Wednesday 23 October 2019

MUSKA MOSSTON : Spectrum of Teaching Styles

Halo para pecinta Pendidikan Jasmani dimanpun berada, postingan kali ini akan membahas tentang seseorang yang sangat Fenomenal dan Populer dalam bidang Pendidikan Jasmani, Teori Beliau sangat terkenal di dunia... iya sekali lagi, di Dunia ya Gaess.., sudah pada kenal belom...??? kira-kira apa yang membuat beliau sangat fenomenal dan populer di bidang ilmu pendidikan dan khususnya bidang ilmu pendidikan jasmani..?? penasaran ya gaess??.. langsung aja, yuk dibaca!!

MUSKA MOSSTON
Muska Mosston, anak tunggal, lahir pada tanggal 5 Desember 1925 di Haifa, Israel dan meninggal dunia pada tahun 1994. Selama hidupnya muska sangat terobsesi dengan mengajar, khususnya pendidikan jasmani. Muska Mosston adalah perintis yang menemukan paradigma baru tentang mengajar dan belajar. Spectrum of Teaching Styles telah diterapkan di ruang kelas sekolah negeri dan swasta dalam semua materi pelajaran, semua kelas, dan dengan berbagai tingkat kinerja. Spectrum melengkapi guru dengan dasar-dasar pengetahuan untuk mengembangkan daftar perilaku profesional dengan tujuan bagaimana dan apa saja yang diperlukan seorang guru untuk terhubung dengan siswa dalam mendidik.

Muska Mosston lulus pertama di Institut Wingate di Israel di mana ia menerima penghargaan tertinggi. Setelah datang ke Amerika Serikat, Mosston mengajar fisika, geometri, matematika, bahasa Ibrani, dan pendidikan jasmani. Dia memperoleh gelar Sarjana dan Master dari City College of New York, gelar doktor dari Temple University di Philadelphia, dan kemudian pada tahun 1984 ia dianugerahi gelar Doktor Kehormatan dari Universitas Jyvaskyla di Finlandia. Mosston menjadi Ketua Departemen Pendidikan Jasmani di Universitas Rutgers dan merupakan orang pertama yang mengubah namanya menjadi Departemen Kinesiologi. Selain itu, ia memiliki program televisi, Shape-UP, di CBS di New York City selama tujuh tahun.

Musston sangat senang mengajar dan menyukai pendidikan jasmani sebab peluang yang ditawarkan oleh pendidikan jasmani dalam pengembangan fisik, sosial, kognitif, etika, dan emosional. Ketika dia melihat anak-anak tidak diberi kesempatan untuk berpikir dan bergerak, dia menjadi bingung dan jengkel oleh rekan-rekannya yang tidak bisa memperluas pandangan mereka tentang apa itu pendidikan jasmani. Pada tahun 1966, Muska memperkenalkan Spectrum of Teaching Styles ke bidang Pendidikan Jasmani. Ketika ia berjuang untuk memajukan teori dan praktik pendidikan jasmani, ia sering dikucilkan oleh mereka yang keberatan dengan pandangan dan semangat yang ia miliki. Pandangan miring orang-orang itu tidak menghalangi Musston untuk terus berjuang  mengembangkan teori dan praktik pendidikan jasmani yang dia konsep. Bertahun-tahun kemudian, undangan untuk mempresentasikan teorinya datang dari seluruh dunia dan membawa Musston sebagai salah satu tokoh pendidikan dan khususnya pendidikan jasmani yang sangat populer.

Dalam tahun-tahun terakhir hidupnya, ia menganggap dirinya sebagai duta besar pendidikan, menyebarkan pesan kemanusiaan Spectrum dan ide-ide konsep universal gerakan perkembangan melintasi batas budaya dan agenda politik. Dia sangat menyentuh kehidupan orang-orang. Dia adalah inspirasi, tidak gentar dengan penolakan, setia pada misinya, dan berdedikasi untuk meningkatkan praktik dalam mengajar dan belajar (Sara Ashworth, Ed.D.).


Spectrum of Teaching Styles
Pada tahun 1966 Muska Mosston memperkenalkan Spectrum of Teaching Styles ke dalam bidang Pendidikan Jasmani. Spectrum of Teaching Styles dalam bahasa Indonesia artinya Spektrum Gaya Mengajar. Spektrum dalam kamus Besar Bahasa Indonesia berarti; spek.trum /spèktrum/(n Fis) rentetan warna kontinu yang diperoleh apabila cahaya diuraikan ke dalam komponennya, (n Met) rangkaian atau urutan yang bersinambung.

Spectrum of Teaching Styles adalah teori “universal” tentang mengajar. Meskipun teori Spectrum of Teaching Styles ditulis untuk pendidikan jasmani, teori ini berlaku untuk semua disiplin ilmu. Spectrum itu bisa digunakan sebagai langkah analisis pembuat keputusan dalam menentukan suatu pendekatan pengajaran yang baru muncul, makanya spektrum itu umum dan luas.

Muska Mosston merumuskan Spectrum of Teaching Styles dan mempresentasikannya di bidang pendidikan jasmani lebih dari tiga puluh tahun yang lalu. Teorinya terus memengaruhi pedagogi karena ia menawarkan pengetahuan universal dan komprehensif tentang pengajaran dan pembelajaran. Teori Spectrum telah dirujuk secara terus menerus dalam kebanyakan buku teks metode pendidikan jasmani selama tiga dekade (Metzler, 2000; Graham, Holt, & Parker, 1998; Pangrazi, 1998; Rink, 1993; Siedentop, 1991; Hellison, 1985; Mitchell & Wright, 1977). Bahkan sampai sekarang teori Muska Mosston tentang mengajar, yang mengidentifikasi kerangka pemersatu yang menggambarkan gaya belajar-mengajar alternatif terus digunakan sebagai bahan literasi/daftar pustaka dalam setiap penelitian tentang pendidikan jasmani dan belajar-pembelajaran secara umum di seluruh dunia.
*Sangat luar biasa ya gaess... tepuk tangan dulu dong....lanjuut..

Mosston menyatakan “… neither teacher nor student can make decisions in a vacuum. Decisions are always made about something. This ‘something’ is the subject matter of teaching and learning”  (“baik guru maupun siswa tidak dapat membuat keputusan dalam ruang hampa. Keputusan selalu dibuat tentang sesuatu. 'Sesuatu' ini adalah subjek dari pengajaran dan pembelajaran). 

