lari ke pemberhentian I, II, III, dan ruang bebas secara bertahap, mendapat nilai 1.
  • Pemain berhasil berlari melewati tiang-tiang pemberhentian dan kembali ke ruang bebas atas pukulannya sendiri, mendapat nilai 2.
  • Regu penjaga menangkap langsung bola lambung yang dipukul oleh regu pemukul, mendapat nilai 1.
  • Regu yang mendapatkan nilai paling banyak dinyatakan sebagai pemenang.
Cara Bermain Kasti
  • Setelah menguasai beberapa teknik dasar permainan kasti dan memahami peraturan permainannya, selanjutnya adalah mempraktikkan bagaimana cara bermain kasti dengan benar. Dalam bermain kasti dibutuhkan kerjasama tim dan rasa tanggung jawab. Selain itu yang paling penting adalah sikap untuk selalu menjaga sportifitas.
  • Sebelum memulai bermain kasti, hendaknya ditentukan dulu dua regu yang akan bermain. Tiap-tiap regu berjumlah 12 pemain. Bagi siswa yang belum mendapatkan giliran bermain, hendaknya melihat di sisi lapangan sambil mempelajari kejadian-kejadian di lapangan.

"SELAMAT BERMAIN"

Monday, 3 October 2016

STATISTIKA PENJAS: Validasi Instrumen Tes

Menurut Olson dalam Sundayana (2013:2) "Statistika adalah ilmu untuk menjawab pertanyaan berdasarkan data empiris". Statistika penjas sama halnya dengan statistika pendidikan pada umumnya. Statistika Penjas merupakan metode untuk menjawab pertanyaan dengan mengumpulkan data-data empiris dalam bidang ilmu pendidikan jasmani dan olahraga. Tahapan-tahapan statistika penjas yaitu: mendesain, merencanakan, mengobservasi, mencatat, menganalisis, merangkum, menarik kesimpulan, melaporkan dan menyajikan hasil. 

Dalam statistika penjas dikenal juga statistika infrensial yang merupakan inti dari statistika itu sendiri. dalam analisis data, statistika infrensial terbagi atas dua, yaitu: statistika parametrik statistika non parametrik. Statistika parametrik cirinya adalah datanya harus berdistribusi normal, penarikan sampel dengan cara acak (random) dan datanya interval atau rasio. Sedangkan, Statistika nonparametrik cirinya adalah datanya tidak harus berdistribusi normal, penarikan sampel tidak harus random. 

JENIS, TUJUAN, MANFAAT, FUNGSI VALIDASI INSTRUMEN TES
Jenis Validasi Instrumen Tes
Terdapat   tiga  karakteristik   utama  dari   sebuah  instrumen atau tes,   yakni  validitas, reliabilitas dan objektivitas. Ketiga kriteria ini sering disebut sebagai prasyarat bagi setiap tes yang akan dipilih atau yang akan disusun.

1. Validasi

Validitas atau kesahihan alat ukur berhubungan dengan ketepatan  mengukur sesuatu  yang seharusnya  diukur. Selain itu, validitas menunjukkan tingkat kevalidan  atau kesahihan  suatu alat ukur  atau instrumen.  Suatu alat  ukur yang valid atau sahih  berarti alat  ukur tersebut tepat  untuk mengukur sesuatu  yang seharusnya diukur. (Kirkendal, Gruber dan Johnson: 1980).

