Wednesday, 13 May 2020

THE CHALLENGES OF PHYSICAL EDUCATION TEACHERS IN COVID-19 EMERGENCY

THE CHALLENGES OF PHYSICAL EDUCATION TEACHERS IN COVID-19 EMERGENCY

arham syahban

ARHAM SYAHBAN

Doctoral Candidate PPs Jakarta State University
LPDP BUDI-DN 2019 Awardee
Lecturer of STKIP Paris Barantai Kotabaru

The implementation of physical distancing during the corona period has an impact on the process of teaching physical education at every level of education in Indonesia. Physical education teachers at all levels of formal education must now carry out WFH (work from home) in carrying out the teaching process to suppress the spread of Covid-19 so as not to become more widespread in the country.

The Minister of Education and Culture's suggestion, Nadiem Anwar Makarim said that for regions that have learned from home, it is certain that the teacher also teaches from home because teacher safety is very important. Implementation of WFH (work from home) becomes a challenge for Physical Education teachers to continue to carry out the process of teaching physical education by Distance Learning (distance learning) / distance learning in a time we never imagined before.

The Mendikbud Directives which emphasize online are carried out to provide meaningful learning experiences for students, without being burdened with the demands of completing all curriculum achievements for grade and graduation. Related to this, Physical Education teachers who normally carry out the teaching process in the outdoor and indoor fields at school, must now quickly adapt to the process of teaching physical education through distance learning online systems from home.

Some time ago I had a discussion with several Physical Education teachers using the Zoom Meeting application related to what was their obstacle in the teaching process in distance learning that they had carried out so far. As a result, some physical education teachers get some obstacles in the distance learning process that they carry out.

Common obstacles faced by Physical Education teachers in implementing this distance learning include; (1) electronic teaching media facilities (computers, laptops, android mobiles, etc.), not all physical teachers have, (2) it cannot be denied that there are also physical education teachers who cannot use electronic teaching media in the form of hardware and software properly (3) limited internet access in each Physical Education area is domiciled (4) So far Physical Education teachers are also confused about choosing and utilizing technology or online learning platforms that can meet the teaching of physical education.

Not only that, but physical education teachers must also ensure the physical education teaching process using Distance Learning (PJJ) which is implemented is able to improve motor skills and functional values that include cognitive, affective, and social aspects. The subject matter must be carefully arranged so that the learning experience of physical education can satisfy the developmental needs of students' movements.

In responding to this challenge, it is important to note that the scope of physical education is very broad, enabling physical education to be carried out anywhere, meaning that it is not limited to adequate space or infrastructure. Anyone can get involved in participating in providing physical education. Parents at home, for example, can provide instructions on how to hold badminton rackets properly.

In distance learning the Physical Education teacher functions as a director of learning who does more management tasks than deepening the material. The responsibility of physical education teachers is very large in fulfilling their teaching duties so that the goals and objectives of physical education which are supporting national education goals can be achieved.

The challenges of physical education teachers in carrying out their services are broadened again, the role of physical education teachers is truly tested to answer this challenge as professionals who are not only to educate, teach, guide, direct, train, and evaluate students, but also relate to personalities can be a trigger for the success of students in this pandemic.

Wednesday, 6 May 2020

Pendidikan Jasmani Indonesia dari Masa ke Masa

Azas, Falsafah dan Sejarah Penjas

Sejarah perkembangan Keolahragaan di Indonesia secara hystoris dapat kita bagi menjadi tiga masa, yakni: Pada masa Penjajahan, Masa Kemerdekaan dan Masa Orde Baru 

Pendidikan Jasmani di Masa Penjajahan 
Perkembangan Keolahragaan di Indonesia tidak lepas dari pengaruh kekuasaan belanda ketika pada masa itu bangsa belanda menduduki Indonesia. Diyakini bahwa aspek-aspek keolahragaan berasal dari keolahragaan yang berkembang dilingkungan militer Belanda pada masa itu. Keolahragaan Belanda sendiri pada masa penjajahan saat itu dipengaruhi oleh sistem olahraga yang berkembang di Eropa. Makanya di Indonesia saat ini kita mengenal beberapa macam sistem keolahragaan seperti; sistem Jerman, sistem Swedia dan sistem Austria. 

Keolahragaan Sistem Jerman yang diciptakan oleh Johann Friedrich Guts Muths (1759-1839) masuk dan berkembang di negeri Belanda pada permulaan abad ke-19. Kemudian tahap perkembangan selanjutnya, masuk pula sistem Jerman yang diciptakan oleh Jahn, Spiess, dan Maul ke negeri Belanda. Pengaruh-pengaruh ini selanjutnya digunakan oleh Belanda mula-mula hanya dalam kalangan militer, tetapi kemudian masuk juga disekolah-sekolah dan masyarakat. Oleh karena militer dalam penjajahan Belanda di Indonesia banyak mempunyai pengaruh, maka akhirnya di Indonesia sistem Jerman ini berkembang tidak hanya di lingkungan militer, tetapi lingkungan sekolah bahkan lingkungan masyarakat. 

Keolahragaan sistem Swedia milik Per Hendrik Ling yang mula-mula dibawa oleh para perwira kesehatan angkatan laut Belanda, Dr. H.P. Minkema. Sistem ini masuk pula ke sekolah-sekolah dan pada tahun 1919-1920 M mulai diadakan kursus-kursus untuk guru-guru dan sekolah-sekolah dilengkapi perlengkapan latihan sistem Swedia tersebut.  Karena sistem Swedia dianggap tidak sesuai dipandang dari segi pendidikan maka sistem tersebut terdesak oleh sistem Austria yang dianggap lebih cocok dari segi pendidikan dan ilmu jiwa.