Statemen musston ini sangat viral pada saat itu, sehingga publik langsung menanggapinya dengan pro dan kontra. Tetapi musston berhasil mempertahankan teori tersebut, sehingga menjadi khasanah teori dalam dunia pendidikan jasmani yang digunakan di seluruh di dunia.

Kemudian adalagi Statetmen Mosston yang sangat fenomenal, dan menjadi sumber motivasi Musston yang menjadi cikal bakal kelahiran teori spektrum, mari kita simak: 
At the time the ideas of the Spectrum came about, I was teaching at Rutgers University presenting my students with ideas, notions, techniques, and experiences in teaching. One day a student approached me and said: “I want to talk to you about the things you are teaching us.” “Certainly,” I replied. “What is it?” After a slight pause, the student uttered: “I can’t be you!” “Thank you,” I responded— and began to walk away. “Furthermore,” the student said, “I don’t want to be like you.” I was quite stunned. I was upset. It took me some time to recover, but that statement kept gnawing at my mind. Is that what I was doing to my students? Did I impose my ideas on them? Did I demand replication of “me”? It was, indeed, a moment of revelation. I realized that my experiences, my idiosyncrasies were mine—solely mine. I realized that they were only a part of the story of teaching. But, what is the other part? Or perhaps other parts? I kept asking myself: What is the body of knowledge about teaching that is beyond my id oysyncractic behavior? Is there such a possibility? Is it possible to identify a framework, a model, a theory that will embrace the options that exist in teaching, or a framework that might embrace future options? It became clear to me that arbitrary teaching, scattered notions, fragmented ideas, and isolated techniques—successful as they might be—do not constitute a cohesive framework that can serve as a broad, integrated guide for teaching future teachers. The search for a universal structure of teaching had begun. It has been a search for a “unified theory” that will show and explain the relationship between deliberate teaching behavior and learning behavior, a theory that will identify with consistency the structure of the options in teaching and learning behavior. The search was for a single, unifying principle that governs all teaching—hence the identification of the axiom: Teaching behavior is a chain of decision making. (Mosston & Ashworth) 
"Suatu hari seorang siswa mendekati saya dan berkata, “Saya ingin berbicara dengan Anda tentang hal-hal yang Anda ajarkan kepada kami.” “Tentu saja,” jawab saya. “Ada apa?” Setelah terdiam beberapa saat, siswa itu berkata, “Aku tidak bisa menjadi kamu!” “Terima kasih,” jawabku— dan mulai berjalan pergi. "Lebih jauh lagi," kata siswa itu, "aku tidak ingin menjadi seperti kamu." Aku cukup terkejut. Saya kesal. Butuh beberapa waktu untuk pulih, tetapi pernyataan itu terus menggerogoti pikiran saya. Apakah itu yang saya lakukan pada murid-murid saya? Apakah saya memaksakan ide saya pada mereka? Apakah saya menuntut replikasi "saya"? Memang, itu adalah saat pengungkapan. Saya menyadari bahwa pengalaman saya, keanehan saya adalah milik saya — hanya milik saya. Saya menyadari bahwa mereka hanya bagian dari kisah pengajaran. Tetapi, apa bagian lainnya? Atau mungkin bagian lain? Saya terus bertanya pada diri sendiri: Apa isi pengetahuan tentang pengajaran yang berada di luar perilaku istimewa saya? Apakah ada kemungkinan seperti itu? Apakah mungkin untuk mengidentifikasi kerangka kerja, model, teori yang akan merangkul opsi-opsi yang ada dalam pengajaran atau kerangka kerja yang mungkin merangkul opsi masa depan? Menjadi jelas bagi saya bahwa pengajaran yang sewenang-wenang, gagasan yang tersebar, gagasan yang terpecah-pecah, dan teknik-teknik yang terisolasi — sesukses mungkin — tidak membentuk kerangka kerja yang kohesif yang dapat berfungsi sebagai panduan yang luas dan terpadu untuk mengajar guru-guru masa depan. Pencarian struktur pengajaran universal telah dimulai. Ini telah menjadi pencarian untuk "teori terpadu" yang akan menunjukkan dan menjelaskan hubungan antara perilaku mengajar yang disengaja dan perilaku belajar, sebuah teori yang akan mengidentifikasi dengan konsistensi struktur pilihan dalam perilaku belajar-mengajar. Pencarian itu untuk satu prinsip tunggal, pemersatu yang mengatur semua pengajaran — maka identifikasi aksioma: Perilaku mengajar adalah rantai pengambilan keputusan" (Mosston & Ashworth, 1994, hlm. vii-viii).
Teori Spectrum of Teaching Styles milik Muska Mosston sangat mengagumkan karena teori ini menggambarkan kemungkinan struktur keputusan belajar-mengajar; itu menyajikan aksioma yang mencakup semua pendekatan belajar-mengajar; ini menyajikan alasan yang menjelaskan mengapa setiap opsi diurutkan sebagaimana adanya, dan menyajikan fokus pembelajaran dari setiap opsi. Kerangka kerja ini tidak tergantung pada usia, konten, jenis kelamin, tingkat, dan tingkat kemampuan. Ini adalah teori pemersatu tentang struktur pengajaran dan pembelajaran. Inti dari Teori ini adalah; Keputusan adalah elemen penting dalam rantai peristiwa yang membentuk hubungan belajar-mengajar. 

Jadi, tidak heran banyak orang yang menggunakan teori milik Musston ini diseluruh Dunia. Muska Mosston dan Sara Ashwort telah memberikan ratusan lokakarya di empat benua. Selama bertahun-tahun dengan Center on Teaching di New Jersey, mereka berdua telah memberikan lebih dari 250 presentasi. Pada 1984-85 ceramah di Skotlandia berubah menjadi tur ceramah sebelas bulan di mana mereka memberikan 87 presentasi di sebelas negara Eropa. Rencana perjalanan Mosston untuk tahun 1994 termasuk presentasi di Yunani dan Kreta, Venezuela, Israel, Swedia, dan Colorado dan Virginia di AS. Sayangnya, Muska Mosston meninggal pada Juli 1994, sebelum jadwal presentasinya di Puerto Rico, Belanda, dan Taiwan.