Suatu instrumen pengumpul data yang valid berarti instrumen tersebut dapat mengungkap informasi suatu variabel yang sedang dikumpulkan.  Tujuan penggunaan suatu alat ukur merupakan faktor yang menentukan validitas alat ukur. Tes yang sudah baku (terstandar) digunakan untuk mengukur hasil belajar keterampilan olahraga peserta didik di sekolah mungkin tidak valid untuk mengukur keterampilan atlit yang akan mengikuti kejuaraan atau perlombaan. Perbedaan tujuan penggunaan  tes tentu memerlukan validitas yang berbeda pula.
a). Validitas Isi
Penggunaan tes atau alat ukur dalam proses belajar mengajar biasanya  untuk menaksir  pencapaian hasil belajar peserta didik tentang kemampuan  pengetahuan atau keterampilan peserta didik. Yang paling baik, keseluruhan isi topik atau materi bahasan dituangkan ke dalam tes tersebut. Tetapi hal tersebut mungkin akan sulit dilakukan. 
Pada umumnya cara menaksir pencapaian hasil belajar peserta didik adalah  mengambil sampel dari keseluruhan isi topik atau materi bahasan. Oleh karena itu sampel tersebut harus  mewakili keseluruhan isi. Dengan  kata lain, hasil yang diperoleh berdasarkan sampel tersebut  harus mencerminkan keseluruhan isi yang dikehendaki, sehingga sampel harus valid. Hal ini merupakan masalah validitas isi. 
Prosedur tersebut diawali dengan menyusun suatu kerangka atau kisi-kisi topik atau materi bahasan. Dalam kisi-kisi mencakup keseluruhan isi bidang  studi dan  aspek-aspek yang akan diukur dilengkapi dengan katagori pentingnya setiap topik. Berdasarkan kisi-kisi tersebut dikembangkan butir-butir materi tes. Selanjutnya secara acak diambil sampel butir-butir tes dalam jumlah yang sesuai dengan bobot katagori setiap topik dari keseluruhan isi (Kirkendal, Gruber dan Johnson: 1980). 
Pada dasarnya validitas isi diperoleh berdasarkan pertimbangan subyektif, secara teliti dan kritis terhadap butir-butir tes yang secara logis dapat mewakili keseluruhan isi tes yang dikehendaki dan diperkirakan sesuai dengan tujuan pengukuran.  Maka suatu alat ukur atau tes harus memiliki validitas logis. Selain itu, pertimbangan isi dan tujuan yang akan diukur, suatu  tes harus  mencerminkan dan sesuai  dengan materi pengajaran dan tujuan pengajaran yang dinyatakan dalam pedoman kurikulum atau silabus. Dengan demikian suatu alat ukur atau tes harus memenuhi validitas kurikulum. 
Dalam menyusun tes keterampilan olahraga dalam pendidikan jasmani, validitas isi diperoleh  melalui analisis keterampilan - keterampilan yang akan di ukur dan di jadikan butir tes. Butir tes tunggal atau tes berangkai keterampilan olahraga dalam pendidikan jasmani biasanya digunakan untuk menentukan keterampilan umum dalam suatu cabang olahraga. Untuk  menentukan butir-butir tes keterampilan olahraga yang akan diukur harus dilakukan secara cermat, teliti, dan kritis dengan berdasar pada pertimbangan - pertimbangan yang logis. Selain itu, tes keterampilan olahraga tersebut harus sesuai dengan materi dan tujuan pendidikan yang dinyatakan  dalam pedoman  kurikulum  pendidikan jasmani. 
b). Validitas Konstruk
Konstruk adalah kerangka dari suatu konsep. Untuk mengukur suatu konsep, maka harus dilakukan identifikasi lebih dahulu kerangka yang membentuk konsep tersebut. Dengan mengetahui kerangka tersebut maka dapat disusun suatu tolok ukur secara operasional konsep tersebut. 
Thomas dan Nelson (1990) menjelaskan bahwa banyak karakter manusia yang tidak diamati secara langsung. Sebaiknya, dibentuk hipotesis yang memuat sejumlah pengertian yang berkaitan bagaimana sifat seseorang pada kelompok tingkat tinggi dibanding dengan sifat seseorang pada kelompok yang rendah. Kecemasan, intelegensi, sportmanship, kreatifitas dan sikap adalah sedikit dari hipotetik konstruk. Validitas konstruk adalah tingkatan suatu tes mengukur konstruk secara hipotetis dan biasanya ditetapkan dengan menghubungkan hasil tes dengan beberapa perilaku. 
