Tuesday, 24 May 2016

DOMAIN KOGNITIF, AFEKTIF, PSIKOMOTORIK

DOMAIN KOGNITIF, AFEKTIF, PSIKOMOTORIK
Menurut Bloom dan Krathwohl dan Bloom dan Maria (dalam Rusman, 2009) domain kognitif, domain afektif dan domain psikomotorik merupakan klasifikasi dari tujuan pembelajaran. Berikut penjelasan mengenai domain kognitif, afektif dan psikomotorik:
      
      1.    DOMAIN KOGNITIF
Domain kognitif yaitu menekankan pada aspek intelektual dan memiliki jenjang dari yang rendah sampai yang tinggi, yaitu (1) Pengetahuan yang menitikberatkan pada aspek ingatan terhadap materi yang telah dipelajari mulai dari fakta sampai teori. (2) Pemahaman, yaitu langkah awal untuk dapat menjelaskan dan menguraikan sebuah konsep atau pengertian. (3) Aplikasi, yaitu kemampuan untuk menggunakan bahan yang telah dipelajari ke dalam situasi yang nyata, meliputi aturan, metode, konsep, prinsip, hukum, dan teori. (4) Analisis, yaitu kemampuan dalam merinci bahan menjadi bagian-bagian supaya strukturnya mudah untuk dimengerti. (5) Sintesis, yaitu kemampuan mengkombinasikan bagian-bagian menjadi suatu keseluruhan baru yang menitikberatkan pada tingkah laku kreatif dengan cara memformulasikan pola dan struktur baru. (6) Evaluasi, yaitu kemampuan dalam mempertimbangkan nilai untuk maksud tertentu berdasarkan kriteria internal dan kriteria eksternal.

      2.    DOMAIN AFEKTIF
Domain afektif yaitu menekankan pada sikap, perasaan, emosi, dan karakteristik moral yang diperlukan untuk kehidupan di masyarakat. Domain afektif memiliki lima tingkatan dari yang rendah sampai pada yang tinggi, yaitu (1) Penerimaan (receiving), misalnya kemampuan siswa untuk mau mendengarkan materi pembelajaran yang disampaikan oleh guru dan media pembelajaran dengan melibatkan perasaan, antusiasme, dan semangat belajar yang tinggi. (2) Responding, yaitu kemampuan siswa untuk memberikan timbal balik positif terhadap lingkungan dalam pembelajaran, misalnya: menanggapi menyimak, bertanya, dan berempati. (3) Penilaian, yaitu penerimaan terhadap nilai-nilai yang ditanamkan dalam pembelajaran, membuat pertimbangan terhadap berbagai nilai-nilai yang ditanamkan dalam pembelajaran, membuat pertimbangan terhadap berbagai nilai untuk diyakini dan diaplikasikan. (4) Pengorganisasian, yaitu kemampuan siswa dalam hal mengorganisasi suatu system nilai, dan (5) Karakterisasi, yaitu pengembangan dan internalisasi dari tingkatan pengorganisasian terhadap representasi kehidupan secara luas.

      3.    DOMAIN PSIKOMOTORIK
Domain Psikomotorik yaitu domain yang menekankan pada gerakan-gerakan fisik. Kecakapan-kecakapan fisik dapat berupa gerakan-gerakan atau keterampilan fisik, baik keterampilan fisik halus maupun kasar.domain ini sering berhubungan dengan mata pelajaran yang lebih menekankan pada gerakan-gerakan atau keterampilan fisik, seperti seni musik, lukis, pahat, dan mata pelajaran olahraga. Domain psikomotorik berhubungan dengan kemampuan skill atau keterampilan seseorang. Ada enam tingkatan dalam domain ini, yaitu persepsi, kesiapan, gerakan terbimbing, gerakan mekanis terpola, gerakan respons kompleks, penyesuaian pola gerakan, dan keterampilan natural.

       Untuk lebih jelasnya klasifikasi tujuan (kognitif, afektif, dan psikomotorik) yang dikemukakan Bloom dan Krathwohl (1956) dan Bloom dan Maria (1964) dapat dilihat pada tabel berikut ini:


DOMAIN KOGNITIF

No.

Kategori

Penjelasan

1

Pengetahuan

Mengingat hal-hal yang spesifik, metode, dan struktur yang sederhana.


2

Pemahaman

Pemahaman tipe yang tidak termasuk kemampuan untuk melihat/memahami, implikasi secara penuh.


3

Aplikasi

Kemampuan untuk menggunakan generalisasi atau aturan dalam situasi tertentu.


4

Analisis

Kemampuan untuk memisahkan/mengurai sebuah sistem hubungan pada susunan yang terorganisasi secara hierarkis dari setiap komponen.


5

Sintesis

Kemampuan untuk menyusun dan mengkombinasikan sejumlah elemen yang tidak terstruktur pada keseluruhan organisasi.


6

Evaluasi

Penilaian terhadap materi, metode, dan lain-lain dengan menggunakan kriteria tertentu.


DOMAIN AFEKTIF

1

Penerimaan

Sensitivitas terhadap fenomena tertentu


2

Responding

Perhatian yang aktif terhadap fenomena, merefleksikan minat tanpa komitmen


3

Penilaian

Persepsi terhadap fenomena, merefleksikan minat tanpa komitmen.


4

Pengorganisasian

Penyusunan nilai pada sistem organisasi.


5

Karakterisasi

Pengembangan dan internalisasi dari tingkatan organisasi terhadap representasi filosofis kehidupan secara luas.


DOMAIN PSIKOMOTORIK

1

Persepsi

Menafsirkan rangsangan, peka terhadap rangsangan, dan mendiskriminasikan.


2

Kesiapan

Melakukan konsentrasi dan menyiapkan diri secara fisik.


3

Peniruan/gerakan terbimbing

Dasar permulaan dari penguasaan keterampilan, peniruan contoh.


4

Gerakan Mekanis

Berketerampilan dan pengulangan kembali urutan fenomena sebagai bagian dari usaha sadar yang berpegang pada pola.


5

Gerakan Respons Kompleks

Berketerampilan secara luwes, supel, lancar, gesit, dan lincah.


6

Penyesuaian Pola Gerakan

Penyempurnaan keterampilan, menyesuaikan diri, melakukan gerakan variasi, meskipun pengembangan berikutnya masih memungkinkan untuk diubah.




Sumber;

Rusman. 2011. Model-Model Pembelajaran; Mengembangkan Profesinalisme Guru. PT Rajagrafindo Persada: Jakarta.

http://e-journal.ikippgrimadiun.ac.id/index.php/JPE/article/viewFile/27/26



Thursday, 19 May 2016

PHYSICAL EDUCATION

DEFINITION OF PHYSICAL EDUCATION


Legal Basis for Physical Education

Physical education is education through physical activity or motion to achieve the goal as a process to develop all aspects of learners who aimed to score Indonesia fully human character, human Indonesia are physically and mentally healthy.