Keolahragaan Sistem Austria diciptakan oleh Gaulhofer dan Streitcher, didorong oleh keadaan anak-anak akibat perang yang memerlukan perubahan pendidikan. Sistem Austria berpangkal pada anak, “vom kinde aus” dengan memperhatikan pedagogik dalam menyajikan latihan-latihannya. Latihan disusun secara sistematik dengan kategori berjenjang: normalisasi, pembentukan, prestasi, dan seni gerak. Setiap latihan harus mempunyai bentuk dan isi. Bentuk ditentukan oleh keadaan tubuh dan kemampuan, sedangkan isi memberikan arti dari latihan yang diberikan.

Karena sistem Austria ini sesuai dengan kemajuan zaman, maka sampai berakhirnya penjajahan Belanda di Indonesia, sistem tersebut tetap digunakan di sekolah-sekolah, bahkan guru-guru yang dididik antara tahun 1950-1960, masih menerima pelajaran sesuai dengan gagasan Gaulhofer dan Streicher. Selain sekolah senam dan sport militer di Bandung (1922), sebelum perang dunia II, di Surabaya juga didirikan suatu Lembaga Pemerintahan untuk mendidik guru-guru olahraga yaitu G.I.V.L.O (Gemeentelijk institute Voor Lichamelijke Opvoeding), dan pada tahun 1941M didirikan pula suatu lembaga untuk mendidik gugu-guru olahraga, Scademisch Instuut voor lichamejke Opvoeding, disingkat AILO, di Surabaya. 

Menghayati kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah Jepang, olahraga pada waktu itu dimanfaatkan oleh Jepang untuk: 
  • Memperkenalkan olahraga militer, 
  • Memperkuat fisik dan mental para pemuda; 
  • Sebagai tontonan yang rekreatif, 
  • Menyalurkan kegiatan pemuda atau masyarakat ke arah positif agar terlena dari alam penjajahan, 
  • Memperkenalkan kebudayaan Jepang, khususnya olahraga Sumo, Judo, Karate, dan olahraga-olahraga kecil lainnya versi Jepang.

Di sekolah dan di masyarakat olahraga digalakkan agar murid-murid dapat mempelajari olahraga yang dikehendaki oleh Jepang. Jepang mengumpulkan guru-guru yang berijazah “Normal School” “Kweekschool” atau guru-guru lainnya untuk mengikuti kursus khusus bagi guru olahraga agar dapat mengajarkan olahraga wajib. Materi pelajaran olahraga di sekolah yang diberikan adalah:
  1. Olahraga wajib: senam pagi, kyoren (baris-berbaris), cara bertempur dengan bayonet (alatnya senapan dari kayu), dan kakeas (lari)
  2. Olahraga tidak wajib: pelaksanaannya diseduaikan dengan fasilitas yang ada. Para murid diperkenalkan olahraga judo, sumo, dan karate serta permainan-permainan asal jepang misalnya menyumbangkan tiang bendera yang dibuat dari batang pinang. Selain itu permainan rakyat: pukul bantal di atas batang pinang lomba membawa kelapa, panjat pinang. Olahraga sepakbola, bola tangan, dan bola keranjang juga diajarkan di sekolah, bahkan sering dipertandingkan.
Pada masa kedudukan jepang, sekolah-sekolah di Indonesia tiap pagi diwajibkan bersenam dan pada waktu-waktu tertentu bersama-sama pegawai dan tentara Jepang senam (taiso) atau melakukan senam diiringi dengan radio dan lagu (razio taiso) di lapangan terbuka. Kegiatan senam ini menjadi masalah karena dilaksankan dengan setengah paksaan dari pihak Jepang

Melalui pendidikan olahraga di sekolah, para siswa belajar baris-berbaris, perang-perangan dengan senapan bersangkur (tiruan) dan latihan fisik lainnya yang berat-berat termasuk gotong royong, gali lubang perlindungan, membabat lapangan terbang, mencangkul kebun. Demikian pula latihan-latihan disiplin baik di sekolah maupun pada berbagai latihan yang diberikan oleh Jepang kepada kelompok-kelompok tertentu membentuk pemuda Indonesia menjadi pemuda yang mempunyai daya tahan tinggi dan siap menghadapi berbagai kesukaran. Hal inilah yang menguntungkan dan sangat membantu manakala bangsa Indonesia menghadapi Belanda, yang ingin menjajah kembali di tanah air kita.


Pendidikan Jasmani  di Masa Kemerdekaan (1945-1967)
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, Pemerintah c.q. Kementerian Pendidikan dan Pengajaran, mempropagandakan penyelenggaraan latihan-latihan dan rehabilitasi fisik dan mental yang telah rusak selama penjajahan kolonial Belanda dan Jepang. Penyelenggaraan olahraga di sekolah-sekolah mulai digalakkan. Di setiap provinsi diusahakan pembentukan inspeksi-inspeksi Pendidikan Jasmani, antara lain di sumatera utara, sumatera tengah, Jawa Barat, Jateng, Yogya/Solo, dan Jawa timur.