Kirkendal, Gruber dan Johnson (1980) menjelaskan bahwa secara umum ada tiga teknik yang digunakan untuk menentukan validitas konstruk, yaitu analisis faktor, regresi ganda dari tes berangkai, dan menguji perbedaan dengan kelompok lain. Untuk menentukan validitas konstruk digunakan analisis faktor, ditetapkan suatu konstruk atau struktur teoritis tentang fenomena diacu. Biasanya dengan melakukan penjabaran fenomena menjadi berbagai komponen. Beberapa butir tes disiapkan untuk masing-masing komponen dan dilakukan tes terhadap kelompok subyek. Suatu waktu butir-butir tes berangkai diarahkan untuk mengukur kemampuan yang rumit. Berikutnya ditetapkan kriterion yang sesuai, kemudian teknik regresi ganda digunakan untuk menentukan rangkaian konstruk yang cocok untuk mengukur fenomena. Cara berikutnya untuk menentukan validitas  konstruk yang juga mengacu pada concurrent validity. Diberikan dua tes yang berbeda terhadap kelompok yang berbeda. Beberapates olahraga ditentukan validitas konstruknya melalui pem-bandingan dua kelompok. 
Verducci (1980) mengemukakan bahwa suatu kunstruk adalah suatu gagasan teoritis yang menerangkan dan mengatur beberapa aspek keberadaan pengetahuan. Di bidang lain, konstruk meliputi gagasan seperti inteligensi, sikap, kesiapan, dan kecemasan; dalam pendidikan jasmani istilah kesegaran jasmani diklasifikasi sebagai suatu konstruk. Validitas konstruk dapat ditentukan dengan pertimbangan secara luas berdasarkan logika dan stitistika data yang mendukung konstruk.
c). Validitas Kriteria
Validitas kriteria diperoleh dengan cara  menghubungkan antara alat ukur  atau tes sebagai prediktor dengan suatu kriteria luar. Perhatian yang utama untuk jenis validitas ini adalah  kriterianya, bukan  pada alat  ukur atau  tes itu sendiri.   Pendekatan empiris digunakan  untuk  menganalisis hubungan antara  alat ukur atau tes dengan kriteria. Meng-identifikasi kriteria yang akan digunakan  merupakan  hal yang penting. Suatu kriteria yang akan digunakan harus memenuhi syarat dan memiliki  ciri-ciri yang dapat diyakini  mengukur sesuatu  yang seharusnya akan diukur. Ciri yang penting adalah kriteria tersebut harus mempunyai relevansi dan mencerminkan dengan tepat sesuatu yang akan diukur. Ciri kedua, suatu kriteria harus dapat diandalkan dan dapat dipercaya. Ciri yang lainnya, suatu kriteria diharapkan bebas dari bias. Skor pada suatu ukuran kriteria hendaknya tidak dipengaruhi oleh aspek-aspek selain kemampuan atau penampilan yang sesungguhnya pada kriteria tersebut (Safrit: 1981). 
Dalam penyusunan suatu tes keterampilan olahraga, ada tiga cara memperoleh validitas yang dihubungkan dengan kriteria.
  • Cara pertama,  menggunakan hasil tes standard atau tes yang sudah dibakukan sebagai kriterion.  Validitas kriteria diperoleh dengan cara mengkorelasikan antara skor hasil tes menggunakan  tes eksperimen (prediktor) dengan skor hasil tes menggunakan tes standard (kriterion).  Jika hasil analisis diperoleh koefisien korelasi yang tinggi maka berarti ada hubungan antara tes eksperimen (prediktor) dengan tes standard. Berarti pula bahwa testi yang mempunyai skor yang baik dari hasil tes kriterion, akan diduga memperoleh skor yang baik pula pada hasil tes prediktor. Contoh:  Brady Volley Test merupakan tes standar bola voli digunakan sebagai kriterion untuk memperoleh validitas kriteria suatu tes keterampilan eksperimen bola voli (Budiwanto: 2001).
  • Cara kedua, sebagai kriterion adalah hasil penilaian para juri (judges rating). Tiga sampai dengan lima juri melakukan  pengamatan dan memberikan penilaian menggunakan skala penilaian pada waktu testi melakukan permainan. Kemudian skor hasil penilaian juri dikorelasikan dengan skor tes prediktor. Diharapkan, pemain yang baik akan mendapatkan skor yang baik dari penilaian para juri dan  mendapat skor baik pula dalam tes prediktor (Kirkendal, Gruber dan Johnson: 1980).
  • Cara ketiga, menggunakan hasil pertandingan kompetisi sebagai kriteria. Pertandingan kompetisi dilakukan antar testi dalam kelompok sampel. Jumlah nilai menang setiap testi dari seluruh pertandingan merupakan kriterion  yang dikorelasikan dengan skor  tes prediktor. Testi yang banyak menang akan mendapat skor tinggi, diharapkan memperoleh  skor yang  tinggi pula  pada tes prediktor (Kirkendal, Gruber dan Johnson: 1980).  
2. Reliabilitas