Meskipun Mosston telah tiada, tetapi teman-teman seperjuangan Mosston dan orang –orang yang terinspirasi dengan Mosston, mereka berkomitmen untuk terus melanjutkan dan mengembangkan teori spektrum ini. Berikut statemen mengenai Teori Musston:

Spectrum Colleagues, Rudy and Suzanne Mueller mengungkapkan: 
“Mosston's Spectrum of Teaching Styles has made a monumental contribution to pedagogy and the concept of conscious and deliberate teaching” 
(Spectrum of Teaching Styles Mosston telah memberikan kontribusi yang monumental untuk pedagogi dan konsep pengajaran yang sadar dan disengaja).

“Teaching Physical Education can change your life as a teacher”  
(Michael Goldberger, Ph.D. (Professor and Director School of Kinesiology and Recreation Studies James Madison University Harrisonburg, VA).

Demikianlah postingan kali ini, semoga bermanfaat dan menjadi inspirasi kita semua, terutama bagi guru Pendidikan Jasmani yang ada di seluruh Dunia dan khususnya di Negara Indonesia. terima kasih.

Daftar Pustaka:
  • Mosston, Muska dan Sara Ashworth. 2008. Teaching Physical Education; First Online Edition,2008. Dari https://spectrumofteachingstyles.org/assets/files/book/Teaching_Physical_Edu_1st_Online.pdf
  • Mosston, Muska dan Sara Ashworth. Teaching Physical Education; First Online Edition. Copy right holder, Sara Ashworth at sashworth@spectrumofteachingstyles.org
  • https://spectrumofteachingstyles.org/index.php?id=55
  • https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/spektrum

Monday 21 October 2019

POSTMODERNISME

POSTMODERNISME
(FILSAFAT ILMU)

PENDAHULUAN
Filsafat adalah pengetahuan metodis, sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan (Tumanggor dan Carolus, 2017: 14). Filsafat merupakan induk dari segala ilmu pengetahuan (mater scientarium). Filsafat ilmu sebagai bagian integral dari filsafat secara keseluruhan perkembangannya tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan filsafat itu sendiri secara keseluruhan. ilmu pengetahuan tentunya selalu mengalami perkembangan dari tahun ketahun ataupun dari abad-keabad. Karena sifat dari manusia yang memang selalu tidak merasa puas terlebih dalam hal keilmuan. Manusia dalam sejarahnya selalu berusah untuk mencari kebenaran salah satunya dengan berpikir kritis. Perkembangan pemikiran dari waktu ke waktu terus mengalami perubahan dalam berbagai hal, tentunya hal itu tidak lepas dari keinginan manusia yang selalu menginginkan sebuah perubahan karena bertambahnya persoalan dan juga kebutuhan. 

Postmodernisme yang muncul diakibatkan karena kegagalan Modernisme dalam mengangkat martabat manusia. Bagi postmodernisme, paham modernisme selama ini telah gagal dalam menepati janjinya untuk membawa kehidupan manusia menjadi lebih baik dan tidak adanya kekerasan. Paham modernisme dicirikan dengan gerakan rasionalisme yang begitu gencar. Rasionalisme telah menggiring manusia pada sebuah masa pencerahan yang disebut dengan mainstream pemikiran modernisme dan fakta sosialnya disebut modernitas. Setelah berjalan sekian dekade kemapanan dan kenyamanan paham modernisme mendapat kritik dan pergeseran paradigma. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi masa modernisme membawa kehancuran bagi manusia, peperangan terjadi dimana-mana yang hal ini mengakibatkan manusia hidup dalam menderita. Pandangan modernisme menganggap bahwa kebenaran ilmu pengetahuan harus mutlak serta objektif, tidak adanya nilai dari manusia (Setiawan dan Ajat: 2018).

Filosof paham Postmodernism yang paling populer bernama Jean Francois Lyotard lahir di Versailles, Perancis pada tahun 1924 dan meninggal dunia di Paris pada tahun 1998. Setelah lulus dari Universitas Sorbonne pada tahun 1950, Lyotard menjadi guru SMU di Constantine, Aljazair. Ia kemudian bersimpati dan terlibat dengan gerakan kemerdekaan Aljazair dan akhirnya kembali ke Paris pada tahun 1959 untuk menjadi asisten dosen di almamaternya, Universitas Sorbonne. Pada tahun 1960-an ia mengajar di Naterre, tetapi senantiasa bersama kaum terpelajar lainnya seperti Sartre, Deleuze, Foucault, Lacan terlibat dan aktif dalam gerakan anti perang. Tahun 1970 – 1972, ia mengajar di Institute Polytechnique de Philosophie Vincennes, dan dilanjutkan di Universaitaire de Paris VIII St. Denis pada tahun 1972 – 1987. Lyotard meraih gelar doktor sastra pada tahun 1971 (Umanailo: 2018).

Dalam makalah ini, kelompok kami akan membahas secara fokus dan rinci terhadap paham postmodernisme yang merupakan suatu ide baru yang menolak atau pun yang termasuk dari pengembangan suatu ide yang telah ada tentang teori pemikiran masa sebelumnya. Adapun batasan masalah yang akan dibahas diantaranya; pengertian postmodernisme, kelahiran postmodernisme, perkembangan postmodernisme, asas-asas pemikiran postmodernisme, postmodernis, modernisme dan postmodernitas, peluang postmodernisme dan terakhir tantangan postmodernisme.