Terbentuknya Kabinet yang pertama pada Tanggal 19 Agustus 1945, Kementerian Pendidikan Pengajaran membentuk suatu lembaga yang bertugas merencanakan dan melaksanakan pengurusan di bidang keolahragaan di sekolah, yaitu Inspeksi Pendidikan Jasmani. Inspeksi Pendidikan Jasmani adalah organisasi di bawah Jawatan Pengajaran. Olahraga di masyarakat diurus oleh lembaga di bawah Jawatan Pendidikan Masyarakat. Kementerian Pengajaran dalam melaksanakan tugas di bidang pembinaan dan pengembangan fisik adalah;  
  1. Menyelenggarakan latihan-latihan fisik di kalangan pemuda lndonesia untuk mencapai dan memperoleh kondisi badan yang prima, juga guna persiapan memasuki angkatan perang yang pada waktu itu sangat diperlukan; 
  2. Mengusahakan rehabilitasi fisik dan mental bangsa Indonesia agar dapat berperan serta di forum internasional.
  3. Membangun kembali cabang-cabang olahraga yang tersebar dan bercerai berai.
  4. Membentuk organisasi Induk Cabang Olahraga yang belum tersusun
  5. Menerbitkan majalah “Pendidikan Jasmani” dengan simbol obor menyala dan lima gelang.
  6. Mempersiapkan Pekan Olahraga Nasional ke-1.
Bekal konsepsi-konsepsi yang telah dirintis dan pengalaman-pengalaman keolahragaan mulai tahun 1945- akhir tahun 1949 yang telah dimiliki Indonesia dijadikan titik tolak untuk mengembangkan olahraga dan menetapkan sistem pembinaan keolahragaan Indonesia, yakni:
  1. Keolahragaan di lingkungan masyarakat, dibina oleh masyarakat sendiri, dengan bimbingan dan pengawasan oleh pemerintah.
  2. Keolahragaan di lingkungan sekolah, dibina langsung oleh pemerintah.
  3. Keolahragaan di lingkungan sekolah pelaksanaan pengaturan, pengurusan dan pembinaan langsung dipegang oleh pemerintah, yaitu ditugaskan kepada Kementrian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, yang pelaksanaannya dilakukan oleh Inspeksi Pusat Pendidikan Jasmani. 
  4. Keolahragaan di lingkungan sekolah ini masih tetap diberi nama Pendidikan Jasmani. Dalam hubungannya dengan peningkatan mutu prestasi olahraga bangsa Indonesia, pendidikan jasmani hanya merupakan dasar dan pencarian bibit, yang akan dikembangkan lebih lanjut di lingkungan masyarakat nanti.
Tujuan dari Pendidikan Jasmani ini lebih dikuatkan lagi dengan dikeluarkannya Undang-Undang Republik Indonesia nomor 4 tahun 1950, tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di sekolah-sekolah. Undang-undang tersebut berbunyi sebagai berikut: “Pendidikan jasmani yang menuju kepada keselarasan antara tumbuhnya badan dan perkembangan jiwa dan merupakan suatu usaha untuk membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang sehat dan kuat lahir dan batin, diberikan di segala jenis sekolah”.

Pemerintah dalam hal mencapai tujuan olahraga di sekolah telah menetapkan bahwa pendidikan jasmani tetap merupakan salah satu pelajaran wajib di sekolah-sekolah mulai dari sekolah taman kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi. Cabang-cabang olahraga yang diberikan di sekolah itu terdiri dari: Senam, atletik, permainan dan renang, dengan disesuaikan pada keadaan fasilitas yang tersedia.

Sebagai pendorong bagi para pelajar untuk giat melaksanakan pendidikan jasmani dan olahraga, serta alat pengontrol bagi guru dan pemerintah tentang hasil pelajarannya, maka pemerintah menentukan adanya dua jenis kegiatan yaitu:
  • Ujian ketangkasan olahraga bagi pelajar 
Ujian olahraga yang ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ini oleh Inspeksi Pusat Pendidikan Jasmani, terdiri dari:
Atletik: Tingkat A, B, dan C masing-masing dengan syaratnya sendiri-sendiri
Renang: Tingkat A, B, dan C masing-masing dengan syaratnya sendiri-sendiri.
  • Perlombaan olahraga antar sekolah.
Perlombaan antar sekolah yang diatur oleh pemerintah itu meliputi berbagai macam cabang olahraga, dan yang terkenal pada waktu itu adalah adanya Pancalomba Sekolah Lanjutan. 
Untuk mendorong semangat belajar para pelajar dalam bidang keolahragaan dan untuk usaha meningkatkan mutu prestasi olahraga di kalangan pelajar, telah diadakan puncak-puncak kegiatan olahraga di kalangan sekolah lanjutan dengan bentuk Pancalomba. Pancalomba yang pertama diadakan pada tahun 1952 di Semarang, dan Pancalomba yang kedua diadakan pada tahun 1954 di Surabaya.
Tujuan Keolahragaan membangun bangsa dan manusia Indonesia baru dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya  pada tahun 1962 dengan Keputusan Presiden No. 131 tahun 1962 dibentuk Departemen Olahraga yang diberi tugas pokok untuk mengatur mengkoordinir, mengawasi, membimbing dan dimana perlu menyelenggarakan:
  1. Semua kegiatan dan usaha olahraga, termasuk pendidikan jasmani di sekolah-sekolah rendah maupun Perguruan-perguruan Tinggi di seluruh tanah air.
  2. Pendidikan tenaga-tenaga ahli olahraga, seperti guru olahraga, pelatih olahraga dan tenaga-tenaga ahli olahraga lainnya yang diperlukan oleh Departemen Olahraga.
  3. Pembangunan, penggunaan dan pemeliharaan lapangan-lapangan dan bangunan-bangunan olahraga di seluruh tanah air.
  4. Pembangunan industri Nasional alat-alat olahraga dan atau mengimport alat-alat olahraga serta pengedaran dan penggunaannya di dalam masyarakat.
  5. Pengiriman olahragawan dan tim olahraga serta ahli-ahli olahraga Indonesia atau tim olahraga serta ahli-ahli olahraga dari luar negeri ke Indonesia.
  6. Pendidikan atau riset di bidang olahraga dan penyelenggaraan usaha-usaha di bidang sport medicine
  7. Persiapan-persiapan dan penyelenggaraan Asian Games ke IV di Jakarta (1962).
  8. Kegiatan usaha-usaha lain di bidang olahraga baik yang bersifat nasional maupun internasional.