Reliabilitas suatu tes menggambarkan konsistensi dari hasil pengukuran terhadap orang yang sama dengan alat ukur atau tes yang sama. Reliabilitas merupakan syarat penting bagi suatu tes, tapi tidak menjamin tercapainya validitas (Lutan dan Suherman, 2000).

Reliabilitas (keterandalan) Menggambarkan derajat keajegan, atau konsistensi hasil pengukuran. Suatu alat pengukur atau tes  dikatakan reliabel jika alat pengukur itu menghasilkan suatu gambaran yang benar-benar dapat dipercaya dan dapat diandalkan untuk membuahkan hasil pengukuran yang sesungguhnya (Nurhasan, 2000).

Cara mencari koefisien reliabilitas alat ukur, dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa cara, yang masing-masing mempunyai kekurangandan keunggulan. Berbagai pilihan tentang cara menetapkan tingkat reliabilitas alat ukur tersebut adalah:
a). Teknik Pengulangan (Test and ReTest Reliability)
Cara ini disebut sebagai teknik ulangan, karena dilakukan dengan memberikan dua kali pengukuran dengan rentang waktu tertentu dengan menggunakan alat ukur yang sama. Skor yang di peroleh pada pengukuran pertama  dikorelasikan dengan skordari hasil pengukuran pada pengukuran yang kedua. Koefisien yang diperoleh dengan cara ini menunjuk pada derajat stabilitas alat ukur. Pada umumnya sumber error  pada teknik pengulangan ini dapat bersumber dari  berbagai faktor yang  menyebabkan seseorang mempunyai skor berbeda pada saat  dua kali mengerjakan tes yang sama. Sangat mungkin perubahan skor yang terjadi bukan karena perubahan hal yang diukur, tetapi karena situasi yang berbeda atau pengalaman dari responden pada saat mengerjakan soal yang pertama, sehingga dalam pengerjaan tes kedua lebih hati-hati dan lebih baik hasilnya.
b). Teknik Bentuk Paralel ( Alternate Form Reliability)
Mencari reliabilitas dengan teknik bentuk parallel dilakukandengan cara pengukuran pada subyek yang sama tetapi menggunakan alat ukur berbeda yang mempunyai tingkat kesamaan. Dengan cara ini peneliti perlu mempersiapkan dua set alat ukur yang berbeda dengan mempertimbangkan  keseimbangan diantara kedua alat ukur tersebut. Keseimbangan diperlukan karena alat ukur ini ditujukan untuk mengukur gejala yang sama. Teknik ini sering juga disebut sebagai Parallel Test  Reliability. Penggunaan dua set alat ukur dimaksudkan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya pengaruh ingatan terhadap pengukuran yang pertama. Teknik ini dapat dilakukan dengan  mengadakan pengukuran dengan alat ukur yang pertama berturutan  waktunya dengan pengukuran  dengan menggunakan  alat ukur yang  kedua pada subyek yang sama. Kemudian skor dari pengukuran alat ukur yang pertama dikorelasikan dengan skor hasil pengukuran yang kedua. Koefisien korelasi yang diperoleh akan mengungkap derajad ekuivalensi dan indeks stabilitas.   
c). Teknik belah dua (Split Half reliability)
Teknik belah dua ini dikembangkan dengan menggunakan satu jenis alat ukur, dan hanya diberikan satu kali pada subyek, kemudian hasilnya diolah sedemikian rupa. Yaitu  dengan cara mengelompokkan butir-butir itemnya menjadi dua bagian sama besar (belah dua). Pembagian item menjadi dua kelompok sama besar dapat dilakukan dengan cara acak atau pengelompokan berdasar nomor ganjil-genap, dapat pula dengan cara membagi menjadi separo  kelompok bagian awal dan separo bagian akhir dalam jumlah yang sama.  Setelah itu skor yang berasal dari belahan  yang pertama dikorelasikan dengan skor pada belahan yang kedua. Koefisien korelasi yang diperoleh mencerminkan derajad ekuivalensinnya antara dua belahan tersebut. Teknik ini baru mencerminkan   koefisien reliabilitas dari masing-masing belahan tersebut. Oleh karenanya untuk mendapatkan gambaran koefisien secara keseluruhan, koefisien antar belahan tersebut masih perlu dikoreksi dengan rumus sebagai berikut:
                              N r x1 x2