PEMBAHASAN
Pengertian Postmodernisme
  1. Postmodernisme merupakan suatu pemberontakan pada janji modernisme yang menjanjikan keadilan dan kemakmuran manusia yang dinilai gagal memenuhi janjinya ( Eddy Peter P. dalam Rachmat: 2011)
  2. Postmodernisme merupakan suatu ide baru yang menolak atau pun yang termasuk dari pengembangan suatu ide yang telah ada tentang teori pemikiran masa sebelumnya yaitu paham modernisme yang mencoba untuk memberikan kritikan-kritikan terhadap modernisme yang dianggap telah gagal dan bertanggung jawab terhadap kehancuran martabat manusia; ia merupakan pergeseran ilmu pengetahuan dari ide-ide modern menuju pada suatu ide yang baru yang dibawa oleh postmodernisme itu sendiri (Setiawan dan Ajat, 2018)
  3. Pascamodernisme ( atau postmodernisme, posmodernisme, post-mo ) adalah gerakan abad akhir ke-20 dalam seni, arsitektur, dan kritik, yang melanjutkan modernisme. Berdasarkan asal-usul kata, pascamodernisme, berasal dari bahasa Inggris yang artinya paham (-isme) yang berkembang setelah (pasca) modern (https://id.wikipedia.org/wiki/Pascamodernisme).
  4. Postmodernisme adalah suatu pergerakan ide yang menggantikan ide-ide zaman modern. Zaman modern dicirikan dengan pengutamaan rasio, objektivitas, totalitas, strukturalisasi/ sistematisasi, universalisasi tunggal dan kemajuan saints (Muhlisin, 2000)
  5. Postmodernism is a broad movement that developed in the mid- to late 20th century across philosophy, the arts, architecture, and criticism, marking a departure from modernism. The term has been more generally applied to the historical era following modernity and the tendencies of this era (Postmodernisme adalah gerakan luas yang berkembang pada pertengahan hingga akhir abad ke-20 melintasi filsafat , seni , arsitektur , dan kritik , menandai penyimpangan dari modernisme. Istilah ini telah lebih umum diterapkan pada era sejarah setelah modernitas dan kecendrungan era ini (https://en.wikipedia.org/wiki/Postmodernism).
  6. Postmodernisme adalah lawan dari modernisme yang dianggap tidak berhasil mengangkat martabat manusia modern ( Lyotard dalam Rachmat: 2011).
Kelahiran Postmodernisme
Pencetus pemikiran postmodernist, pertama kali adalah Arnold Toynbee pada tahun 1939. sedangkan Charles Jencks, menegaskan juga bahwa lahirnya konsep postmodernisme adalah dari tulisan seorang Spanyol Frederico de Onis. Dalam tulisannya Antologia de la poesia espanola e hispanoamericana (1934), Yang memperkenalkan istilah postmodernisme untuk menggambarkan reaksi dalam lingkup modernisme. Toynbee dianggap sebagai pencetus istilah tersebut dibuktikan dengan bukunya yang terkenal berjudul Study of History (Muhlisin: 2000).

Istilah “Postmodernisme” muncul pertama kali di kalangan seniman dan kritikus di New York pada 1960-an dan diambil alih oleh para teoretikus Eropa pada 1970-an. Salah satunya, Jean-François Lyotard, dalam bukunya, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, menyerang mitos yang melegitimasi jaman modern (“narasi besar”), pembebasan progresif humanitas melalui ilmu, dan gagasan bahwa filsafat dapat memulihkan kesatuan untuk proses memahami dan mengembangkan pengetahuan yang secara universal sahih untuk seluruh umat manusia (Umanailo: 2018).

Postmodernisme lahir di St. Louis, Missouri, 15 Juli 1972, Pukul 3:32 sore. Ketika pertama kali didirikan, proyek rumah Pruitt-Igoe di St. Louis dianggap sebagai lambang arsitektur modern. Tetapi, para penghuninya menghancurkan bangunan itu dengan sengaja. Pemerintah mencurahkan banyak dana untuk merenovasi bangunan tersebut. Akhirnya, setelah menghabiskan jutaan dollar, pemerintah menyerah. Pada sore hari di bulan Juli 1972, bangunan itu diledakkan dengan dinamit. Peristiwa peledakan ini menandai kematian modernisasi dan menandakan kelahiran postmodernisme (Rachmat, 2011: 93).

Berdasarkan asal-usul kata, pascamodernisme (atau postmodernisme, posmodernisme, post-mo), berasal dari bahasa Inggris yang artinya paham (-isme) yang berkembang setelah (pasca) modern. Istilah ini muncul pertama kali pada tahun 1930 pada bidang seni oleh Federico de Onis untuk menunjukkan reaksi dari modernisme. Kemudian pada bidang Sejarah oleh Toyn Bee dalam bukunya Study of History pada tahun 1947.  Setelah itu berkembang dalam bidang-bidang lain dan mengusung kritik atas modernisme pada bidang-bidangnya sendiri-sendiri (https://id.wikipedia.org/wiki/Pascamodernisme).

Istilah Postmodernisme mula-mula diperkenalkan oleh salah satu filosof poststrukturalisme terkenal yang bernama Jean Francois Lyotard. Gagasan besar Lyotard tentang postmodernisme dalam karyanya yang berjudul “The Post-Modern Condition: A Report and Knowledge telah memikat perhatian masyarakat di dunia, yaitu gagasan penolakan terhadap karya The Grand Narrative yang akhirnya membuat sekat perbedaan antara filsafat postmodernisme dengan filsafat modernisme. 

Perkembangan Postmodernisme
Aliran Postmodernisme berkembang pesat pada 1970-an dengan beberapa tokoh yang dikenal gigih menolak aliran modernisme dan menawarkan solusi terbaik dalam upaya untuk mengikuti perkembangan zaman yang serba menuntut. Tokoh-tokoh itu ialah ; Jeans Francois Lyotard, Michael Foucault, Jacques Derrida, Richard Rorty, dan sebagainya, dan orang-orang ini dikenal sebagai gembong aliran postmodernisme (Rachmat, 2011: 95).

Munculnya postmodernisme tidak dapat dilepaskan dari modernisme itu sendiri. Kata modernisme mengandung makna serba maju, gemerlap, dan progresif. Modernisme selalu menjanjikan pada kita untuk membawa pada perubahan ke dunia yang lebih mapan di mana semua kebutuhan akan dapat terpenuhi. Rasionalitas akan membantu kita menghadapi mitos-mitos dan keyakinan-keyakinan tradisional yang tak berdasar, yang membuat manusia tak berdaya dalam menghadapi dunia ini (Setiawan dan Ajat, 2018:28).

Sebagian orang beranggapan, postmodernisme adalah pengembangan dari modernitas. Perbedaan pendapat dua kelompok mengenai pemahaman Post-modernisme cukup berbeda secara signifikan. Satu konsep mengatakan bahwa modernisme berseberangan dengan postmodernisme bahkan terjadi paradoks yang kontras. Sedang yang lain menganggap bahwa postmodernisme adalah bentuk sempurna dari modernisme, seperti pijakan tangga yang satu dengan tangga berikutnya secara berurutan. Dalam konsep ini kita tidak dapat masuk jenjang tangga postmodernisme tanpa melalui tahapan tangga modernisme (Muhlisin, 2000).

Bagi Lyotard dengan postmodernisme-nya menganggap bahwa untuk mengaktifkan ilmu pengetahuan adalah dengan menghidupkan perbedaan-perbedaan, keputusan-keputusan, dan keterbukaan pada tafsiran-tafsiran baru. Ia tidak percaya bahwa ilmu pengetahuan dapat diwadahi oleh suatu badan pemersatu yang berupa sistem stabil. Sebab menurutnya, ilmu pengetahuan itu tumbuh sebagai sistem yang organik, dalam arti tidak homogen apalagi tertutup pada eksperimentasi dan permainan berbagai kemungkinan wacana  (Umanailo: 2018).