PON I 1948 di Solo merupakan rangsangan bagi para mahasiswa di Yogyakarta untuk mengadakan Pekan Olahraga antar Perguruan Tinggi. Suwarno mahasiswa UGM, yang turut dalam PON II di Jakarta (Oktober 1951) menggunakan kesempatan tersebut untuk membicarakan gagasan tersebut dengan rekan-rekannya sesama mahasiswa diperkampungan peserta PON II. Gagasan tersebut disepakati oleh mahasiswa dari Jakarta, Bogor, Bandung dan Surabaya.

Beberapa hal yang penting dalam menggalakkan olahraga, Dewan Asian Games antara lain menggariskan dasar tujuan gerakan olahraga, yaitu:
  1. Dasar dan tujuan gerakan olahraga di Indonesia dalah untuk membangun olahraga sedemikian rupa, sehingga menjadi alat perjuangan bangsa Indonesia guna mencapai tujuan Revolusinya, yang mempunyai dua segi cita-cita: (a) Nasional, (b) Internasional.
  2. Cita-cita nasional yang meliputi bidang politis, sosial, ekonomi, kultural meletakkan kepada semua alat perjuangan satu kewajiban supaya mengabdikan segala kekuatannya kepada penyempurnaan negara kesatuan dan pembentukan masyarakat adil dan makmur. Olahraga dalam hal ini dapat menyumbangkan kekuatannya untuk: (a) Membangkitkan semangat kebangsaan, (b) Mempertinggi kekuatan jasmaniah rokhaniah seluruh rakyat guna memulihkan keamanan diseluruh tanah air, membebaskan Irian Barat memperbesar produksi, memperhebat pembangunan semesta, dan memperlancar penyelenggaraan usaha-usaha lain dibidang sosial ekonomis dan pertahanan negara, (c) memperkokoh rasa persatuan dan kesatuan bangsa dan memupuk jiwa gotong royong, serta kepribadian Indonesia, (d) Memperbesar rasa kemampuan dan kepercayaan pada kekuatan sendiri, (e). Mempertinggi daya tahan mental dan spiritual serta keuletan bangsa, dan (f) Dalam keseluruhannya membangun bangsa dan manusia Indonesia baru.
  3. Cita-cita Internasional, yang bertujuan membangun dunia baru meletakkan kewajiban kepada seluruh bangsa Indonesia supaya bergerak di tengah-tengah bangsa-bangsa dengan menyebarkan pengertian-pengertian tentang pandangan hidup Pancasila, manifestasi politik dan kepribadian Indonesia untuk meyakinkan semua bangsa, bahwa Pancasila dapat menjadi landasan universal untuk membentuk persahabatan di antara semua bangsa dan perdamaian yang kekal abadi. Dalam hal ini olahraga dapat memberikan sumbangan untuk: 
  • Menimbulkan simpati dunia terhadap Indonesia dengan prestasi-prestasi olahraga yang penting, 
  • Membangkitkan rasa persahabatan dengan sikap dan budi yang mencerminkan kepribadian Indonesia yang penuh jiwa gotong royong dan semangat perdamaian.

Pendidikan Jasmani di masa Orde Baru (1968-1998)
Departemen olahraga dibubarkan pada tahun 1966 dan setelah itu olahraga diusahakan dikembalikan kepada proporsi dan fungsi yang sebenarnya, yaitu merupakan kewajiban kegiatan manusia yang mutlak diperlukan dalam kehidupannya sesuai dengan kodrat Ilahi serta merupakan salah satu sarana yang untuk mencapai cita-cita hidup sesuai dengan falsafah yang dianutnya. 

Tujuan dari pada olahraga dalam fase ini, sesuai dengan dasarnya adalah: untuk mengambil bagian dalam pembangunan dan modernisasi bangsa dan negara dengan segala aspek-aspeknya, memelihara persatuan dan untuk mencapai cita-cita membentuk manusia Pancasilais sejati berdasarkan ketentuan seperti dikehendaki oleh Pembukaan dan isi Undang- Undang Dasar 1945, yaitu:
  1. Mempertinggi mental, moral, budi pekerti, dan memperkuat keyakinan beragama;
  2. Mempertinggi kecakapan dan keterampilan;
  3. Membina/memperkembangkan physik yang kuat dan sehat.
Sistem pembinaan olahraga di lndonesia diatur sebagai berikut:
  1. Pemerintah tetap sebagai penanggung jawab terhadap olahraga/gerakan olahraga Indonesia dengan memberikan keleluasaan terhadap rakyat untuk ikut turut serta dalam pembinaan olahraga/gerakan olahraga dengan ketentuan olahraga tidak boleh menyimpan dari kebijaksanaan pemerintah.
  2. Dengan ketentuan itu maka terdapat Badan Pembina Olahraga/Gerakan Olahraga yang bersetatus Pemerintah non-Pemerintah (Swasta) yang secara struktural badan-badan tersebut diselaraskan dengan tata susunan Pemerintah dari Pusat sampai ke daerah-daerah.
  3. Adanya kesatuan falsafah dan pengertian yang sama tentang olahraga, secara adanya kesatuan pimpinan dan kesatuan usaha.