Physical education as an integral part of the educational process as a whole. Gait physical education in working to achieve national education goals, building on Republic Act No. 20 of 2003, article 1, paragraph 1 of the National Education System explained that education is a conscious effort made learners through guidance, instruction, and training for its role in future. Thus the national education system is a unified whole and integrated of all units and educational activities. One national system of educational activities to be performed is the physical education program of exercise and health (physical education) as set forth in Chapter IX Article 39 point 3 k. about the content of physical education curriculum materials research and health, which is one of the educational curriculum of study materials. That means the study of physical education and health sport is a vehicle to achieve educational goals overall in the education system components such as national. With physical education as one of the subsystems of education that must be taught in schools, it is due to have a very important role in the formation of human Indonesia full of character. The impact that will be obtained from the results of these educational activities is of the ability of both physical and mind for man to finish and facing the challenges of life in the present and future.

PHYSICAL EDUCATION

Physical education is a process of education through physical activity to produce a change in totality in self-learners, both in terms of physical, mental, and emotional, and even physical spiritual. Education assigns motion to learners as individuals with a unit that intact between the physical and the spiritual, Therefore, physical education is not only a physical development activity in isolation but must be in the context of general education. Of course, the process is done consciously and systematically involve; interactions between principals to Achieve the goals set.

Apparently, Physical education is a field of study that is quite spacious with a focus on the improvement of human motion. More specifically, Physical education related to the relationship between human movement and other educational regions and the relationship of the development of the body (physical) with the mind and soul. The point on the influence of the physical development of the region's growth and development of other aspects of the human being. That is what makes physical education is something unique and others from other subject areas are concerned with the total development in humans.

But so far, in fact, there are many who think that physical education is the education of the sport, it is based on the confusion in the learning activities that will be discussed more deeply about the meaning of physical education.

Physical education is an important part of the educational process. That is, physical education as a subject not only complementary to the school program makes students busy without direction and purpose. Physical education through well-directed, learners will develop useful skills, engage in physical activities that are conducive to physical fitness, healthy living, social, and mental health. Understanding physical education is often obscured by other concepts, where physical education is equated with any business or activity that leads to the development of the organs of the human body (bodybuilding), physical fitness, physical activities, and the development of skills. Understanding that provides a narrow and misleading sense of actual physical education. Although it is true that physical activity has a specific purpose, because it is not associated with educational objectives, the activities it does not contain the elements of pedagogy. All of the above activities is different from physical education, these activities are mostly just refers to one purpose only, especially the development of the physical, yet covers all aspects such as physical education. Not all physical education teachers aware of this, so many thought that physical education should be conducted by teachers of other subjects. This is reflected from the various negative image of teaching physical education, ranging from the weaknesses of the process, for example, allow learners to play alone up to the low quality of learning outcomes, such as low physical fitness. Among physical education teachers often assumed that the physical education lessons can be held a potluck, so that implementation enough by having the students go to the field, providing footballs for boys and volleyball for women. Teachers just watching on the sidelines.

Why did it happen this way? This weakness stems from the misunderstanding of the concept of physical education teachers' physical education in schools. A physical education teacher should be clear on the definition, principles, functions, and role of physical education really is.

To understand the above you should listen to some of the experts' understanding of physical education as follows;

Ateng (1993) argues that: Physical education is an integral part of the overall education through a variety of physical activities that aim to develop organically, neuromuscular, intellectual, and emotional. Further Freeman (2001: 3) states that: "Physical education uses physical activity to produce holistic improvement in a Pearson's physical, mental, and emotional." That is physical education is an education that uses physical activity to produce the development of the overall learners physically, mentally and emotionally. It also expressed by Mahendra (2003: 4) that: "Physical education is in itself an educational process that utilizes physical activity to produce a holistic change in the quality of the individual, both in terms of physical, mental and emotional." Ridwan (2003) adds that physical education has wider coverage and abstract, the formation of the quality of mind and body, which affects all aspects of a person's daily life.

Fourth opinions mentioned above it can be concluded that Physical Education is a process of education through physical activity, game or sport that is chosen to achieve educational goals. Establishing the notion that physical education is an integral part of general education. The goal is to help students to grow and develop naturally in accordance with national education goals, which form the complete Indonesian man spiritually. So and bodily health, physical education is defined as the process of education through physical activity or sport. Core understanding is to educate students, and that distinguishes it from other subjects is the tool used is a human motion, moving consciously human. The motion was designed consciously by the teacher and given the right circumstances, in order to stimulate the growth and development of learners in totality.

The purpose of physical education is included in the exposure above which gives an opportunity to students to learn a variety of activities that foster and develop the potential of learners, both in terms of physical, mental, social, emotional and moral. On the moral aspect of this as a feature of the implementation of character education in physical education. Sense of the word character can be understood in general that the positive moral qualities (Anwar, 2010 in Mutohir., Et al., 2011: 40). This is reinforced by the Ministry of National Education. 2010 in Mutohir, et al., 2011, that character education should begin at primary school age through to instill the values ​​of character, disposition, and positive moral that aims to nurture kindness and goodness always realize it in everyday life. In physical education teachers must strive to design teaching physical education to instill traits of these characters, according to pillars of character/values ​​namely; honest, respectful, responsible, fair behaved, caring and civilized (Infallible 2010, in Mutohir, et al, 2011).

OBJECTIVES OF PHYSICAL EDUCATION
The mission included in the physical education learning objectives includes the domain of cognitive, affective and psychomotor, as well as physical fitness. The development of knowledge or social characteristics is not just the impact of a companion that accompanies movement skills. That goal should be included in the planning and learning scenario. The same position with the purpose of learning psychomotor domain development and physical fitness.

In this case, to achieve that goal, teachers need to familiarize themselves to teach learners about what will be learned based on an understanding of the principles underlying it. The purpose of physical education is essentially an elaboration of the national education goals as stated in the objectives of the curriculum of physical education in elementary schools in 2006, namely;
  1. Develop self-management skills in the development and maintenance of physical fitness and a healthy lifestyle through sports activities selected. 
  2. Increase physical growth and psychological development better. 
  3. Improving the ability and basic movement skills. 
  4. Laying the foundation of a strong moral character through the internalization of the values ​​embodied in physical education, sports, and health. 
  5. Develop sportsmanship, honesty, discipline, responsibility, cooperation, confidence, and democratic. Develop the skills to maintain the safety of themselves, other people and the environment.
  6. Understanding the concept of physical activity and sport in a clean environment as information to achieve perfect physical growth, healthy lifestyles, and fitness, skilled, and have a positive attitude.
Activities of social interaction that occurs in a didactic role deliberately used to grow a variety of emotional and social awareness of learners of character. Thus students will grow and develop in totality, which will support the achievement of various abilities. Similar opinion was also expressed Barrow in Freeman (2001) that: 

Physical education can be defined as education through human movement, when the purpose of education is achieved through the medium of muscle activity, including sport (sport), games, gymnastics and physical exercise. 