          Reliability = ------------

                             1 + r x1 x2

Dimana x1 adalah skor dari belahan satu,  x2 adalah skor dari belahan kedua, dan n adalah banyaknya subyek pada setiap bagian (belahan). Rumus tersebut didasarkan pada asumsi bahwa kedua belahan mengukur hal yang sama, yang memiliki varian yang sama.   
d). Kuder Richardson Reliability
Cara ini diberlakukan bila instrumen digunakan untuk mengukur satu gejala psikologis atau perilaku yang sama,   artinya alat  ukur tersebut dapat dikatakan reliabel  bilater bukti ada konsistensi  jawaban antar item yang satu dengan item yang lain. Sehingga apabila sifat dan tingkatan   homogenitas antar item tidak terpenuhi, artinya  alat tersebut dianggap mengukur lebih dari satu variabel.  Bila dalam kenyataan  dalam satu instrumen terdapat lebih dari satu skala pengukuran atau mengukur lebih dari satu variabel,  dan  setiap  variabel  memiliki beberapa dimensi, maka pengecekan reliabilitas dilakukan terhadap masing-masing skala pengukuran.  Model  Kuder  Richardson  Reliability  ini  menghasilkan koefisien konsistensi internal yang menunjuk pada derajad konsistensi antara item yang satu dengan item yang lain. Sehingga lebih cocok untuk alat ukur  yang menggunakan item dua pilihan dengan salah satu jawaban benar.
e). Cronbach Alpha Reliability
Cara ini juga dikembangkan untuk menguji r konsistensi internal dari suatu alat ukur, perbedaan pokok dengan model Kuder Richardson  adalah  bahwa teknik ini tidak hanya untuk instrumen dengan dua pilihan tetapi tidak terikat pada dua pilihan saja, sehingga penerapannya lebih luas. Misalnya untuk menguji reliabilitas skala pengukuran sikap dengan 3, 5 atau 7 pilihan.
3. Objektivitas

Objektivitas suatu tes didefinisikan sebagai derajat kesepakatan diantara beberapa orang pengetes. Suatu tes dikatakan objektif, manakala terdapat kesaman skor yang diberikan oleh beberapa penilai (Lutan dan Suherman, 2000). Istilah lain dari objektivitas ialah reliabilitas penilai,yakni konsistensi skor yang diberikan oleh beberpa penilai terhadap suatu performa.