Badan-badan Olahraga/Gerakan Olahraga dari Pemerintah adalah badan-badan yang diadakan oleh Pemerintah sebagai aparatur pemerintah dalam bidang pembangunan bangsa, khususnya di bidang fisik dan mental, persatuan dan kesatuan bangsa serta mewujudkan persahabatan antar bangsa dan negara dengan olahraga sebagai/sarana badan-badan itu antara lain adalah:
1) Pemerintah Pusat dan Daerah dengan segenap aparaturnya;
2) Direktorat Jendral Olahraga dengan segenap eselon bawahannya;
3) Pusat-Pusat Pendidikan ABRI.
Gerakan Olahraga di lndonesia sesuai dengan tujuannya diberikan secara meluas merata kepada seluruh lapisan masyarakat. Meskipun diadakan dua golongan Badan Pembina Olahraga yaitu Pemerintah dan Non Pemerintah, tetapi pada hakekatnya meliputi seluruh rakyat. Dengan demikian terdapat golongan-golongan:
  1. Masyarakat tani, nelayan dan pekerja-pekerja lainnya dalam masyarakat pedesaan.
  2. Anak-anak Pra-sekolah, Sekolah Dasar, Pelajar SLTP/SLTA dan Mahasiswa;
  3. Golongan rakyat yang bertugas dalam bidang pertahanan/keamanan (ABRI);
  4. Golongan Pegawai, Pegawai Pemerintah, semi pemerintah daan swasta;
  5. Golongan wanita
  6. Golongaan tuna dalam masyarakat, seperti para penderita cacat para nara pidana dan lain sebagainya.
Dalam melaksanakan tugasnya, Direktorat Jenderal Olahraga Dep. P & K mendapat tugas dan wewenang dari pemerintah untuk mengorganisir seluruh kegiatan olahraga badan-badan pembina olahraga pemerintah dan non pemerintah baik di pusat dan di daerah. Pembinaan yang dilakukan oleh badan pemerintah ini terutama ditujukan kepada pemasalan olahraga, mensosialisasikan olahraga di kalangan masyarakat, dan usaha mencari bibit olahragawan, yang nantinya dibina lebih lanjut melalui organisasi olahraga, yang nantinya lebih lanjut melalui organisasi di bawah bimbingan dan pengawasan KONI. 

Makin kecil lembaga yang menangani suatu kegiatan/bidang, berarti makin kecil juga ruang gerak kegiatan tersebut. Pada tahun 1971, lembaga terendah yang mengelola olahraga bukan lagi Direktorat, demikianlah halnya sampai pada tahun 1983, ketika keluar Kepres No. 25 tahun 1983 di mana antara lain ditetapkan kedudukan tugas pokok dan fungsi Menteri Negara Pemuda dan Olahraga yakni: 
  1. Mempersiapkan perumusan kebijaksanaan Pemerintah mengenai segala sesuatu yang bersangkutan dengan masalah pembinaan dan pengembangan generasi muda dan olahraga;
  2. Merencanakan segala sesuatu secara teratur dan menyeluruh dalam rangka perumusan kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut (point a di atas).
  3. Mengkoordinasikan kegiatan di bidang generasi muda dan olahraga dan berbagai Instansi Pemerintah baik di Pusat maupun di daerah, guna tercapainya kerjasama yang serasi, teratur, bulat dan mantap dalam rangka pelaksanaan program Pemerintah secara menyeluruh;
  4. Mengkoordinasikan kegiatan pembinaan yang tata caranya diatur lebih lanjut antara MENPORA dengan Menteri yang bersangkutan;
  5. Mengkoordinasikan kegiatan Komite Olahraga Nasional Indonesia dan Yayasan/ Lembaga-Lembaga Olahraga lainnya di Pusat dan Daerah;
  6. Menyampaikan kepada Presiden laporan dan bahan keterangan serta saran-saran dan pertimbangan di bidang tanggung jawabnya.

Latar belakang Keppres No. 25 tahun 1983 mengenai ditetapkan Menteri Negara yang mengkoordinir kegiatan olahraga adalah;
  1. Pidato Presiden tanggal 19 Januari 1981 di depan peserta Musyawarah Keolahragaan Nasional ke IV menyatakan bahwa: Kegiatan olahraga perlu ditingkatkan dan disebarluaskan sesuai dengan panji olahraga nasional “Memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat
  2. Untuk melaksanakan amanat Presiden tersebut, usaha memasyarakatkan olahraga disusun konseptual, terencana dan terarah atas dasar akidah yang tepat sehingga kegiatan dan manfaatnya dapat dirasakan secara langsung dan merata oleh seluruh lapisan masyarakat.
  3. Kembali kepada apa yang diucapkan Pimpinan Nasional kita Bung Karno pada tahun 1902 yakni: “Dedication of life” para pengemban olahraga dalam menghadapi kancah perjuangan serta gelombang badainya keolahragaan.