Results to be achieved is a physically educated individuals. This value is one part of the value of an educated individual, and meaningful when it is only concerned with the lives of individuals.

The significance of physical education is education provided through physical activity, but the goal still refers to all aspects of education, including aspects of a psychological (mental growth) and social learners. The hope of learners in the learning process can increase physical activity, it can also develop their mental growth. Thus physical education more meaningful in the life of society as sustainable. So real the values ​​embodied in physical education does not stop after teaching physical education finished, but hopefully always evolving throughout life in the life of society.

The above understanding is also reinforced by James A. Baley and Field in Freeman (2001) that physical education is meant is a physical activity that requires painstaking effort. Furthermore, both experts stated that:

'Physical education is a process of adaptation and learning organically, neuromuscular, intellectual, social, cultural, emotional, and aesthetic resulting from the process of selecting a variety of physical activities.'

The selected physical activity should be adjusted to the objectives to be achieved. Physical activity is selected and done, it must be reasonable activity and not imposed, so that all learners can do it happily, without pressure from teachers, so that all aspects are being targeted in physical education can be achieved.

In addition to the understanding of physical education that have been revealed by the experts above, the basic education curriculum (2003:1) more cemented again on the definition of physical education, namely;

"Physical education is a process of education that utilizes the physical activity that is planned systematically aimed at improving individual organically, neorumuscular, perceptual, cognitive and emotional."

Based on some of the formula above, it can be assessed that physical education is part of the overall education that uses physical activity as learning activities to improve the physical abilities and the values ​​of a function which includes cognitive, affective, psychomotor, mental and social, including lifestyle healthy as well as physical fitness.

Hopefully, through the learning activities organized physical education and sustainable development of the life of learners will be more perfect, not only expand and grow physically but also emotionally and socially will be better because it is able to interact well too. The statement was supported by the opinion of Sukintaka (2004: 21) that physical education is a process of interaction between learners with the environment through physical activity systematically arranged toward the Indonesian people fully.

As one example, when the physical education teacher assigns students to play football, then it will form small groups. In small groups it will be established a strong relationship between the individual, they will work well together in order to achieve a victory. It must be emphasized also that in the game, each individual must be of good sportsmanship, respect for colleagues, opponents and even friends who served as referees.

From the above examples are expected to learners not only have fun but also transform himself mentally, emotionally and intellectually that leads to better personal change. It is an implementation of character education in physical education.

Reference:

Abdul Kadir Ateng. 1993. Pendidikan Olahraga. Jakarta: IKIP Jakarta
Agus Mahendra. 2003. Falsafah Pendidikan Jasmani. Jakarta: Direktorat Pendidikan Luar Biasa
William H. Freeman. 2001. Physical Education and Sport in a Changing Society, 6th Edition. Campbell University

Tuesday, 17 May 2016

SUPERVISI PENJAS; Supervisi Klinis

Konseptual
SUPERVISI PENJAS: Supervisi Klinis
Arham Syahban, S.Pd., M.Pd.

Konsep Dasar Supervisi Klinis
Supervisi klinis, mula-mula diperkenalkan dan dikembangkan oleh Morris L. Cogan, Robert Goldhammer, dan Richart Weller di Universitas Harvard pada akhir dasawarsa 50-an dan awal dasawarsa 60-an. Ada dua asumsi yang mendasari praktek supervisi klinis, yaitu: pertama, pengajaran merupakan aktivitas yang sangat kompleks yang memerlukan pengamatan dan analisis secara hati-hati. Melalui pengamatan dan analisis ini, supervisor akan mudah mengembangkan kemampuan guru mengelola proses pembelajaran. Kedua, guru profesional  yang  ingin  dikembangkan  lebih  menghendaki  cara yang kolegial dari pada cara yang autoritarian.

Konsep dasar supervisi klinis adalah kolegial, kolaboratif, memiliki keterampilan layanan dan perilaku etis. Supervisi klinis merupakan salah satu teknik supervisi tipe demokratik.  Menurut Bolla, supervisi klinis merupakan suatu proses bimbingan kepada guru yang bertujuan untuk membantu pengembangan profesionalnya, khususnya dalam penampilan mengajar, berdasarkan observasi dan analisis data secara teliti dan obyektif.

Pada dasarnya, supervisi klinis merupakan pembinaan performansi guru dalam mengelola proses pembelajaran. Pelaksanaannya didesain dengan praktis dan rasional. Desain maupun pelaksanaannya dilakukan atas dasar analisis data mengenai kegiatan-kegiatan di kelas. Data dan hubungan antara guru dengan supervisor merupakan dasar program prosedur   dan   strategi   pembinaaan   perilaku   mengajar   guru dalam mengembangkan belajar peserta didik. Menurut Cogan aspek supervisi klinis ditekankan pada lima hal, yaitu; proses supervisi klinis, interaksi antara guru dengan murid, performansi guru dalam mengajar,  hubungan guru dengan supervisor, dan analisis data berdasarkan peristiwa aktual di kelas.

Tujuan supervisi klinis adalah untuk membantu memodifikasi pola- pola pembelajaran agar mencapai keefektifan. Sergiovanni menyatakan ada  dua  sasaran  supervisi  klinis,  yaitu;  pertama,  untuk membangun motivasi dan komitmen kerja guru. Kedua, untuk menyediakan pengembangan staf bagi guru. Sedangkan menurut Acheson dan Gall, tujuan supervisi klinis adalah meningkatkan proses pembelajaran yang dikelola guru di kelas. Tujuan ini dirinci ke dalam tujuan yang lebih spesifik, yaitu:
  1. Menyediakan umpan balik yang obyektif terhadap guru, mengenai pengajaran yang dilaksanakan.
  2. Mendiagnosis dan membantu memecahkan masalah-masalah pengajaran.
  3. Membantu guru mengembangkan keterampilannya menggunakan strategi pengajaran.
  4. Mengevaluasi guru untuk kepentingan promosi jabatan dan keputusan lainnya
  5. Membantu guru mengembangkan satu sikap positif terhadap pengembangan profesional yang berkesinambungan.
Dengan demikian, supervisi klinis memiliki pengertian; pertama, supervisi klinis berlangsung dalam bentuk hubungan tatap muka antara supervisor dengan guru. Kedua, tujuan supervisi klinis untuk memperbaiki perilaku guru dalam proses pembelajaran secara intensif, sehingga ia dapat menciptakan keefektifan pembelajaran. Ketiga, kegiatan supervisi klinis ditekankan pada beberapa aspek yang menjadi perhatian guru serta pengamatan kegiatan pembelajaran di kelas. Keempat, kegiatan pengamatan harus dilakukan secara cermat, selektif, obyektif,  dan mendetail. Kelima,  analisis  terhadap  hasil  pengamatan harus dilakukan bersama antara supervisor dan guru, dan kemudian didiskusikan bersama untuk menyepakati rencana kegiatan  tindak lanjut apakah perlu diulang atau diteruskan pada aspek yang lain. Keenam, hubungan antara supervisor dengan guru harus bersifat kolegial bukan autoritarian.