Postmodem menolak penjelasan yang harmonis, universal, dan konsisten yang merupakan bagian identitas dasar yang membuat kokoh dan tegaknya modernisme. Kaum postmodernis mengkritik dan menggantikan semua itu dengan sikap menghargai kepada perbedaan dan penghormatan kepada yang khusus (partikular dan lokal) untuk menolak anggapan-anggapan modernisme yang membawa keyakinan bahwa filsafat melalui rasio sebagai sarananya mampu merumuskan hal-hal yang dapat berlaku secara universal. Postmodernisme menolak penekanan kepada penemuan ilmiah melalui metode sains. Metode ilmiah ini merupakan fondasi intelektual dari modernisme untuk menciptakan dunia yang seolah-olah lebih baik pada masa-masa awal masa pencerahan. Metode ilmiah telah mengantarkan modernisme dalam bentuk praktisnya berbagai teknologi. Postmodernisme menolak cara pandang tunggal atau paradigma tunggal dan sebaliknya menyatakan bahwa terdapat banyak paradigma atau perspektif dalam melihat realitas dunia. 

Asas-asas Pemikiran Postmodernisme
Menurut Rachmat (2011: 95-96) asas-asas pemikiran kaum Postmodernisme sebagai berikut;
  1. Penafian atas keuniversalan suatu pemikiran (totalism)
  2. Penekanan akan terjadinya pergolakan pada identitas personal maupun sosial secara terus-menerus, sebagai ganti dari yang permanen yang amat mereka tentang
  3. Pengingkaran atas semua jenis ideologi. 
  4. Konsep berfilsafat dalam era Postmodernisme adalah hasil penggabungan dari berbagai jenis fondasi pemikiran. Mereka tidak mau terkungkung dan terjebak dalam satu bentuk fondasi pemikiran filsafat tertentu
  5. Postmodernisme tidak memiliki asas-asas yang jelas (universal dan permanen). Bagaimana mungkin akal sehat manusia dapat menerima sesuatu yang tidak jelas asas dan landasannya? Jika jawaban mereka positif, jelas sekali, hal itu bertentangan dengan pernyataan mereka sendir; sebagaimana postmodernis selalu enekankan untuk mengingkari bahkan menentang hal-hal yang bersifat universal dan permanen.
Kemudian Muhlisin (2000) menyebutkan ciri dari Postmodern adalah melingkupi hal-hal secara konseptual ide yang meliputi: 
  1. Ide yang menghendaki penghargaan besar terhadap alam ini sebagai kritik atas gerakan modernisme yang mengeksploitasi alam. 
  2. Ide yang menekankan pentingnya bahasa (Hermeneutik, Filologi) dalam kehidupan manusia dengan segala konsep dan analisanya yang kompleks, ini sebagai antitesa atas kondisi modernisme atas kuasa tafsir oleh mesin birokrasi ilmu pengetahuan. 
  3. Ide besar untuk mengurangi kekaguman terhadap ilmu pengetahuan, kapitaslisme, dan teknologi yang muncul dari perkembangan modernisme. Dengan alasan bahwa semua itu telah melahirkan konstruksi manusia sebagai obyek yang mati dalam realitas kehidupannya. Sehingga menjauhkan manusia dari humanismenya itu sendiri. 
  4. Ide pentingnya inklusivitas dalam menerima tantangan agama lain atas agama dominant sehingga terbuka munculnya ruang dialogis. Ini muncul sebagai akibat menjamurnya dan tumbuhkembangnya realitas modernis yang menempatkan ideologi sebagai alat pembenar masing-masing. 
  5. Sikap yang cenderung permisive dan menerima terhadap ideologi dan juga agama lain dengan berbagai penafsiran. 
  6. Secara kasuistik munculnya ide pergeseran dominasi kulit putih di dunia barat. Merupakan ide-ide cemerlang yang menjadi daya dorong kebangkitan golongan tertindas, seperti golongan ras, gender, kelas minoritas secara sosial yang tersisihkan. 
  7. Ide tentang tumbuhnya kesadaran akan pentingnya interdependensi secara radikal dari semua pihak dengan cara yang dapat dan memungkinkan terpikirkan oleh manusia secara menyeluruh.
Ilmu pengetahuan bagi Postmodernisme bersifat relatif, tidak ada ilmu pengetahuan yang kebenarannya absolut. Dan melihat suatu peristiwa tertentu juga ketika ingin menilainya harus dilihat dari segala sisi, tidak hanya terfokus pada satu sisi tertentu. Pluralisme merupakan ciri pemikiran postmodernisme selanjutnya. Hasil teknologi modern dalam bidang transportasi dan komunikasi menjadikan era pluralisme budaya dan agama telah semakin dihayati dan dipahami oleh banyak orang dimanapun mereka berada. Adanya pluralisme budaya, agama, keluarga, ras, ekonomi, sosial, suku pendidikan, ilmu pengetahuan, politik merupakan sebuah realitas. Artinya bahwa mentoleransi adanya keragaman pemikiran, peradaban, agama dan budaya. Sehingga menciptakan suatu adanya heterogen, bermacam-macam bukan homogen. Keanekaragaman ini harus ditoleransi antara satu dengan yang lainnya bukan saling menjatuhkan apalagi sampai terjadinya suatu konflik tertentu (Setiawan dan Ajat, 2018).