Sesuai dengan kedudukan, tugas pokok, fungsi dan tata kerja Menteri Negara Pemuda dan Olahraga (MENPORA) maka pada tahun 1984 telah dihasilkan beberapa langkah-langkah dalam membenahi kembali keolahragaan di Indonesi antara lain:
  • Keputusan Presiden No. 17/1974 mengenai Jam Krida Olahraga Pegawai Negeri Sipil, Anggota karyawan Badan Usaha dan Bank Milik Negara, Karyawan Perusahaan dan Bank Milik Daerah, Pelajar dan Mahasiswa diselenggarakan tiap hari Jum'at selama 30 menit.
  • Sesuai dengan Keputusan Presiden Republik lndonesia tanggal 9 September 1983 maka diselenggarakan kegiatan olahraga diseluruh tanah air sebagai acara memperingati Hari Olahraga Nasional tersebut dan puncak kegiatan jatuh pada tangggal 9 September 1983. Dalam hal ini Menteri Negara Pemuda dan Olahraga menganjurkan olahraga itu bersifat masal, murah, meriah, dan menarik.
  • Pemerintah memperbaharui Keppres No. 57 tahun 1967 dengan Keppres No. 43 1984 mengenai kedudukan dan tugas Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). Dengan demikian maka jika dahulu KONI wajib memperhatikan petunjuk Menteri P & K maka sejak Juli 1984, KONI memperoleh dan wajib memperhatikan petunjuk MENPORA.
  • Olahraga profesional juga ditata kembali. Peraturan Pemerintah No. 63 tahun 1971 diperbaharui dengan Keppres No. 18/1984 dengan pertimbangan bahwa:
  1. Usaha untuk meningkatkan kegiatan dan semangat olahraga dengan penuh sportivitas merupakan salah satu sarana dalam rangka mewujudkan tujuan pembangunan nasional;
  2. Dalam rangka peningkatan prestasi olahraga, khususnya olahraga profesional, diperlukan usaha-usaha pembinaan dan pengembangan sesuai dengan perkembangan olahraga profesional, dan harkat martabat bangsa Indonesia.
  • Dalam rangka memberikan dorongan untuk mencapai prestasi setinggi-tingginya pemerintah memandang perlu memberikan tanda penghargaan. Berdasarkan keputusan MENPORA No.0022/MENPOA/1984 maka sejumlah atlet-atlet yang telah mencapai prestasi kurang dari 241 orang atlet telah menerimanya dengan perincian:
a) 37 orang menerima penghargaan tinggkat I
b) 59 orang menerima penghargaan tingkat II
c) 146 orang menerima penghargaan tingkat III
  • Untuk lebih memantapkan kegiatan/usaha keolahragaan, diterbitkan surat keputusan bersama Menteri P & K dan Menpora pada tanggal 4 oktober 1984, keputusan tersebut berisi seberapa jauh tanggung jawab kedua Menteri dalam pengelolaan:
  1. Pendidikan jasmani dan olahraga sekolah/Perguruan Tinggi;
  2. Lembaga Pendidikan Guru/Pendidik/Pelatih/peneliti dan tenaga ahli lain dibidang olahraga (pendidikan formal);
  3. Kesegaran jasmani dan rekreasi;
  4. Pusat llmiah Olahraga;
  5. KONI, Yayasan Gelora Senayan dan Badan Pembina Olahraga;
  6. Pekan Olahraga Pelajar/Mahasiswa, Pekan Olahraga dan Seni pelajar/di dalam dan di luar negeri.
  7. PORDA, PON, SEAGAMES, Asean Games, Olimpic Games, World Games di dalam dan di luar negeri;
  8. Pusat pendidikan dan latihan pelajar cabang/olahraga tertentu;
  9. Penerapan dan promosi olahraga serta peningkatan kegiatan olahraga dalam masyarakat (Panji Olahraga).
PENDIDIKAN JASMANI DAN OLAHRAGA DI SEKOLAH DARI MASA KE MASA
Perkembangan sejarah pendidikan jasmani di sekolah sebagai berikut:
1945– 1950 : masa gerak badan
1950– 1961 : masa pendidikan jasmani
1961– 1966 : masa olahraga
1966 – 1977: masa olahraga pendidikan 
1978- sekarang: masa pendidikan olahraga dan penjaskes

Masa Gerak Badan (1945 – 1950)
Pemerintah Republik Indonesia menyadari pentingnya pendidikan untuk pembangunan bangsa dan Negara, termasuk di dalamnya “gerak badan di sekolah”. Pada waktu itu di sekolah diberikan permainan, atletik, senam, dan untuk sekolah menengah tinggi (sekarang SMA), ditambah latihan militer.

Masalah-masalah yang mendapat perhatian khusus antara lain dapat disebut; gerak badan untuk anak perempuan dilaksanakan terpisah; perlunya nasehat dokter, bahan pengajaran diambil dari permainan dan kesenian nasional, perlunya music, kepanduan, pencegahan ekses dalam perlombaan serta perlunya pemerintah membiayai kegiatan, perlunya lapangan olahraga disetiap sekolah perlunya menolong sekolah partikulir dan perlunya mengadakan kursus kilat bagi guru-guru.

Masa Olahraga (1950 – 1961)
Terbitnya undang-undang nomor 4/1950, yang kemudian menjadi undang-undang nomor 12/1954 memberikan landasan kuat kepada pelaksanaan kegiatan olahraga di sekolah. Dalam penjelasan Bab VI tentang pendidikan jasmani, terbaca “Pasal 9: untuk melaksanakan maksud dari bab II; Pasal 3: tentang tujuan pendidikan dan pengajaran harus meliputi kesatuan rohani-jasmani. Pertumbuhan jiwa dan raga harus mendapat tuntutan yang menuju kearah keselarasan agar tidak timbul penyebelah kearah intelektualisme atau kearah perkuatan badan saja. Perkataan keselarasan menjadi pedoman pula untuk menjaga agar olahragatidak mengasingkan diri dari pendidikan keseluruhan. Olahraga merupakan usaha pula untuk membuat bangsa Indonesia sehat dan kuat lahir bathin. Oleh karena itu olahraga berkewajiban juga memajukan dan memelihara kesehatan badan terutama dalam arti preventif, tetapi juga secara kuratif.

Masa Olahraga (1961 – 1966)
Setelah tercium berita bahwa Jakarta akan menjadi tuan rumah Asian Games IV, secara struktural Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Biro Olahraga ditingkatkan menjadi Jawatan Pendidikan Jasmani. Peningkatan itu secara politis dirasa kurang memadai, karena Asian Games diharapkan menjadi forum tempat bangsa Indonesia membuktikan kemampuannya dengan mencetuskan prestasi tinggi, baik dalam cabang-cabang olahraga yang dipertandingkan maupun dalam pengorganisasian serta penyelenggaraan. Ini menuntut pengetahuan, ketrampilan serta kemampuan beroganisasi dan koordinasi Kiranya dalam rangka pemikiran demikian, serta keyakinan bahwa olahraga merupakan sarana ampuh menggembleng bangsa menjadi “Manusia Indonesia Baru”, dibentuklah Departemen Olahraga melalui Keputusan Presiden nomor 131/1962. Dalam Keputusan tersebut dinyatakan bahwa olahraga meliputi segala kegiatan/usaha untuk mendorong, membangkitkan, mengembangkan dan membina kekuatan-kekuatan jasmani maupun rohaniah pada tiap manusia.