Ciri Khas  Supervisi Klinis 
Supervisi klinis memiliki ciri khas tersendiri yang membedakannya dengan teknik supervisi yang lain. Menurut Pidarta, ciri-ciri supervisi klinis adalah sebagai berikut:
  1. Ada kesepakatan antara supervisor dengan guru yang akan disupervisi tentang aspek perilaku yang akan diperbaiki.
  2. Yang disupervisi atau diperbaiki adalah aspek-aspek perilaku guru dalam proses belajar mengajar yang spesifik, misalnya cara menertibkan kelas, teknik bertanya, teknik mengendalikan kelas dalam metode keterampilan proses, teknik menangani anak yang nakal dan sebagainya.
  3. Memperbaiki aspek perilaku diawali dengan pembuatan hipotesis bersama tentang bentuk perbaikan perilaku atau cara mengajar yang baik. Hipotesis ini bisa diambil dari teori-teori dalam proses belajar mengajar. 
  4. Hipotesis di atas diuji dengan data hasil pengamatan supervisor tentang aspek perilaku guru yang akan diperbaiki ketika sedang mengajar. Hipotesis ini mungkin diterima, ditolak atau direvisi.
  5. Ada unsur pemberian penguatan terhadap perilaku guru terutama yang sudah berhasil diperbaiki. Agar muncul kesadaran betapa pentingnya bekerja dengan baik serta dilakukan secara berkelanjutan.
  6. Ada prinsip kerja sama antara supervisor dengan guru melalui dasar saling mempercayai dan sama-sama bertanggung jawab.
  7. Supervisi dilakukan secara kontinyu, artinya aspek-aspek perilaku itu satu persatu diperbaiki sampai guru itu bisa bekerja  dengan  baik, atau kebaikan bekerja guru itu dipelihara agar tidak menjadi jelek.
Proses Supervisi Klinis
Konsep supervisi klinis sebagai satu teknik pendekatan dalam mengembangkan pembelajaran guru merupakan suatu pola yang didasarkan pada asumsi dasar bahwa proses belajar guru untuk berkembang dalam jabatannya tidak dapat dipisahkan dari proses belajar yang dilakukan guru tersebut. Belajar bersifat individual, oleh karena itu, proses sosialisasi harus dilakukan dengan membantu guru secara tatap muka dan individual. Supervisi klinis sebagai suatu teknik memiliki langkah-langkah tertentu yang perlu  mendapat  perhatian untuk mengembangkan profesionalitas guru.

Menurut Cogan, ada delapan kegiatan dalam supervisi klinis yang dinamainya dengan siklus atau proses supervisi klinis. Delapan tahap tersebut mencakup tahap membangun dan memantapkan hubungan  guru   dengan   supervisor,   tahap   perencanaan   bersama   guru, tahap perencanaan strategi observasi, tahap observasi pengajaran, tahap analisis proses belajar mengajar, tahap perencanaan strategi pertemuan, tahap pertemuan, dan tahap penjajakan rencana pertemuan  berikutnya.

Menurut Mosher dan Purpel, ada tiga aktivitas dalam proses supervisi klinis, yaitu tahap perencanaan, tahap observasi, dan tahap evaluasi dan analisis.  Sedangkan menurut Oliva, ada tiga aktivitas esensial dalam proses supervisi klinis, yaitu kontak dan komunikasi dengan guru untuk merencanakan observasi kelas, observasi kelas, dan tindak lanjut observasi kelas. Senada dengan pendapat di atas, Pidarta mengemukakan bahwa ada tiga langkah supervisi klinis, yaitu melakukan perencanaan secara mendetail  termasuk   membuat   hipotesis,   melaksanakan pengamatan. Pengertian siklus mengandung dua pengertian; pertama, prosedur supervisi klinis terdiri dari sejumlah tahapan yang merupakan proses yang berkesinambungan. Kedua, hasil pertemuan tahap akhir menjadi masukan untuk tahap pertama pada proses berikutnya. secara cermat, dan menganalisis hasil pengamatan serta memberikan umpan balik.

Dengan demikian, walaupun deskripsi pandangan para ahli di atas tentang langkah-langkah proses supervisi klinis berbeda, namun sebenarnya langkah-langkah itu bisa disarikan pada tiga tahap esensial yang berbentuk proses, yaitu proses pertemuan awal atau perencanaan, proses pelaksanakan pengamatan/observasi pembelajaran  secara cermat, serta proses menganalisis hasil pengamatan dan memberikan umpan balik.