Postmodernisme, Modernisme dan Postmodernitas
  1. Postmodernisme merupakan suatu pemberontakan pada janji modernisme yang menjanjikan keadilan dan kemakmuran manusia yang dinilai gagal memenuhi janjinya. Postmodernisme lahir karena melihat kegagalan modernitas yang “di-rohi” oleh modernisme, yang mulanya menginginkan manusia sebagai subjek, namun kenyataannya, kaum postmodernisme berpendapat, modernitas dan modernisme malah menjadikan manusia sebagai objek (Rachmat: 2011).
  2. Modernisme adalah pemikiran yang mengagungkan akal budi serta rasionalitas manusia sebagai sumber pengetahuan menuju kebebasan. Modernisasi lahir karena memandang manusia terbelenggu oleh dogma-dogma tradisional dan agama, sehingga menyebabkan manusia selalu menjadi objek, dari dogma tersebut. Modernisme sangat berpusat pada manusia sebagai subjek bukan objek (Rachmat, 2011: 98). Sedangkan menurut Maksum dalam Setiawan dan Ajat (2018) Kata modernisme mengandung makna serba maju, gemerlap, dan progresif. Modernisme selalu menjanjikan pada kita untuk membawa pada perubahan ke dunia yang lebih mapan di mana semua kebutuhan akan dapat terpenuhi. Rasionalitas akan membantu kita menghadapi mitos-mitos dan keyakinan-keyakinan tradisional yang tak berdasar, yang membuat manusia tak berdaya dalam menghadapi dunia ini.
  3. Postmodernitas adalah kondisi di mana masyarakat tidak lagi diatur oleh prinsip produksi barang, melainkan produksi dan reproduksi informasi dimana sektor jasa menjadi faktor yang paling menentukan. Masyarakat adalah masyarakat konsumen yang tidak lagi bekerja demi memenuhi kebutuhan, melainkan demi memenuhi gaya hidup (Rachmat, 2011: 97-98). Pascamodernisme (atau postmodernisme, posmodernisme, post-mo)  dibedakan dengan Pascamodernitas (Postmodernitas). Jika pascamodernisme lebih menunjuk pada konsep berpikir,  pascamodernitas lebih menunjuk pada situasi dan tata sosial produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, usangnya negara dan bangsa, serta penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi. Hal ini secara singkat sebenarnya ingin menghargai faktor lain (tradisi, spiritualitas) yang dihilangkan oleh rasionalisme, strukturalisme dan sekularisme (https://id.wikipedia.org/wiki/Pascamodernisme). 
Beberapa teori sosial postmodernisme antara lain, Teori Sosial Postmodern Moderat. Teori ini yang menyatakan bahwa ada keterputusan antara modernisme dengan postmodernisme. Namun ada yang mengatakan bahwa kendati postmodernisme memiliki perbedaan penting dengan modernisme, namun ada semacam persambungan antara keduanya (Ritzer & Goodman, dalam Setiawan dan Ajat: 2018).
Walaupun modernisme ke postmodernisme ada persamaan yang berkesinambungan, tapi sangat jauh perbedaan penting dalam jarak waktu antara keduanya. Prinsipnya, kapitalisme yang dalam perkembangannya kini berada pada fase lanjutannya masih menjadi gambaran dominan, tetapi telah menimbulkan logika kultural baru, yang disebut sebagai postmodernisme. Berikut ini beberapa istilah yang digunakan oleh aliran modernisme dan postmodernisme atau pembeda antara keduanya (Maksum dalam Setiawan dan Ajat: 2018) sebagai berikut:

Peluang Postmodernisme
Peluang Postmodernism dapat dilihat dari kelebiha-kelebihan postmodernisme yang dimilikinya. Menurut Setiawan dan Ajat (2018:45) Kelebihan Postmodernisme, seperti; dapat membuat kita peka terhadap kemungkinan bahwa wacana besar positif, prinsip-prinsip etika positif, dapat diputar dan dipakai untuk menindas manusia. Menurut Franz Dahler, postmodernisme memiliki segi positif, yaitu keterbukaan untuk kebhinekaan masyarakat, untuk toleransi, perlawanan terhadap monopoli, dominan agama, aliran dan ideologi tertentu, hingga menguntungkan demokrasi. 