Diantara tugas-tugas pokok Departemen Olahraga mengatur, mengkoordinir, mengawasi, membimbing dan dimana perlu menyelenggarakan: (1) Semua kegiatan/usaha olahraga termasuk olahragadi sekolah rendah sampai universitas; (2) Pendidikan tenaga ahli olahraga, seperti guru olahraga, pelatih/coach olahraga dan tenaga ahli olahraga lainnya yang diperlukan oleh Departemen Olahraga.

Karena pelajar sangat potensial sebagai bibit olahragawan serta merupakan ladang kerja yang cepat memberikan hasil, dikeluarkanlah surat keputusan bersama Menteri Olahraga dan Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan. Pada pokoknya mereka menyatakan keinginan memberikan bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakan program olahraga pelajar. Program tersebut terdiri dari program olahraga wajib dan program olahraga karya. Program olahraga wajib adalah program olahraga yang diberikan kepada siswa sesuai dengan kurikulum dan dilaksanakan menurut jadwal pelajaran sekolah. 

Terjadi perubahan penting dalam pendidikan guru olahraga yang kadang-kadang menjadi pelatih dalam salah satu cabang olahraga, maka dengan berlakuknya pengelolaan dibawah Departemen Olahraga terjadi pengembangan yang sesuai dengan tingkat kepentingan olahraga dimata pemerintah. SGPD diubah menjadi Sekolah Menengah Olahraga tingkat Atas, dan lamanya belajar hanya tiga tahun setelah SLTP. SMOA diharapkan mampu menyiapkan Pembina olahraga yang diperlukan oleh masyarakat dan sekolah, menyiapkan calon mahasiswa Sekolah Tinggi Olahraga (STO), dan meyiapkan olahragawan berprestasi. Untuk mencapai cita-cita tersebut SMOA diperlengkapi diperlengkapi dengan asrama dan diberi peralatan yang memadai (sama dengan SGPD). Penunjangan itu tidak mungkin dipertahankan karena munculnya SMOA berpuluh-puluh jumlahnya (sekitar 50 buah).

Pengangkatan lulusan SMOA sebagai guru sangat seret karena pendidikannya hanya 3 tahun, sehingga tidak cocok dengan peraturan kepegawaian. Dulu SGPD dipersamakan dengan PGSLP dan dapat mengajar di SLTP. SMOA mestinya mengajar di SD, tetapi SD berada dalam pengelolaan pemerintah daerah, dan di SD berlaku system guru kelas. Walaupun secara teori lulusan SMOA dapat mencari pekerjaan dalam masyarakat sebagai pelatih dalam perkumpulan olahraga, tetapi karena kehidupan perkumpulan olahraga belum seperti yang terdapat di Eropa, tidak ada yang mampu menggaji pelatih. Demikian pula pengangkatan lulusan SMOA mejadi pegawai teknis dalam kantor dinas olahraga di daerah sulit terlaksana.

Masa Olahraga Pendidikan (1967 – 1977)
Dalam masa sepuluh tahun ini pengelolaan olahraga berada pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Mula-mula penanggung jawabnya Direktur Jenderal Olahraga, kemudian beralih kepada Direktur Jenderal Olahraga dan Pemuda ini berarti bahwa bukan hanya olahraga saja diatur. Direktorat Olahraga Pendidikan, Direktorat Keolahragaan dan Direktrat Pendidikan dan Penataran berada di bawahnya.

Program olahraga wajib di sekolah berjalan terus, walaupun ada kewajiban baru yaitu bergabung dengan kesehatan. Olahraga karya juga berjalan. Lari atau merangkak terutama tegantung kepada pengertian dan kesadaran kepala sekolah. Disamping itu kepribadian dan image guru olahraga juga ikut menentukan. Maka tidak mengharapkan bahwa terdapat range yang besar antara sekolah satu dengan lainnya dalam melaksanakan olahraga wajib dan karya, serta hasil prestasi dalam pertandingan ditingkat local, daerah dan nasional.

Masa Pendidikan Olahraga dan Penjaskes (1978 – sekarang)
Dalam perjalanannya dari tahun 1978 sampai dengan tahun 1995 “nama” olahraga di sekolah mengalami berbagai perubahan. Walaupun demikian, pelaksanaan olahraga di sekolah tetap ditekankan pada aspek pendidikan. Artinya kegiatan pendidikan yang dilaksanakan melalui media kegiatan jasmani yang disebut olahraga.

Perubahan nama tersebut berturut-turut adalah: Pendidikan Olahraga, Olahraga Kesehatan, Pendidikan Olahraga dan kesehatan, dan terakhir sebagaimana tercantum dalam kurikulum Pendidikan Dasar 1993 dan Kurikulum Sekolah Menengah Umum 1995 adalah Olahraga dan Kesehatan. Adanya perubahan-perubahan demikian dapat diartikan adanya dinamika yang tinggi dalam konsep penyajian olahraga di sekolah, akan tetapi dari sisi lain dapat diartikan sebagai kurang mantapnya konsep penyajian olahraga di sekolah.