Berikut akan dikemukakan secara lebih rinci dari ketiga tahap tersebut: 
  • Proses pertemuan awal atau perencanaan
Menurut Pidarta, langkah dalam pertemuan awal atau perencanaan ini meliputi kegiatan: 1). Menciptakan hubungan yang baik dengan cara menjelaskan makna supervisi klinis sehingga partisipasi guru meningkat, 2). Menemukan aspek-aspek perilaku apa dalam proses belajar mengajar yang perlu diperbaiki, 3). Membuat  prioritas aspek-aspek  perilaku  yang  akan diperbaiki, 4). Membuat hipotesis sebagai cara atau bentuk perbaikan pada sub topik bahan pelajaran tertentu.
Pertemuan awal dimaksudkan  untuk  mengembangkan bersama  antara  supervisor  dengan  guru  tentang  kerangka   kerja pengamatan kelas yang akan dilakukan. Hasil akhir pertemuan ini adalah kesepakatan (contract) kerja antara supervisor dengan guru. Tujuan ini bisa dicapai apabila dalam pertemuan awal ini tercipta kerja sama, hubungan kemanusiaan dan komunikasi yang baik antara supervisor dengan guru. Selanjutnya kualitas hubungan yang baik antara supervisor dengan guru memiliki pengaruh signifikan terhadap kesuksesan proses berikutnya dalam kegiatan model supervisi klinis. Oleh sebab itu, para ahli banyak menyarankan agar pertemuan awal ini dilaksanakan secara rileks dan terbuka. Perlu sekali diciptakan kepercayaan guru terhadap supervisor, sebab kepercayaan guru akan mempengaruhi keefektifan pelaksanaan pertemuan awal ini. Kepercayaan berkenaan  dengan  keyakinan guru bahwa supervisor memperhatikan potensi, keinginan, kebutuhan, dan kemauan guru.
Pertemuan awal tidak membutuhkan waktu yang lama, supervisor bisa menggunakan waktu 20 sampai 30 menit, kecuali jika guru mempunyai permasalahan khusus yang membutuhkan diskusi panjang. Pertemuan ini sebaiknya dilaksanakan di satu  ruang yang netral, misalnya kafetaria, atau bisa juga di kelas. Pertemuan di ruang supervisor atau kepala sekolah kemungkinan akan membuat guru menjadi tidak bebas.
Secara teknis, ada beberapa kegiatan yang harus dilaksanakan dalam pertemuan awal ini, yaitu; menciptakan suasana yang akrab dan terbuka, mengidentifikasi aspek-aspek yang akan dikembangkan guru dalam kegiatan pembelajaran, menerjemahkan perhatian guru ke dalam tingkah laku yang bisa diamati, mengidentifikasi prosedur untuk memperbaiki pembelajaran guru, membantu guru memperbaiki tujuannya sendiri, menetapkan waktu pengamatan pembelajaran di kelas, menyeleksi instrumen pengamatan pembelajaran di kelas, dan memperjelas konteks pembelajaran dengan melihat data yang akan direkam.
Goldhammer, mendeskripsikan satu agenda yang harus dihasilkan pada akhir pertemuan awal ini, yaitu:
  1. Menetapkan kontrak atau perjanjian antara supervisor dengan guru tentang hal yang akan diobservasi, meliputi: a). Tujuan instruksional umum dan khusus pengajaran; b). Hubungan tujuan pengajaran dengan keseluruhan program  pengajaran yang diimplementasikan; c). Aktivitas yang akan  diobservasi; d). Kemungkinan perubahan format aktivitas, sistem, dan unsur- unsur lain berdasarkan persetujuan interaktif antara supervisor dengan guru; e). Deskripsi spesifik butir-butir atau masalah- masalah yang balikannya diinginkan guru.
  2. Menetapkan mekanisme atau aturan-aturan observasi, meliputi waktu (jadwal) observasi, lamanya observasi, dan tempat observasi.
  3. Menetapkan rencana spesifik untuk melaksanakan observasi, meliputi: (a). Di mana supervisor akan duduk selama  observasi?; (b). Akankah supervisor menjelaskan kepada murid-murid mengenai tujuan observasinya?. Jika demikian, kapan? Sebelum ataukah setelah pelajaran?; (c). Akankah supervisor mencari satu tindakan khusus?; (d). Akankah supervisor berinteraksi dengan murid-murid?; (e).Perlukah adanya material atau persiapan khusus?; (f). Bagaimanakah supervisor akan mengakhiri observasi?
  • Proses Melaksanakan Pengamatan
Menurut Pidarta, proses melaksanakan pengamatan ada dua kegiatan yaitu guru mengajar dengan tekanan khusus pada aspek perilaku yang diperbaiki, dan supervisor mengobservasi. Proses melaksanakan pengamatan secara cermat, sistematis, dan obyektif merupakan proses kedua dalam proses supervisi klinis. Perhatian observasi ini ditujukan pada guru dalam bertindak dan kegiatan- kegiatan kelas sebagai hasil tindakan guru. Waktu dan tempat pengamatan pembelajaran ini sesuai dengan kesepakatan bersama antara supervisor dengan guru pada waktu mengadakan   pertemuan awal.
Melaksanakan pengamatan pembelajaran secara cermat, mungkin akan terasa sangat kompleks dan sulit, dan tidak jarang adanya supervisor yang mengalami kesulitan. Dengan demikian, menuntut supervisor untuk menggunakan berbagai macam keterampilan. Terdapat dua aspek yang harus diputuskan dan dilaksanakan oleh supervisor sebelum dan sesudah melaksanakan pengamatan pembelajaran, yaitu menentukan aspek yang akan diamati dan cara mengamatinya. Mengenai aspek yang akan  diamati harus sesuai dengan hasil diskusi bersama antara supervisor dengan guru pada waktu pertemuan awal.
Adapun mengenai bagaimana mengamati juga perlu mendapatkan perhatian. Maksud baik supervisor akan tidak berarti, apabila usaha-usaha kegiatan pengamatan tidak memperoleh data yang seharusnya diperoleh. Tujuan utama pengumpulan data adalah untuk memperoleh informasi yang sebenarnya, yang akan digunakan untuk bertukar pikiran dengan guru setelah kegiatan pengamatan berakhir, sehingga guru bisa menganalisis secara cermat aktivitas-aktivitas yang telah dilakukannya di kelas. Di sinilah letak pentingnya teknik dan instrument pengamatan yang bisa digunakan untuk mengamati guru mengelola proses pembelajaran.
Berkaitan dengan teknik dan instrumen pengamatan ini, sebenarnya para peneliti telah banyak mengembangkan bermacam-macam teknik yang bisa digunakan dalam mengamati kegiatan pembelajaran. Acheson dan Gall, mereview beberapa teknik dan menganjurkan supervisor untuk menggunakannya dalam proses supervisi klinis sebagai berikut:
  1. Selective Verbatim. Pada teknik ini, supervisor membuat semacam rekaman tertulis. Tentunya tidak semua kejadian verbal harus direkam, tetapi sesuai dengan kesepakatan bersama antara supervisor dengan guru pada pertemuan awal. Hanya kejadian tertentu yang harus direkam secara selektif. Transkip ini bisa ditulis langsung berdasarkan pengamatan dan bisa juga menyalin dari apa yang direkam terlebih dahulu melalui tape recorder.
  2. Rekaman observasional berupa a seating chart. Supervisor mendokumentasikan perilaku murid, bagaimana ia berinteraksi dengan seorang guru selama pembelajaran berlangsung. Seluruh kompleksitas perilaku dan interaksi dideskripsikan secara bergambar. Melalui penggunaan a seating chart ini, supervisor bisa mendokumentasikan secara grafis interaksi guru dengan murid, murid dengan murid, sehingga dengan mudah diketahui apakah guru hanya berinteraksi dengan semua murid atau hanya dengan sebagian murid yang terlibat dalam proses pembelajaran.
  3. Wide-lens techniques. Supervisor membuat catatan yang lengkap mengenai kejadian-kejadian di kelas dan cerita yang panjang lebar. Teknik ini bisa juga disebut dengan anecdotal record.
  4. Checklists and time line coding. Supervisor mengamati dan mengumpulkan data perilaku pembelajaran yang sebelumnya telah diklasifikasi atau dikatagorisasikan. Contoh yang paling baik dalam kegiatan pengamatan dengan model supervisi klinis adalah skala analisis interaksi. Flanders berpendapat bahwa dalam analisis ini, aktivitas kelas diklasifikasikan menjadi tiga kategori besar, yaitu; pembicaraan guru, pembicaraan murid, dan tidak ada pembicaraan (silence).
  • Proses menganalisis hasil pengamatan dan memberikan umpan balik 
Menurut  Pidarta,  pada  tahap  menganalisis  hasil pengamatan dan memberikan umpan balik diarahkan pada menganalisis hasil mengajar secara terpisah dan pertemuan akhir seperti: 
  1. Guru memberi tanggapan/penjelasan/pengakuan, 
  2. Supervisor memberi tanggapan/ulasan, 
  3. Menyimpulkan bersama hasil yang telah dicapai;hipotesis diterima, ditolak, atau direvisi, 
  4. menentukan rencana berikutnya: mengulangi memperbaiki aspek tadi, dan atau meneruskan untuk memperbaiki aspek aspek yang lain.
Pertemuan balikan ini dilakukan segera setelah melaksanakan pengamatan pembelajaran, dengan terlebih dahulu dilakukan analisis terhadaph hasil pengamatan. Tujuan utama menganalisis hasil pengamatan dan memberikan umpan balik adalah menindaklanjuti apa yang dilihat oleh supervisor sebagai pengamat terhadap proses pembelajaran. Pembicaraan dalam menganalisis hasil pengamatan dan memberikan umpan balik ini adalah ditekankan pada identifikasi serta analisis persamaan dan perbedaan antara perilaku guru dan peserta didik yang direncanakan dengan perilaku aktual guru dan peserta didik, serta membuat keputusan tentang apa dan bagaimana yang seharusnya dilakukan berhubungan dengan perbedaan yang ada.
Proses ini merupakan proses yang penting untuk mengembangkan perilaku guru dengan cara memberikan balikan tertentu. Balikan ini harus deskriptif, spesifik, konkrit, bersifat memotivasi, aktual, dan akurat, sehingga benar-benar bermanfaat bagi guru. Paling tidak ada lima manfaat pertemuan balikan bagi guru, yaitu: 
  1. Guru bisa diberi penguatan dan kepuasan sehingga bisa termotivasi dalam kerjanya, 
  2. Isu-isu dalam pengajaran bisa didefinisikan bersama supervisor dan guru dengan tepat, 
  3. Supervisor bila mungkin dan perlu bisa berupaya mengintervensi secara langsung guru untuk memberikan bantuan didaktis dan bimbingan, 
  4. Guru bisa dilatih dengan teknik ini untuk melakukan supervisi terhadap dirinya sendiri, dan 
  5. Guru bisa diberi pengetahuan    tambahan    untuk    meningkatkan    tingkat  analisis profesional diri pada masa yang akan datang.
Sebelum mengadakan pertemuan balikan ini, supervisor terlebih dahulu diharuskan menganalisis hasil pengamatan dan merencanakan apa yang akan dibicarakan dengan guru. Begitu pula guru diharapkan menilai dirinya sendiri. Dalam pertemuan balikan ini sangat diperlukan adanya keterbukaan antara supervisor dengan guru.
Maka dari itu, supervisor sebaiknya menanamkan kepercayaan pada diri guru bahwa pertemuan balikan ini bukan untuk menyalahkan guru, melainkan untuk memberikan masukan balikan. Pertama kali yang harus dilakukan oleh supervisor dalam setiap pertemuan balikan adalah memberikan penguatan (reinforcment) terhadap guru. Kemudian dilanjutkan dengan analisis bersama terhadap setiap aspek pembelajaran yang menjadi perhatian dalam kegiatan supervisi klinis. Ada beberapa langkah penting yang harus dilakukan selama pertemuan balikan ini, yaitu:
  1. Menanyakan perasaan guru secara umum atau kesannya terhadap pengajaran yang dilakukan, kemudian supervisor berusaha memberikan penguatan (reinforcement).
  2. Menganalisis pencapaian tujuan pengajaran. Supervisor bersama guru mengidentifikasi perbedaan antara tujuan pengajaran yang direncanakan dengan tujuan pengajaran yang dicapai.
  3. Menganalisis target keterampilan dan perhatian utama guru. Supervisor bersama guru mengidentifikasi target keterampilan dan perhatian utama yang telah dicapai dan yang belum dicapai.
  4. Supervisor menanyakan perasaannya setelah menganalisis target keterampilan dan perhatian utamanya.
  5. Menyimpulkan hasil dari apa yang telah diperolehnya selama proses supervisi klinis. Supervisor memberikan kesempatan kepada guru untuk menyimpulkan target keterampilan dan perhatian utamanya yang telah dicapai selama proses supervisi klinis.
  6. Mendorong guru untuk merencanakan latihan-latihan sekaligus menetapkan rencana berikutnya.
Dalam pelaksanaan supervisi klinis sangat diperlukan iklim kerja yang baik dalam pertemuan awal atau perencanaan, melaksanakan pengamatan pembelajaran secara cermat, maupun dalam menganalisis hasil pengamatan dan memberikan umpan balik. Faktor yang sangat menentukan keberhasilan supervisi klinis adalah kepercayaan pada  guru bahwa tugas supervisor semata-mata untuk membantu mengembangkan pembelajaran guru. Upaya memperoleh kepercayaan guru ini memerlukan satu iklim kerja yang kolegial.