Lebih lanjut Rachmat (2011) menguraikan peluang Postmodernisme sebagai berikut:
  1. Postmodernisme menawarkan pikiran baru yang toleran terhadap pluralitas, pembongkaran, dan lokalitas
  2. Postmodernisme menerima bentuk tradisional tetapi dengan cara yang lebih berbeda, yaitu dengan cara melebih-lebihkan
  3. Postmodernisme membangkitkan kembali ketertarikan dalam sejarah dan hal-hal yang bersifat tradisional. Aliran ini tidak meniru segala sesuatu yang ada pada periode yang sebelumnya, tetapi menggunakan berbagai macam gaya yang ada pada masa lalu dan menggabungkannya.
Tantangan Postmodernisme
Menurut Rachmat (2011) terdapat 3 tantangan Postmodernisme, yaitu;
  1. Penafian atas keuniversalan suatu pemikiran (totalism)
  2. Penekanan akan terjadinya pergolakan pada identitas personal maupun sosial secara terus menerus, sebagai ganti dari permanen yang amat mereka tentang.
  3. Pengingkaran atas semua jenis ideolagi.
Kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh  Muhlisin (2000) mengenai tantangan postmodernisme sebagai berikut;
  • Para penganut postmodernisme beranggapan, tidak ada realita yang bernama rasio universal. Yang ada adalah relativitas dari eksistensi plural. Oleh karenanya, perlu dirubah dengan cara berpikir dari “totalizing” menuju “pluralistic and open democracy” dalam segala aspek kehidupan. Dari sini dapat diketahui, betapa postmodernisme sangat bertumpu pada pemikiran individualisme sehingga dari situlah muncul relativisme dalam pemikiran seorang postmodernis. Ini jelas sangat berbeda dengan konsep metode ilmiah dan gejala ilmu pengetahuan modern yang menitikberatkan pada konseptualisasi dan universalisasi teori. Misalnya kita mengenal konsep induksi, deduksi, silogisme dan lain sebagainya yang menjadi acuan pokok untuk menemukan ide universal akan sebuah pengetahuan modern. Disinilah postmodernisme berpendapat semuanya itu hatus ditinggalkan dan ditinjau ulang.
  • Penekanan adanya pergolakan pada identitas personal maupun sosial secara terus-menerus yang tiada henti. Hal itu sebagai solusi dari konsep yang permanen dan mapan yang merupakan hasil dari kerja panjang modernisme. Postmodernis memberikan kritik bahwa hanya melalui proses berpikirlah yang dapat membedakan manusia dengan makhluk lain. Jika pemikiran manusia selalu terjadi perubahan, maka perubahan tadi secara otomatis akan dapat menjadi penggerak untuk perubahan dalam disiplin lain. Postmodernisme menolak segala bentuk konsep fundamental —bersifat universal—yang bernilai sakralitas seolah menempati posisi sebagai tumpuan atas konsep-konsep lain. Manusia postmodernis diharuskan selalu kritis dalam menghadapi semua permasalahan, termasuk dalam mengkritisi prinsip-prinsip dasar – dasar pengetahuan modern yang dianggap baku dan mapan.
  • Selayaknya dalam konsep berideologi, ruang lingkup dan gerak manusia akan selalu dibatasi dengan mata rantai keyakinan prinsip yang permanen. Sedang setiap prinsip permanen dengan tegas ditolak oleh kalangan postmodernis. Oleh karenanya, manusia postmodernis tidak boleh terikat pada ideologi permanen apapun, termasuk ideologi agama sekalipun.
  • Setiap eksistensi obyektif dan permanen harus diingkari. Atas dasar pemikiran relativisme, manusia postmodernis ingin membuktikan tidak adanya tolok ukur sejati dalam penentuan obyektifitas dan hakekat kebenaran,kebenaran agama sekaligus. Ini tentu sangat berbeda dengan paradigma modernisme pada ilmu pengetahuan modern yang sangat menekakan obyektifitas dalam prosesdur ilmiah untuk mendapatkan kebenaran. Ungkapan Nietzsche(1844-1900), “God is Dead”. Atau ungkapan lain seperti “The Christian God has ceased to be believable”, terus merebak dan semakin digemari oleh banyak kalangan di banyak negara Barat, Sebagai bukti atas usaha propaganda mereka yang mengusung tema konsep nihilisme dalam filsafat posmodernism.
  • Semua jenis epistemologi harus dibongkar. Kritik tajam secara terbuka merupakan asas pemikiran filsafat postmodernisme. Pemikiran ataupun setiap postulat—yang bersifat prinsip—yang berkaitan dengan keuniversalan, kausalitas, kepastian dam sejenisnya akan diingkari. Berbeda halnya pada zaman Modernis, semua itu dapat diterima oleh manusia modernis. Ini mengandung arti bahwa rencana postmodernisme adalah dalam rangka mengevaluasi kembali segala pemikiran yang pernah diterima pada masa modernisme, dengan cara mengkritisi dan menguji ulang. Meskipun pada prakteknya sulit sekali untuk menemukan kerangka epistemologi yang jelas dari gaya pemikiran posmodernisme itu sendiri.
  • Postmodernisme memiliki ide besar melakukan pengingkaran penggunaan metode permanen dan paten dalam menilai fakta dan realitas serta ilmu pengetahuan. Jika dilihat secara spintas, postmodernist cenderung menerapkan metodologi berpikir “asal comot” dengan mainstream pemikiran yang kurang jelas dan tidak beraturan. Postmodernisme seolah tampak menghalalkan segala cara sehingga cenderung bebas nilai. Namun ini perlu disadari bahwa postmodernisme hakekatnya Postmodernisme ingin membuka berbagai penafsiran baru atas kekakuan yang diciptakan oleh paham modern. Era postmodernisme adalah era pemikiran dengan pola penggabungan dari berbagai jenis pondasi pemikiran filosofis. Posmodernist tidak mau terkungkung dan terjebak dalam satu bentuk pondasi pemikiran filsafat. Hal ini dilakukan untuk menentang kaum tradisional yang tidak memiliki pemikiran maju karena mengacu pada satu asas pemikiran saja. Postmodernisme mengakui bahwa apa yang ada sekarang ini adalah apa yang disebut dengan post philosophy, puncak perbedaan dengan filsafat modernis. Dengan jenis filsafat inilah, mereka ingin meyakinkan kaum intelektual bahwa dengan berpegangan prinsip tersebut dapat meraih berbagai hal yang menjadi impian dalam kehidupan era kontemporer.
Kritik terhadap postmodernisme antara lain pemikir postmodernisme kurang tegas terhadap membedakan apakah mereka menciptakan teori atau mengarang sastra. Habermas merasa argumen para postmodernis sarat dengan sentimen normatif. Ciri discourse postmodernisme dalam ilmu pengetahuan memahami fenomena modern yang bernama pengetahuan. Ia mempertanyakan tentang ”apa itu pengetahuan yang benar” secara genealogis dan arkeologis, dalam arti, dengan melacak bagaimana pengetahuan itu mengembangkan diri selama ini. Misalnya konseptual tentang ”kegilaan”, ”seksualitas”, manusia”, ”gender” dan lain sebagainya yang biasa dianggap ”natural” itu sebenarnya adalah situs-situs produksi dari ilmu pengetahuan. kelemahan postmodernisme, pertama, postmodernisme yang sangat semangat mempromosikan narasi-narasi kecil, ternyata buta terhadap kenyataan bahwa banyak juga narasi kecil yang mengandung banyak kebusukan. Kedua, postmodernisme tidak membedakan antara ideologi, di satu pihak dan prinsip-prinsip universal etika terbuka, di pihak lain. Ketiga, postmodernisme menuntut untuk menyingkirkan cerita-cerita besar demi cerita kecil atau lokal (Setiawan dan Ajat, 2018:45).
Berkaitan dengan postmodernisme mengandung sejumlah konseptualisasi yang kompleks. Postmodernisme memiliki pengertian yang cukup ambigu. Postmodernisme merupakan gabungan dan peleburan dari berbagaia gaya pemikiran filosofis.  

PENUTUP
Kesimpulan
Istilah Postmodernisme mula-mula diperkenalkan oleh salah satu filosof poststrukturalisme terkenal yang bernama Jean Francois Lyotard. Gagasan besar Lyotard tentang postmodernisme dalam karyanya yang berjudul “The Post-Modern Condition: A Report and Knowledge telah memikat perhatian masyarakat di dunia, yaitu gagasan penolakan terhadap karya The Grand Narrative yang akhirnya membuat sekat perbedaan antara filsafat postmodernisme dengan filsafat modernisme. Kemudian Tokoh-tokoh Postmodernisme yang lainnya ialah ; Michael Foucault, Jacques Derrida, Richard Rorty, dan sebagainya, dan orang-orang ini dikenal sebagai gembong aliran postmodernisme. Meskipun demikian, Pencetus pemikiran postmodernist, pertama kali adalah Arnold Toynbee pada tahun 1939. sedangkan Charles Jencks, menegaskan juga bahwa lahirnya konsep postmodernisme adalah dari tulisan seorang Spanyol Frederico de Onis. Dalam tulisannya Antologia de la poesia espanola e hispanoamericana (1934), Yang memperkenalkan istilah postmodernisme untuk menggambarkan reaksi dalam lingkup modernisme. Toynbee dianggap sebagai pencetus istilah tersebut dibuktikan dengan bukunya yang terkenal berjudul Study of History. 