Olahragadan kesehatan yang diberikan di sekolah memiliki peran yang sangat sentral dalam pembentukan manusia seutuhnya. Olahraga tidak hanya berdampak positif pada pertumbuhan fisik anak, melainkan juga perkembangan mental, intelektual, emosional dan sosial.

Diberikannya penjaskes sebagai rangkaian isi kurikulum sekolah bukanlah tanpa alasan, karena kurikulum yang merupakan seperangkat pengetahuan dan ketrampilan merupakan upaya sistematis untuk membekali siswa/peserta didik untuk mencapai tujuan tertentu, dalam hal ini adalah menjadi manusia yang lengkap dan utuh. Tidak ada pendidikan yang lengkap tanpa pendidikan jasmani, dan tidak ada olahraga tanpa media gerak. Karena gerak sebagai aktifitas jasmani merupakan dasar alami bagi manusia untuk belajar mengenal dunia dan dirinya sendiri.

Sayangnya, peran sentral dan makna penting olahraga masih berkutat pada tataran konsep dan retorika, belum diimbangi dengan kenyataan praktis di lapangan. Banyak pakar pendidikan menyatakan bahwa olahraga penting diberikan kepada anak, tetapi dalam kenyataannya jam pelajarannya terus dipinggirkan. Misi pokok olahragaseringkali belum dapat dipahami oleh banyak orang, sekalipun itu pendidik. Salah satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa olahraga sering dianggap sebagai bidang studi pelengkap dan dalam posisi yang kurang menguntungkan.

Dalam keadaan sekarang, terlepas dari tekanan yang tetap diberikan kepada aspek pendidikan, bentuk kegiatan jasmani olahraga kesehatan di sekolah masih kurang mendapatkan porsinya. Hal ini disebabkan olah karena guru-guru olahraga di sekolah masih mengacu kepada bentuk-bentuk olahraga sebagaimana yang tercantum di dalam GBPP. Selain itu agaknya konsep olahraga kesehatan juga masih belum dipahami secara tepat. Padahal, ditinjau dari sudut konsep dan kelayakannya, adalah lebih tepat bila pendidikan jasmani dan kesehatan di sekolah, dilandasi dengan olahraga kesehatan, karena kesehatanlah yang pertama-tama harus menjadi perhatian agar dapat memberikan kemudahan bagi seluruh siswa dalam proses belajar mengajar. Tidak ada pendidikan jasmani yang memiliki efisisensi setinggi olahraga kesehatan dalam hal peralatan, waktu maupun pemakaian lahan.

Sumber:
  1. Bauer, Benevootu dan Sitoomorang, 1995, Teori OlahragaUntuk Sekolah Rakyat, Djilid IV. Verahays MV Amsterdam, D.J. Teuku Umar 32, Jakarta. 
  2. Buncher, Charlos A, Pundation of Physical Education, Third Edition, The CV Hosty Company, St. Louis, 1960.
  3. Culture of The Republic Of Indonesia, 1976, The Depelopment of Spart and Physical Education in Indonesia, Jakarta. 
  4. Deobold B. Van Dalen, Bruce L. Bennett, A World History of Physical Education 1971, Prentce-Hall,Inc, Englewood, New Jersey
  5. Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Olahraga. 2003. Sejarah Olahraga Indonesia. Jakarta
  6. Direktorat Jenderal Olahraga dan Pemuda, 1972 , Sejarah Organisasi Pembinaan dan Kegiatan Olahraga di Indonesia, Proyek Pendidikan Olahraga STO/SMOA DKI Jakarta Raya, 
  7. Direktorat Jenderal Olahraga, 2004, Olahraga Indonesia dalam Prespektif Sejarah, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Proyek Pengembangan dan Keserasian Kebijakan Olahraga
  8. Don Bing Ting, ct.al., 1956. Dasar-Dasar Pendidikan Jasmani, Ganaco Bandung. 
  9. Dyah Kumalasari. (2007). Dinamika Pendidikan Indonesia Pada Masa Kolonial. Jurnal Istoria. Yogyakarta: Pendidikan Sejarah FISE UNY I. Djumhur. (1974). Sejarah Pendidikan. Bandung: CV Ilmu
  10. Ed. Sienkewicz, "Daily Life and Customs," Ancient Greece (New Jersey: Salem Press, Inc., 2007), 
  11. Edward M. Harwell, “Physical Training,” Report of Commisioner of Education for 1897-98) (Washington D.C.: US Governement Printing Office, 1898), 1, 543
  12. Husdarta. (2010). Sejarah dan Filsafat Olahraga. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
  13. Moeslim M, 1970, Pedoman Mengajar Olahraga Pendidikan di Sekolah Dasar, Direktorat Jenderal Olahraga dan Pemuda Dep. P dan K, 
  14. Rusli Lutan, 2002, Olah Raga dan Etika: Fair Play, Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Olah Raga Direktorat Jendral Olah Raga Departemen Pendidikan Nasional.
  15. Seba (1990). Sejarah dan Falsafah Pendidikan Jasmani. Diktat: IKIP Bandung
  16. Soetario, Hisbullah, 1972, Aerobics Dalam Pembinaan Kesegaran Jasmani, Dijon Pisor, Jakarta. 
  17. .UU. No. 20 Tahun 2003
  18. Van Delen B. Deobold, Bennet L. Bruce. 1971. A World History of Physical Education 2nd edition. Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey.
  19. Williams, WF, Principle of Physical Education, WE sandors Company, Philadelphia, London.
  20. www. koni.or.id

Model Evaluasi Context, Input, Process, Product (CIPP)

đŸŒº MODEL EVALUASI CIPPđŸŒº đŸ‘‰Evaluasi didefinisikan sebagai Proses Menggambarkan, Mendapatkan, dan Menyediakan Informasi yang Bermanfaat untuk...

OnClickAntiAd-Block