Orientasi Perilaku Supervisi Klinis

Dalam proses supervisi klinis, perilaku supervisor menentukan keberhasilannya dalam membantu mengembangkan guru. Menurut Glickman, perilaku supervisor dalam supervisi klinis meliputi: mendengarkan, mengklarifikasi, mendorong, mempresentasikan, memecahkan masalah, bernegosiasi, mendemonstrasikan, memastikan, standardisasi, dan menguatkan. Sedangkan orientasi perilaku supervisi klinis terdiri atas:
  • Orientasi Langsung
Supervisi klinis berorientasi langsung akan mencakup perilaku- perilaku pokok, berupa klarifikasi, presentasi, demonstrasi, penegasan, standardisasi, dan penguatan. Hasil akhir dari perilaku supervisi ini adalah tugas bagi guru yang harus dikerjakan dalam satu periode waktu tertentu. Asumsi yang mendasari orientasi ini sama halnya dengan asumsi dasar psikologi perilaku, bahwa mengajar itu pada dasarnya merupakan penkondisian individu melalui lingkungannya. 
Apabila supervisor menggunakan orientasi ini, maka bentuk aplikasinya dalam proses supervisi klinis adalah: pertama, pada saat pertemuan awal, supervisor mengklarifikasi masalah- masalah yang dihadapi oleh guru dan barangkali sambil bertanya kepada guru yang bersangkutan untuk melakukan konfirmasi dan revisi seperlunya. Pada saat itu pula supervisor mempresentasikan ide-idenya mengenai informasi atau data apa saja yang dikumpulkan. Kedua, melaksanakan pengamatan kelas secara cermat. Peran supervisor adalah sebagai pengamat untuk mengetahui kondisi sebenarnya dan bagaimana seharusnya dipecahkan. Ketiga, pada pertemuan balikan, setelah data dikumpulkan dan dianalisis, supervisor menegaskan dan mendemonstrasikan tindakan-tindakan pembelajaran yang mungkin bisa dilakukan oleh guru. Pada saat itu pula, supervisor menetapkan standard pencapaian serta penguatan baik dalam bentuk insentif material maupun sosial.
  • Orientasi Kolaboratif
Supervisi klinis yang berorientasi kolaboratif mencakup perilaku pokok, berupa mendengarkan, mempresentasikan, pemecahan masalah, dan   negosiasi. Hasil akhir dari perilaku supervisi ini adalah kontrak kerja antara supervisor dengan guru. Asumsi yang mendasari orientasi supervisi ini adalah sama halnya dengan asumsi yang mendasari psikologi kognitif, bahwa belajar itu merupakan hasil perpaduan antara perilaku individu dengan lingkungan luarnya. Apabila supervisor akan menggunakan orientasi kolaboratif ini, maka bentuk aplikasinya dalam proses supervisi klinis meliputi kegiatan: 
Pertemuan awal atau perencanaan
Pada pertemuan ini, supervisor mendengarkan apa yang dikeluhkan oleh guru, sehingga ia benar-benar memahami masalah-masalah yang dihadapi guru. Setelah itu, supervisor bersama guru mengadakan negosiasi untuk menetapkan kapan supervisor melakukan observasi kelas.
Melaksanakan pengamatan 
Setelah pertemuan awal, dilanjutkan dengan observasi kelas. Pada waktu observasi ini, supervisor dengan menggunakan instrumen tertentu mengamati pembelajaran guru dan aktivitas peserta didik. Kemudian hasil pengamatan tersebut dianalisis, dengan menyiapkan beberapa pertanyaaan untuk mengarahkan pemahaman guru terhadap masalah yang dihadapinya.
Menganalisis hasil pengamatan dan memberikan umpan balik Pada tahap ini supervisor mengajukan beberapa pertanyaan  yang telah dibuat sebelumnya. Guru menjawab pertanyaan- pertanyaan yang diajukan oleh supervisor. Kemudian supervisor bersama guru mulai memecahkan masalah. Dalam pemecahan masalah ini, sebaiknya antara supervisor dengan guru berpisah, sehingga masing-masing pihak bisa mengidentifikasi alternatif pemecahan masalah menurut pikiran masing-masing pihak. Kemudian pada hari berikutnya, kedua belah pihak berkumpul kembali untuk saling membahas alternative pemecahan yang telah dibuatnya. Artinya, supervisor bersama guru menentukan alternative pemecahan terbaik dan membagi tugas untuk mengimplementasikannya.
  • Orientasi Tidak Langsung
Asumsi yang mendasari orientasi ini adalah sama halnya  dengan asumsi yang mendasari psikologi humanistik yang menyatakan bahwa belajar merupakan hasil keinginan individu untuk menemukan rasionalitas dan dasar-dasar dalam dunia ini. Premis mayor yang mendasari orientasi ini adalah bahwa guru mampu menganalisis dan memecahkan masalahnya sendiri dalam proses pembelajaran. Peran supervisor hanya sebagai seorang fasilitator dengan sedikit memberikan pengarahan kepada guru.
Perilaku supervisi yang berorientasi tidak langsung akan mencakup berupa kegiatan mendengarkan, mengklarifikasi, mendorong, mempresentasikan, dan bernegosiasi. Hasil akhir dari supervisi ini adalah rencana guru sendiri (teacher  self-plan). Apabila supervisor akan menggunakan orientasi tidak langsung dalam melaksanakan supervisi, maka bentuk aplikasinya dalam proses supervisi klinis meliputi kegiatan:
Pertemuan awal atau perencanaan
Dalam pertemuan awal ini supervisor mendengarkan keluhan- keluhan guru. Kemudian supervisor bertanya kepada guru perlu tidaknya diadakan pengamatan kelas pada saat guru mengajar. Apabila tidak diperlukan oleh guru berarti tidak ada masalah serius yang dihadapi guru. Sebaliknya apabila guru meminta supervisor mengamati kelas, maka dilanjutkan dengan mengamati kelas, ketika proses pembelajaran berlangsung.
Melaksanakan pengamatan
Supervisor memasuki kelas untuk mengamati pengajaran guru. Supervisor mengamati bagaimana guru mengajar, bagaimana peserta didik belajar, mendengarkan penjelasan, berdiskusi, dan sebagainya. Setelah itu, semua hasil pengamatan dianalisis dan diinterpretasikan. Apabila dianggap perlu, supervisor menyusun pertanyaan untuk mengklarifikasi hasil-hasil pengamatannya untuk membantu mengarahkan guru memahami kekurangan dan masalahnya sendiri. 
Menganalisis hasil pengamatan dan memberikan umpan balik.
Setelah selesai menganalisis dan menginterpretasikan, supervisor  bersama  guru  mengadakan  pertemuan  akhir. Pada saat inilah diidentifikasi kembali tindakan-tindakan yang dilakukan guru di kelas, serta membantu guru memahami kekurangannya sendiri. Kemudian supervisor bertanya kepada guru tentang banyak hal yang menurut guru bisa dilakukan untuk memecahkan beberapa kekurangannya.

Saturday, 14 May 2016

MODIFIKASI OLAHRAGA PENJAS

Kehadiran modifikasi olahraga dalam pendidikan jasmani salah satunya adalah akibat banyak dari guru pendidikan jasmani yang mengeluhkan kekurangan peralatan dan fasilitas untuk proses pembelajaran penjasorkes. Minimnya sarana dan prasarana pendidikan jasmani yang dimiliki sekolah-sekolah ini ditandai dengan ketiadaan lapangan di halaman sekolah, peralatan olahraga untuk pembelajaran yang serba minim, dan rasio sarana-prasarana dengan anak didik yang terlalu besar. Oleh karenanya. Guru pendidikan jasmani, dituntut untuk dapat mengatasi kendala ini dengan kreatifitas dan fleksibilitas yaitu dengan cara memodifikasi dalam proses pembelajaran Penjas.

A. PENGERTIAN MODIFIKASI

Arti modifikasi secara umum adalah mengubah atau menyesuaikan. Modifikasi adalah cara merubah bentuk barang dari yang kurang menarik menjadi lebih menarik tanpa menghilangkan fungsi aslinya, serta menampilkan bentuk yang lebih bagus dari aslinya.

Mengenai pengertian modifikasi, Bahagia (2010:13), mengemukakan bahwa: modifikasi dapat diartikan sebagai upaya melakukan perubahan dengan penyesuaian-penyesuaian baik dalam segi fisik material (fasilitas dan perlengkapan) maupun dalam tujuan dan cara (metoda, gaya, pendekatan, aturan serta penilaian).

Apabila modifikasi dikaitkan dengan pembelajaran pendidikan jasmani mempunyai makna yang cukup luas, baik modifikasi dalam bentuk benda atau kecakapan yang dimiliki peserta didik. Pelaksanaan modifikasi sangat diperlukan bagi setiap guru sebagai salah satu alternative atau solusi mengatasi permasalahan yang terjadi dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani.