Munculnya postmodernisme tidak dapat dilepaskan dari modernisme itu sendiri. Sebagian orang beranggapan, postmodernisme adalah pengembangan dari modernitas. Dalam konsep ini kita tidak dapat masuk jenjang tangga postmodernisme tanpa melalui tahapan tangga modernisme. Ini terlihat dari defenisi postmodernisasi itu sendiri, Postmodernisme merupakan suatu ide baru yang menolak atau pun yang termasuk dari pengembangan suatu ide yang telah ada tentang teori pemikiran masa sebelumnya yaitu paham modernisme yang mencoba untuk memberikan kritikan-kritikan terhadap modernisme yang dianggap telah gagal dan bertanggung jawab terhadap kehancuran martabat manusia; ia merupakan pergeseran ilmu pengetahuan dari ide-ide modern menuju pada suatu ide yang baru yang dibawa oleh postmodernisme itu sendiri.

Kelebihan Postmodernisme, seperti; dapat membuat kita peka terhadap kemungkinan bahwa wacana besar positif, prinsip-prinsip etika positif, dapat diputar dan dipakai untuk menindas manusia. Menurut Franz Dahler, postmodernisme memiliki segi positif, yaitu keterbukaan untuk kebhinekaan masyarakat, untuk toleransi, perlawanan terhadap monopoli, dominan agama, aliran dan ideologi tertentu, hingga menguntungkan demokrasi. Adapun, kelemahan postmodernisme, pertama, postmodernisme yang sangat semangat mempromosikan narasi-narasi kecil, ternyata buta terhadap kenyataan bahwa banyak juga narasi kecil yang mengandung banyak kebusukan. Kedua, postmodernisme tidak membedakan antara ideologi, di satu pihak dan prinsip-prinsip universal etika terbuka, di pihak lain. Ketiga, postmodernisme menuntut untuk menyingkirkan cerita-cerita besar demi cerita kecil atau lokal.

Kenangan belajar bersama teman kelas di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Tahun 2019

Sumber:
  • Johan, Setiawan dan Ajat Sudrajat. 2018. Pemikiran Postmodernisme dan Pandangannya terhadap Ilmu Pengetahuan. Diakses pada 19 Oktober 2019 https://jurnal.ugm.ac.id/wisdom/article/view/33296/20204  
  • Muhlisin. 2000. Artikel. Postmodernisme dan Kritik Ideologi Ilmu Pengetahuan Modern. Diakses pada 18 Oktober 2019, dari http://artikel.dikti.go.id/pelatihan/index.php/pojs40/article/view/570/248
  • Rachmat, Aceng, et al. 2011. Filsafat Ilmu Lanjutan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
  • Sugiyanto, Dimensi Kajian Ilmu Keolahragaan. Dimensi Kajian Ilmu Keolahragaan (Sport Science, Vol. 01 No. 01 1 /4)  Diakses pada 19 Oktober 2019, dari  https://eprints.uns.ac.id/1977/1/158-288-1-SM.pdf
  • Tumanggor, Raja O. Dan Carolus S. 2017. Pengantar Filsafat untuk Psikologi. Yogyakarta: PT Kani Sius
  • Umanailo, M. Chaorul B. 2018. Postmodernisme dalam Pandangan Jean Francois Lyotard. Diakses pada 19 Oktober 2019, dari https://www.researchgate.net/publication/323935831_POSTMODERNISME_DALAM_PANDANGAN_JEAN_FRANCOIS_LYOTARD/link/5ac935434585151e80a7abe2/download
  • Wikipedia. Filsafat Pendidikan. Diakses pada 20 Oktober 2019, dari https://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat_pendidikan
  • Wikipedia. Filsafat. Diakses pada 19 Oktober 2019, dari https://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat
  • Wikipedia. Postmodernism. Diakses pada 19 Oktober 2019, dari https://en.wikipedia.org/wiki/Postmodernism

Saturday 19 October 2019

STATISTIKA PENJAS; contoh soal

Buatlah data sebanyak 70 , kemudian carilah:
  1. Tabel distribusi frekuensi
  2. Rata-rata
  3. Simpangan baku
  4. Varian
  5. Histogram
Jawaban:

Berikut data berjumlah 70  :

25
28
30
32
33
51
36
38
40
30
38
28
37
21
33
51
28
38
44
56
38
28
30
33
33
35
28
38
47
42
38
30
30
33
54
35
28
38
40
35
38
30
32
33
33
35
42
38
40
56
38
30
32
33
33
35
42
38
30
42
28
37
21
55
35
35
42
39
30
42

Pengolahan data menggunakan bantuan Microsoft Excel :
  1. Buka Ms. Excel di Komputer, Copy-Paste data di atas ke dalam Ms. Excel
  2. Blok keseluruhan data yang berjumlah 70, lalu pilih Data, pilih Data Analysis, pilih Deskriptive Statistics, hasilnya sebagai berikut:
Deskriptive
Mean
36,05714286
Standard Error
0,900629114
Median
35
Mode
38
Standard Deviation
7,535203784
Sample Variance
56,77929607
Kurtosis
0,965758768
Skewness
0,842687269
Range
35
Minimum
21
Maximum
56
Sum
2524
Count
70


Dari Data berjumlah 70 diatas diperoleh :
  • Nilai Rata-rata (Mean) sebesar 36,05
Rumus Mean :









  • Nilai Varian sebesar 56,78
Rumus Varian :




  • Nilai Standar Deviasi sebesar 7,53 
Rumus Standar Deviasi :





  • Nilai Range sebesar 35
Rumus Range :







Kemudian menentukan Tabel Distribusi Frekuensi sbb:

Banyak Interval : 1+3,3Log*(70)
= 7,08882 dibulatkan menjadi 7

Panjang Interval : Range/banyak interval
Jadi, 35/7 = 4,93 dibulatkan menjadi 5

Nilai batas interval, Nilai Minimum + Panjang Interval. Jadi,  21+5= 26

Batas Interval
1
26
2
31
3
36
4
41
5
46
6
51
7
56

Kemudian membuat Tabel Distribusi Frekuensi, sebagai berikut:

Interval
Frekuensi
≤ 26
3
26 < x ≤ 31
16
31 < x ≤ 36
20
36 < x ≤ 41
17
41 < x ≤ 46
7
46 < x ≤ 51
3
51 < x ≤ 56
4
Jumlah
70


Kemudian untuk membuat Histogram di Microsoft Excel, pilih Data, pilih Data Analysis, pilih Histogram dan hasilnya sebagai berikut:


Bin
Frequency
26
3
31
16
36
20
41
17
46
7
51
3
56
4
More
0