Tujuan, Manfaat, dan Fungsi Validasi Instrumen

Tujuan di adakannya validasi instrumen penilaian adalah untuk menjamin mutu instrumen yang akan digunakan untuk menilai hasil belajar peserta didik.

Manfaat validasi instrumen adalah agar hasil penilaian yang diperoleh dari peserta didik menggambarkan kompetensi peserta didik yang sesungguhnya, tidak bias karena instrumen yang digunakan kurang baik.

Fungsi validasi instrumen penilaian adalah agar akuntabilitas instrumen terjaga sehingga hasil belajar peserta didik dapat dipertanggungjawabkan baik kepada pemerintah. Sekolah, orangtua peserta didik, maupun masyarakat.

Cara Memvalidasi Instrumen
Di atas telah dijelaskan pengertian dan jenis validitas dan reliabilitas instrumen. Secara ringkas cara memvalidasi dan mengestimasi reliabilitas instrumen dapat dilihat pada instrumen berikut.

Tabel di atas menunjukkan bahwa untuk mengestimasi validitas dan reliabilitas instrumen di perlukan kerja yang sangat hati-hati,harus diupayakan agar proses dan estimasi ini dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Jadi dalam kegiatan ini, yang harus dilakukan dalam penyusunan instrumen hanya menulis butir-butir instrumen dan menelaah butir. Setelah butir ditulis lalu ditelaah (diusahakan telaah dilakukan oleh orang lain atau bukan penulis butir).

Hal-hal yang harus diperhatikan adalah: (1) butir instrumen harus sesuai indikator, (2)  butir ditulis secara singkat dan jelas, (3) pilihan jawaban yang berbentuk angka atau waktu, sebaiknya diurutkan, (4) dalam satu komponen, setiap butir diberi skor sama (skor sama tidak berarti pilihan jawabannya sama), dan (5) butir ditulis dengan menggunakan bahasa baku. Selain itu, untuk menarik responden agar mau merespon dengan baik maka instrumen sebaiknya : (1) dikemas dalam bentuk yang menarik, misal dalam bentuk buku yang agak kecil, (2) diusahakan jumlah butir untuk  setiap jenis responden tidak terlalu banyak (maksimum 40 butir), dan (3)  diusahakan butir pertanyaan dan jawaban pada halaman yang sama.

Cara lain yang bisa digunakan dalam memvalidasi alat instrumen tes dalam pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan adalah dengan melakukan kalibrasi terhadap peralatan atau instrumen tes yang akan digunakan. Kalibrasi adalah suatu tindakan untuk membandingkan antara nilai yang ditunjukkan oleh suatu alat / instrumen dengan nilai yang telah diketahui dari standarnya atau kalibrator. Kalibrator merupakan alat standard yang mempunyai akurasi yang lebih tinggi dibanding instrument yang dikalibrasi.

Sumber:
Arikunto,S.2002. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Bumi Aksara. Jakarta
Balitbang Depdiknas. (2006). Panduan Penilaian Berbasis Kelas. Jakarta: Depdiknas.
Brookhart Susan M, Nitko J. Anthony. 2007. Educational Assesment of Student. Fifth edition. Meril Prentice Hall. New Jersey
Johson David, W & Johson, Roger T. (2002). Meaningful Assessment 
Ally & Dacon A Pearson Education Company. Arlington Street Boston.
Silverius, S. (2001). Evaluasi Hasil Belajar dan Umpan Balik. Gramedia Widya Sarana. Jakarta.
Sudiyono, A. (1996). Pengantar Evaluasi Pendidikan .PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Sundayana, Rostina. (2013). Statistika Penelitian Pendidikan. STKIP Garut Press: Garut

Model Evaluasi Context, Input, Process, Product (CIPP)

đŸŒº MODEL EVALUASI CIPPđŸŒº đŸ‘‰Evaluasi didefinisikan sebagai Proses Menggambarkan, Mendapatkan, dan Menyediakan Informasi yang Bermanfaat untuk...

OnClickAntiAd-Block