B. TUJUAN MODIFIKASI

Lutan (1988) menyatakan bahwa: modifikasi dalam mata pelajaran pendidikan jasmani diperlukan, dengan tujuan agar:
  • Anak didik memperoleh kepuasan dalam mengikuti pelajaran.
  • Meningkatkan kemungkinan keberhasilan dalam berpartisipasi.
  • Anak didik dapat melakukan pola gerak secara benar.
Dari pendapat tersebut dapat diartikan bahwa pendekatan modifikasi dapat digunakan sebagai suatu alternatif dalam pembelajaran pendidikan jasmani, oleh karenanya pendekatan ini mempertimbangkan tahap-tahap perkembangan dan karakteristik anak, sehingga anak akan mengikuti pelajaran pendidikan jasmani dengan senang dan gembira. Pendekatan modifikasi ini dimaksudkan agar materi yang ada dalam kurikulum dapat disajikan sesuai dengan tahap-tahap perkembangan kognitif, afektif dan psikomotorik anak.

C. MODIFIKASI PENDIDIKAN JASMANI

1). Modifikasi Kondisi Lingkungan Pembelajaran

Modifikasi pembelajaran dapat diartikan dengan kondisi lingkungan yang pembelajarannya. Modifikasi lingkungan pembelajaran ini dapat diklasifikasikan seperti yang diuraikan di bawah ini.
  • Peralatan
Guru pendidikan jasmani dapat mengurangi dan menambahkan tingkat kompleksitas dan kesulitan tugas ajar dengan cara memodifikasi peralatan yang digunakan untuk melakukan keterampilanm itu, misalnya, berat ringannya, besar kecilnya, tinggi rendahnya, panjang pendeknya peralatan yang digunakan.
  • Penataan ruang gerak dalam berlatih
Guru pendidikan jasmani dapat mengurangi dan menambahkan tingkat kompleksitas dan kesulitan tugas ajar dengan cara menata ruang gerak peserta  didik dalam berlatih. Misalnya, Dribling, passing bawah, atau lempar tangkap di tempat, bermain di ruang kecil atau besar.
  • Jumlah anak didik yang terlibat
Guru dapat mengurangi atau menambahkan tingkat kompleksitas dan kesulitan tugas ajar dengan cara mengurangi atau menambahkan jumlah anak didik yang terlibat dalam melakukan tugas ajar. Misalnya: belajar passing sendiri, berpasangan, bertiga, berempat, dst.
  • Organisasi dan formasi berlatih
Formasi belajar juga perlu dimodifikasikan agar lebih berorientasi pada curahan waktu aktif belajar. Usahakan agar informasi formasi tidak banyak menyita waktu, namun masih tetap memperhatikan produktifitas belajar dan tingkat perkembangan belajar anak didiknya. Formasi formal, kalau belum dikenal peserta didik, biasanyanya cukup banyak menyita waktu sehingga waktu aktif belajarnya berkurang. Formasi berlatuh ini sangat banyak ragamnya tergantung kreatifitas guru.
2) Modifikasi Evaluasi Pembelajaran

Evaluasi materi maksudnya adalah penyusunan aktifitas belajar yang terfokus pada evaluasi keterampilan yang sudah di pelajari peserta didik pada berbagai situasi. Aktifitas evaluasi dapat merubah fokus perhatian peserta didik dari bagaimana seharusnya suatu keterampilanm dilakukan menjadi bagaimana keterampilanm itu digunakan atau apa tujuan keterampilan itu. Oleh karena itu, guru pendidikan jasmani harus pandai-pandai menentukan modifikasi evaluasi yang sesuai dengan keperluannya. Modifikasi evaluasi, terutama yang lebih berorientasi pada hasil dapat meningkatkan penampilan peserta didik yang sudah memiliki keterampilanm dan percaya diri yang memadai. Sebaliknya dapat merusak keterampilan peserrta didik yang belum meraih kemampuan dan percaya diri yang memadai. Untuk itu, bentuk modifikasi evaluasi harus betul-betul singkron dengan tujuan dan aktifitas belajarnya.

Ada beberapa bentuk modifikasi evaluasi yang Anda bisa lakukan di sekolah tempat Anda mengajar, seperti berikut ini:
  • Self-Testing (Individu atau Berpasangan)
Pada bentuk ini peserta didik di dorong untuk mengetes secara individu atau berpasangan tentang penguasaan materi yang sudah dipelajarinya, misalnya:
  1. Lakukanlah beberapa kali, peserta didik dapat melakukan lempar tangkap tanpa jatuh terdahulu ke tanah (bolabasket).
  2. Lakuakanlah beberapa kali, peserta didik dapat melakukan dribling sambil memejamkan mata (bolabasket).
  • Self Testing (Kelompok/Grup)
Pada bentuk ini peserta didik didorong untuk mengetes secara kelompok tentang penguasaan materi yang sudah dipelajarinya, misalnya:
  1. Lakukanlah beberpa lama kelompok peserta didik dapat melakukan pas bawah tanpa jatuh terlebih adahulu ke tanah.
  2. Seberapa jauh kelompok peserta didik dapat melakuakan pas bawah bersambung tanpa jatuh ke tanah.
  • Pertandingan
Pada bentuk ini peserta didik didorong untuk mengetes penguasan materi yang sudah dipelajarinya, misalnya:
  1. Lakukanlah, beberapa lama kelompok peserta didik dapat melakukan pas bawah tanpa jatuh terlebih dulu ke tanah (bolavoli).
  2. Seberapa jauh kelompok peserta didik dapat melakukan pas bawah bersambung tanpa jatuh ke lantai (bolavoli).
  3. Lakukanlah dribling satu lawan satu (bolabasket).
  4. Lakukan sepak bola 3 lawan 3 (sepakbola).
Sumber:
  • Belka, David E., (1994). Teaching Children Games: Becoming a Master Teacher, Illinois: Human Kinetics, Champaign.
  • Gallahue, David L., (1982). Developmental Movement Experiences for Children. New York: John Wiley & Sons.
  • Graham, G., (1992). Teaching Children Physical Education: Becoming a Master Teacher: Illinois: Human Kinetics, Champaign.
  • Graham, G., dkk., (1993). “Children Moving: A Reflective Approach to Teaching Physical Education”. Toronto: Third Edition, Mayfield Publishing Company.
  • Haywood, Kathleen M., (1993). Life Span Motor Development. Illinois: Second Edition, Human Kinetics Publisher, Champaign.
  • Rink, Judith E., (1993). Teaching Physical Education For Learning. St. Louis: Second Edition, Mosby.
  • Sarumpaet, A., dkk.,(1992). Permainan Besar. Jakarta: Depdiknas Ditjen Dikti, Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan 1992.
  • Yoyo Bahagia, Adang Suherman. (2000). Prinsip-prinsip Pengembangan dan Modifikasi Cabang Olahraga, Jakarta: Depdiknas, Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah Bagian Proyek Penataran Guru SLTP Setara D-III Tahun 2000.

Saat jadi Guru Honorer Penjas di SD Negeri Aroeppala  Makassar (2010-2014)

Model Evaluasi Context, Input, Process, Product (CIPP)

đŸŒº MODEL EVALUASI CIPPđŸŒº đŸ‘‰Evaluasi didefinisikan sebagai Proses Menggambarkan, Mendapatkan, dan Menyediakan Informasi yang Bermanfaat untuk...

OnClickAntiAd-Block